Bias Gender: Penjelasan Nasaruddin Umar tentang Ayat yang Sering Dipermasalahkan

Sabtu, 15 Oktober 2022 - 15:09 WIB
loading...
Bias Gender: Penjelasan Nasaruddin Umar tentang Ayat yang Sering Dipermasalahkan
Prof Dr KH Nasaruddin Umar: Fiqih Islam sudah semestinya diadakan berbagai penyesuaian. Foto/Ilustrasi: ist
A A A
Prof Dr KH Nasaruddin Umar, MA menjelaskan beberapa ayat yang sering dipermasalahkan karena cenderung memberikan keutamaan kepada laki-laki. "Hampir semua tafsir yang ada mengalami gender bias," ujarnya dalam tulisannya yang berjudul "Perspektif Jender Dalam Islam".

Menurut dia, hal itu antara lain disebabkan karena pengaruh budaya Timur Tengah yang androcentris. Bukan hanya kitab-kitab tafsir tetapi juga kamus. Sebagai salah satu contoh, al-dzakar/mudzakkar (laki-laki) seakar kata dengan al-dzikr berarti mengingat.

Kata khalifah di dalam kamus Arab paling standar, Lisan al-Arab, menyatakan bahwa: "khalifah hanya digunakan di dalam bentuk maskulin" (al-khalifah la yakun illa al-dzakar).



Tulisan yang dihimpun dalam buku berjudul "Jurnal Pemikiran Islam Paramadina" (1998) ini, Nasaruddin Umar menjelasakan ada beberapa ayat sering dipermasalahkan karena cenderung memberikan keutamaan kepada laki-laki, seperti dalam ayat warisan ( QS al-Nis'a'/4 : 11), persaksian ( QS al-Baqarah/2 :228, surat al-Nisa'/4:34), dan laki-laki sebagai "pemimpin"/qawwamah (QS al-Nisa'/4:34), akan tetapi ayat-ayat itu tidak bermaksud merendahkan kaum perempuan.

Ayat-ayat itu boleh jadi merujuk kepada fungsi dan peran sosial berdasarkan jenis kelamin (gender roles) ketika itu. "Seperti diketahui ayat-ayat mengenai perempuan umumnya mempunyai riwayat sabab nuzul jadi sifatnya sangat historical," kata Nasaruddin Umar.

Lagi pula, katanya lagi, ayat-ayat tersebut berbicara tentang persoalan detail (muayyidat). Umumnya ayat-ayat seperti itu dimaksudkan untuk mendukung dan mewujudkan tujuan umum (maqashid) ayat-ayat essensial, yang juga menjadi tema sentral al-Qur'an.

Ayat-ayat yang diturunkan dalam suatu sebab khusus (sabab nuzul) terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama:

a). Apakah ayat-ayat itu berlaku secara universal tanpa memperhatikan kasus turunnya (yufid al-'alm) atau b). Berlaku universal dengan syarat memperhatikan persamaan karakteristik illat (khushush al-'illah), yang meliputi empat unsur yaitu peristiwa, pelaku, tempat, dan waktu, atau c). Hanya mengikat peristiwa khusus yang menjadi sebab (khushush al-sabab) turunnya ayat, dengan demikian ayat-ayat tersebut tidak mengkover secara langsung peristiwa-peristiwa lain.



Al-Qur'an dan Nabi Muhammad telah melakukan proses awal dalam membebaskan manusia, khususnya kaum perempuan, dari cengkeraman teologi, mitos, dan budaya jahiliyah.

Nasaruddin Umar mengingatkan Al-Qur'an dan Hadis yang berbicara tentang beberapa kasus tertentu, hendaknya dilihat sebagi suatu proses yang mengarah kepada suatu tujuan umum (maqashid al-syari'ah).

Al-Qur'an mempunyai seni tersendiri dalam memperkenalkan dan menyampaikan ide-idenya, misalnya dengan: a) disampaikan secara bertahap (al-tadrij fi al-tasyri), b) berangsur (taqlil al-taklif), dan c) tanpa memberatkan (a'dam al-haraj).

Sebagai contoh, upaya menghapuskan minuman yang memabukkan (iskar), diperlukan empat ayat turun secara bertahap. "Jika kita perhatikan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan persoalan perbudakan, kewarisan, dan poligami, runtut turunnya ayat-ayat tersebut mengarah kepada suatu tujuan, yaitu mewujudkan keadilan dan menegakkan amanah dalam masyarakat," katanya.

Dalam melihat hak asasi perempuan dalam Islam, Nasaruddin Umar menjelaskan, kiranya kita tidak hanya memusatkan perhatian kepada peraturan-peraturan yang ada dalam kitab-kitab Fiqh. Mestinya juga dilihat dan dibandingkan bagaimana status dan kedudukan perempuan sebelum Islam.

Ia mencontohkan, misalnya dalam soal warisan; anak perempuan mendapat setengah bagian dari yang didapat anak laki-laki (QS al-Nisa'/4:11). Ketika ayat ini memberikan bagian kepada anak perempuan, meskipun itu hanya setengah, tanggapan masyarakat ketika itu menimbulkan kekagetan (shock) dalam masyarakat, karena ketentuan baru itu dianggap menyimpang dari tradisi besar (great tradition) mereka.



Ketentuan sebelumnya harta warisan itu jatuh kepada anggota keluarga yang bisa mempertahankan klan atau kabilah, dalam hal ini menjadi tugas laki-laki. Sekalipun laki-laki tetapi belum dewasa maka dihukum sama dengan perempuan. "Itulah sebabnya Nabi Muhammad tidak memperoleh harta warisan dari bapak dan neneknya karena ia masih belum dewasa," jelasnya.

Bagaimana jadinya seandainya pembagian warisan ketika itu ditetapkan sama rata kepada anggota keluarga tanpa membedakan peran jenis kelamin (gender role), sementara peran sosial berdasarkan peran jenis kelamin ketika itu sangat menentukan.

Mencari titik temu antara wahyu (revelation) dan budaya lokal adalah tugas para ulama. Para ulama berusaha merumuskan suatu pranata --kemudian lebih dikenal dengan Fiqh Islam-- dengan melakukan sintesa antara kultur Arab dan prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.9565 seconds (0.1#10.140)