Inilah Alasan Nabi Muhammad SAW Poligami
loading...
A
A
A
Hafsah menjawab: "Memang kami menentangnya."
"Engkau harus tahu," kataku. "Kuperingatkan engkau akan siksaan Tuhan serta kemurkaan RasulNya. Anakku, engkau jangan teperdaya oleh kecintaan orang yang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dengan kecintaan Rasulullah SAW."
Katanya lagi: "Engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu, dan kalau tidak karena aku engkau tentu sudah diceraikan."
Menurut Hekal, Nabi Muhammad mengawini Aisyah maupun Hafsah bukan karena cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya itu.
Sama halnya ketika beliau menikahi Saudah, maksudnya supaya pejuang-pejuang Muslimin itu mengetahui, bahwa kalau mereka gugur untuk agama Allah, istri-istri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.
Perkawinan Nabi Muhammad dengah Zainab binti Khuzaima dan dengan Ummu Salamah mempertegas lagi hal itu. Zainab adalah janda 'Ubaidah bin'l-Harith bin'l-Muttalib yang telah syahid, gugur dalam perang Badar. Dia tidak cantik, hanya terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sampai ia diberi gelar Umm'l-Masakin (Ibu orang-orang miskin).
Umurnya pun sudah tidak muda lagi. Hanya setahun saja sesudah itu ia pun meninggal. Sesudah Khadijah dialah satu-satunya istri Nabi yang telah wafat mendahuluinya.
Sedang Ummu Salamah sudah banyak anaknya ketika dinikahi Rasulullah SAW. Ia adalah janda Abu Salamah yang syahid akibat luka-luka dalam perang Uhud.
Rasulullah SAW mengawini Ummu Salamah karena pertimbangan yang luhur. Sama halnya dengan perkawinannya dengan Zainab binti Khuzaima, yang membuat kaum Muslimin bahkan makin cinta kepadanya dan membuat mereka lebih-lebih lagi memandangnya sebagai Nabi dan Rasul Allah.
Di samping itu, mereka semua memang sudah menganggapnya sebagai ayah mereka. Ayah bagi segenap orang miskin, orang yang tertekan, orang lemah, orang yang sengsara dan tak berdaya. Ayah bagi setiap orang yang kehilangan ayah, yang gugur membela agama Allah.
Haekal mengatakan bahwa Nabi Muhammad menganjurkan orang beristri satu dalam kehidupan biasa. Ia menganjurkan cara demikian seperti contoh yang sudah diberikannya selama masa Khadijah. Untuk itu Allah berfirman:
"Dan kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku lurus terhadap anak-anak yatim itu, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, tiga dan (sampai) empat. Tetapi kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku adil, hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu." ( Qur'an, 4 :3)
"Dan (itu pun) tidak akan kamu dapat berlaku adil terhadap wanita, betapa kamu sendiri menginginkan itu. Sebab itu, janganlah kamu terlalu condong kepada yang seorang, lalu kamu biarkan dia terkatung-katung." ( Qur'an, 4 :129)
Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah, setelah Nabi kawin dengan semua istrinya, maksudnya untuk membatasi jumlah istri itu sampai empat orang, sementara sebelum turun ayat tersebut pembatasan tidak ada.
Ini juga yang telah menggugurkan kata-kata orang: Nabi Muhammad membolehkan buat dirinya sendiri dan melarang buat orang lain. Kemudian turun ayat yang memperkuat diutamakannya istri satu dan menganjurkan demikian karena dikhawatirkan takkan berlaku adil dengan ditekankan bahwa berlaku adil itu tidak akan disanggupi.
"Engkau harus tahu," kataku. "Kuperingatkan engkau akan siksaan Tuhan serta kemurkaan RasulNya. Anakku, engkau jangan teperdaya oleh kecintaan orang yang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dengan kecintaan Rasulullah SAW."
Katanya lagi: "Engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu, dan kalau tidak karena aku engkau tentu sudah diceraikan."
Menurut Hekal, Nabi Muhammad mengawini Aisyah maupun Hafsah bukan karena cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya itu.
Sama halnya ketika beliau menikahi Saudah, maksudnya supaya pejuang-pejuang Muslimin itu mengetahui, bahwa kalau mereka gugur untuk agama Allah, istri-istri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.
Perkawinan Nabi Muhammad dengah Zainab binti Khuzaima dan dengan Ummu Salamah mempertegas lagi hal itu. Zainab adalah janda 'Ubaidah bin'l-Harith bin'l-Muttalib yang telah syahid, gugur dalam perang Badar. Dia tidak cantik, hanya terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sampai ia diberi gelar Umm'l-Masakin (Ibu orang-orang miskin).
Umurnya pun sudah tidak muda lagi. Hanya setahun saja sesudah itu ia pun meninggal. Sesudah Khadijah dialah satu-satunya istri Nabi yang telah wafat mendahuluinya.
Sedang Ummu Salamah sudah banyak anaknya ketika dinikahi Rasulullah SAW. Ia adalah janda Abu Salamah yang syahid akibat luka-luka dalam perang Uhud.
Rasulullah SAW mengawini Ummu Salamah karena pertimbangan yang luhur. Sama halnya dengan perkawinannya dengan Zainab binti Khuzaima, yang membuat kaum Muslimin bahkan makin cinta kepadanya dan membuat mereka lebih-lebih lagi memandangnya sebagai Nabi dan Rasul Allah.
Di samping itu, mereka semua memang sudah menganggapnya sebagai ayah mereka. Ayah bagi segenap orang miskin, orang yang tertekan, orang lemah, orang yang sengsara dan tak berdaya. Ayah bagi setiap orang yang kehilangan ayah, yang gugur membela agama Allah.
Haekal mengatakan bahwa Nabi Muhammad menganjurkan orang beristri satu dalam kehidupan biasa. Ia menganjurkan cara demikian seperti contoh yang sudah diberikannya selama masa Khadijah. Untuk itu Allah berfirman:
"Dan kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku lurus terhadap anak-anak yatim itu, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, tiga dan (sampai) empat. Tetapi kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku adil, hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu." ( Qur'an, 4 :3)
"Dan (itu pun) tidak akan kamu dapat berlaku adil terhadap wanita, betapa kamu sendiri menginginkan itu. Sebab itu, janganlah kamu terlalu condong kepada yang seorang, lalu kamu biarkan dia terkatung-katung." ( Qur'an, 4 :129)
Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah, setelah Nabi kawin dengan semua istrinya, maksudnya untuk membatasi jumlah istri itu sampai empat orang, sementara sebelum turun ayat tersebut pembatasan tidak ada.
Ini juga yang telah menggugurkan kata-kata orang: Nabi Muhammad membolehkan buat dirinya sendiri dan melarang buat orang lain. Kemudian turun ayat yang memperkuat diutamakannya istri satu dan menganjurkan demikian karena dikhawatirkan takkan berlaku adil dengan ditekankan bahwa berlaku adil itu tidak akan disanggupi.
(mhy)