Inilah Alasan Nabi Muhammad SAW Poligami

Senin, 08 Agustus 2022 - 16:52 WIB
loading...
Inilah Alasan Nabi Muhammad SAW Poligami
Ada beragam alasan Nabi Muhammad poligami. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Beragam alasan mengapa Nabi Muhammad SAW poligami. Sepanjang hidupnya, Rasulullah SAW menikahi 11 orang perempuan, ada pula pendapat yang mengatakan jumlahnya adalah 13 orang. Semuanya itu, motifnya bukan karena terdorong oleh nafsu birahi kepada perempuan. Bukan pula atas dasar cinta yang membara.

Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" dan diterjemahkan menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" mengatakan pada masa pra-Islam, belum ada ketentuan mengenai jumlah wanita yang boleh dikawin. Belum ada batas, patokan, ikatan, dan syarat. Jadi, seorang laki-laki boleh saja kawin dengan sekehendak hatinya.

Hal ini memang berlaku pada bangsa-bangsa terdahulu, sehingga diriwayatkan dalam Perjanjian Lama bahwa Nabi Daud mempunyai 100 orang istri dan Nabi Sulaiman mempunyai 700 orang istri serta tiga 300 orang gundik.



Muhammad Husain Haekal dalam "Sejarah Hidup Muhammad" menuturkan Nabi Muhammad hidup hanya dengan Khadijah selama 17 tahun sebelum kerasulannya dan sebelas tahun sesudah itu; dan dalam pada itu pun sama sekali tak terlintas dalam pikirannya ia ingin kawin lagi dengan wanita lain.

Baik pada masa Khadijah masih hidup, atau pun pada waktu ia belum kawin dengan Khadijah, belum pernah terdengar bahwa ia termasuk orang yang mudah tergoda oleh kecantikan wanita-wanita yang pada waktu itu justeru wanita-wanita belum tertutup.

Selama 28 tahun Nabi Muhammad hanya beristerikan Khadijah seorang, tiada yang lain. Setelah Khadijah wafat, ia kawin dengan Saudah binti Zam'ah , janda Sakran bin 'Amr bin 'Abd Syams.

Haekal mengatakan tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Saudah adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi pengaruh karena hasrat duniawi dalam perkawinannya itu.

Melainkan soalnya ialah, Saudah adalah janda yang suaminya termasuk mula-mula masuk lslam, termasuk orang-orang yang dalam membela agama, turut memikul pelbagai macam penderitaan, turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi hijrah ke seberang lautan itu.

Saudah juga sudah memeluk Islam dan ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut menderita. Nabi Muhammad mengawininya untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat setaraf dengan Umm'l-Mu'minin.

Adapun Aisyah dan Hafshah adalah putri-putri dua orang pembantu dekatnya: Abu Bakar dan Umar bin Khattab . Segi inilah yang membuat Nabi Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan putri-putri mereka.



Sama juga halnya ia mengikatkan diri dengan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dengan jalan mengawinkan kedua putrinya kepada mereka.

Haekal mengatakan kalaupun benar kata orang mengenai Aisyah serta kecintaan Nabi Muhammad SAW kepadanya itu, maka cinta itu timbul sesudah perkawinan, bukan ketika kawin.

Gadis itu dipinangnya kepada orangtuanya tatkala ia berusia sembilan tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil.

Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsah binti Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi.

"Sungguh," kata Umar, "Tatkala kami dalam zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka."

Dan katanya lagi: "Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba isteri saya berkata: 'Coba kau berbuat begini atau begitu." Jawab saya: "Ada urusan apa engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusanku!"

Dia pun membalas: "Aneh sekali engkau Umar. Engkau tidak mau ditentang, padahal puterimu menentang Rasulullah SAW. sehingga ia gusar sepanjang hari."

Kata Umar selanjutnya: "Kuambil mantelku, lalu aku keluar, pergi menemui Hafsah. "Anakku," kataku kepadanya. "Engkau menentang Rasulullah SAW sampai ia merasa gusar sepanjang hari?!"

Hafsah menjawab: "Memang kami menentangnya."

"Engkau harus tahu," kataku. "Kuperingatkan engkau akan siksaan Tuhan serta kemurkaan RasulNya. Anakku, engkau jangan teperdaya oleh kecintaan orang yang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dengan kecintaan Rasulullah SAW."

Katanya lagi: "Engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu, dan kalau tidak karena aku engkau tentu sudah diceraikan."



Menurut Hekal, Nabi Muhammad mengawini Aisyah maupun Hafsah bukan karena cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya itu.

Sama halnya ketika beliau menikahi Saudah, maksudnya supaya pejuang-pejuang Muslimin itu mengetahui, bahwa kalau mereka gugur untuk agama Allah, istri-istri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.

Perkawinan Nabi Muhammad dengah Zainab binti Khuzaima dan dengan Ummu Salamah mempertegas lagi hal itu. Zainab adalah janda 'Ubaidah bin'l-Harith bin'l-Muttalib yang telah syahid, gugur dalam perang Badar. Dia tidak cantik, hanya terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sampai ia diberi gelar Umm'l-Masakin (Ibu orang-orang miskin).

Umurnya pun sudah tidak muda lagi. Hanya setahun saja sesudah itu ia pun meninggal. Sesudah Khadijah dialah satu-satunya istri Nabi yang telah wafat mendahuluinya.

Sedang Ummu Salamah sudah banyak anaknya ketika dinikahi Rasulullah SAW. Ia adalah janda Abu Salamah yang syahid akibat luka-luka dalam perang Uhud.

Rasulullah SAW mengawini Ummu Salamah karena pertimbangan yang luhur. Sama halnya dengan perkawinannya dengan Zainab binti Khuzaima, yang membuat kaum Muslimin bahkan makin cinta kepadanya dan membuat mereka lebih-lebih lagi memandangnya sebagai Nabi dan Rasul Allah.

Di samping itu, mereka semua memang sudah menganggapnya sebagai ayah mereka. Ayah bagi segenap orang miskin, orang yang tertekan, orang lemah, orang yang sengsara dan tak berdaya. Ayah bagi setiap orang yang kehilangan ayah, yang gugur membela agama Allah.



Haekal mengatakan bahwa Nabi Muhammad menganjurkan orang beristri satu dalam kehidupan biasa. Ia menganjurkan cara demikian seperti contoh yang sudah diberikannya selama masa Khadijah. Untuk itu Allah berfirman:

"Dan kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku lurus terhadap anak-anak yatim itu, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai: dua, tiga dan (sampai) empat. Tetapi kalau kamu khawatir takkan dapat berlaku adil, hendaklah seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu." ( Qur'an, 4 :3)

"Dan (itu pun) tidak akan kamu dapat berlaku adil terhadap wanita, betapa kamu sendiri menginginkan itu. Sebab itu, janganlah kamu terlalu condong kepada yang seorang, lalu kamu biarkan dia terkatung-katung." ( Qur'an, 4 :129)

Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah, setelah Nabi kawin dengan semua istrinya, maksudnya untuk membatasi jumlah istri itu sampai empat orang, sementara sebelum turun ayat tersebut pembatasan tidak ada.

Ini juga yang telah menggugurkan kata-kata orang: Nabi Muhammad membolehkan buat dirinya sendiri dan melarang buat orang lain. Kemudian turun ayat yang memperkuat diutamakannya istri satu dan menganjurkan demikian karena dikhawatirkan takkan berlaku adil dengan ditekankan bahwa berlaku adil itu tidak akan disanggupi.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1490 seconds (0.1#10.140)