Kisah Pengembara yang Pindah dari Satu Agama ke Agama Lain

Sabtu, 27 Agustus 2022 - 14:13 WIB
loading...
Kisah Pengembara yang Pindah dari Satu Agama ke Agama Lain
Wahai pengembara, aku khawatir engkau tidak akan sampai ke Mekkah --sebab jalan yang kau tempuh menuju Turkistan, ujar Syekh Sadi. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
"Wahai pengembara, aku khawatir engkau tidak akan sampai ke Mekkah --sebab jalan yang kau tempuh menuju Turkistan," demikian Idries Shah menukil Syekh Sa'di saat memulai tulisannya "Pencari Ilmu" dalam bukunya yang berjudul " The Sufis ".

Suatu hari aku duduk di halaqah seorang guru di India Utara. Ketika itu seorang pemuda asing dibawa masuk. Ia mencium tangan Syekh tersebut dan mulai berbicara.

Selama tiga setengah tahun, katanya, ia telah mengkaji berbagai agama, mistisisme dan okultisme dari buku-buku di Jerman, Perancis dan Inggris. Ia telah pindah dari satu kelompok (keagamaan) ke kelompok lainnya, untuk mencari sesuatu yang bisa membawanya ke jalan yang benar.

Agama formal tidak menarik hatinya. Dengan mengumpulkan semua uang yang bisa ia dapatkan, ia telah mengembara ke Timur, dan telah bolak-balik dari Iskandariah ke Kairo, dari Damaskus ke Teheran, melalui Afghanistan, India dan Pakistan.

Ia pernah tinggal di Burma [Myanmar] dan Bangladesh, begitu juga di Malaysia. Di semua tempat ini ia telah berbicara dan mengambil catatan-catatan salinan dari guru-guru spiritual dan keagamaan.

Tentu saja, secara fisik maupun batin, ia telah menempuh jarak yang jauh. Ia ingin bergabung dengan Syekh ini, sebab ia ingin melakukan sesuatu yang praktis, memusatkan perhatian pada gagasan-gagasan untuk mengembangkan diri. Ia memperlihatkan semua tanda bahwa ia lebih dari siap untuk menyerahkan dirinya kepada disiplin dari sebuah tarekat darwis.



Syekh tersebut bertanya kepadanya, mengapa ia menolak semua ajaran lainnya. Ada berbagai alasan, katanya, berbeda-beda dalam hampir setiap kasus. "Ceritakan kepadaku sebagian!" ucap sang guru.

Agama-agama besar, katanya, tampaknya tidak melangkah cukup mendalam. Mereka memusatkan diri pada dogma-dogma. Dogma-dogma tersebut harus diterima apa adanya.

Zen (salah satu pecahan Budha) sebagaimana telah ia temukan di Barat, sama sekali tidak menyentuh realitas. Yoga menuntut disiplin keras jika hal itu tidak ingin menjadi "sekadar suatu mode sambilan".

Kultus-kultus yang terpusat pada kepribadian seseorang didasarkan pada pemusatan terhadap orang tersebut. Ia tidak bisa menerima dasar pemikiran bahwa seremoni, simbolisme dan apa yang disebut sebagai peniruan kebenaran-kebenaran spiritual itu memiliki suatu kebenaran sejati.

Di antara para Sufi yang bisa dihubunginya, tampak baginya hanya berusaha mencapai pola yang serupa. Sebagian memiliki sifat pengajaran yang tulus, sebagian menggunakan gerakan-gerakan ritmis yang tampak sebagai peniruan dari sesuatu. Yang lain mengajarkan melalui bacaan-bacaan (wirid) yang tidak bisa dibedakan dari ucapan-ucapan (khotbah). Sebagian Sufi disibukkan dengan memusatkan perhatian pada tema-tema teologis.

Maukah Syekh membantunya?

"Lebih dari yang engkau ketahui," ucap Syekh. "Manusia itu sedang berkembang, apakah ia mengetahuinya atau tidak. Kehidupan itu satu, meskipun dalam bentuk-bentuk tertentu ia tampak bermacam-macam.

Selama engkau hidup, engkau sebenarnya sedang belajar. Mereka yang belajar melalui upaya sengaja sebenarnya merusak pengajaran yang diproyeksikan bagi mereka pada keadaan normal.

Orang-orang yang tak terdidik sampai pada tingkatan tertentu mempunyai hikmah, sebab mereka menerima akses dari dampak-dampak kehidupan itu sendiri. Ketika engkau berjalan dan melihat benda-benda atau orang, kesan-kesan ini sebenarnya mengajarimu.

Jika engkau secara aktif berusaha belajar dari mereka, engkau mengetahui hal-hal tertentu, tetapi semua itu merupakan hal-hal yang telah ditentukan sebelumnya. Engkau melihat wajah seseorang. Di saat engkau melihatnya, pertanyaan-pertanyaan muncul di benakmu, dan pertanyaan itu dijawab oleh pikiranmu sendiri. Apakah ia hitam? Apakah ia jujur? Manusia seperti apakah dia? Juga ada pertukaran konstan antara orang lain dan dirimu sendiri."

"Pertukaran ini didominasi oleh pandangan subyektifmu. Maksudku adalah bahwa engkau melihat apa yang engkau lihat. Ini telah menjadi suatu tindakan otomatis; engkau seperti mesin, tetapijuga seorang manusia yang hanya terlatih secara superfisial.



Engkau melihat sebuah rumah. Ciri-ciri umum dan khusus dari rumah tersebut terpilah-pilah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan tersimpan dalam akalmu. Tetapi (semua itu) tidak secara obyektif --hanya sesuai dengan pengalaman-pengalamanmu sebelumnya.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2525 seconds (0.1#10.140)