Kisah Nabi dan Desa Semut: Binatang yang Tidak Boleh Dibunuh

Rabu, 08 Juli 2020 - 05:00 WIB
loading...
Kisah Nabi dan Desa Semut: Binatang yang Tidak Boleh Dibunuh
Yang berhak mengazab dengan api hanyalah pemilik api. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
Penafsir Alquran Prof Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menunjukkan bahwa semut merupakan hewan yang hidup bermasyarakat dan berkelompok. Hewan ini mempunyai etos kerja yang tinggi dan sikap kehati-hatian luar biasa.

Keunikan lain yang dimiliki oleh semut adalah menguburkan anggotanya yang mati. Itu merupakan keistimewaan semut yang terungkap melalui penelitian ilmuwan serta semut juga merupakan hewan yang memiliki rasa sosial dan solidaritas yang tinggi. Mereka tidak egois dan tidak mementingkan diri sendiri.



Semut bertasbih kepada Allah sebagaimana dinyatakan dalam hadis. Allah telah memberitakan bahwa segala sesuatu bertasbih dengan memuji Allah, "Dan tidak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka." (QS. Al-Isra: 44)

Semut adalah sebuah umat. Allah telah memberitakan bahwa makhluk-makhluk, burung-burung dan hewan-hewan, semuanya adalah umat seperti kita. "Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat-umat juga seperti kamu." (QS. Al-Anam: 38)

Baca juga
: Ridha Dengan Bala untuk Meraih Cinta Allah Ta'ala

Kisah Seorang Nabi
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bercerita, ada seorang Nabi singgah di bawah pohon, dia digigit oleh seekor semut. Selanjutnya dia memerintahkan agar rumah semut itu dibakar.

Hal yang sama juga diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah. Allah mewahyukan kepada Nabi itu. "Hanya karena kamu digigit oleh seekor semut lalu kamu membinasakan sebuah umat yang bertasbih."

Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya dalam Kitab Bad’il Khalqi, bab jika lalat jatuh di bejana, 6/356, no. 3219. Juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitabus Salam, bab larangan membunuh semut, 4/1759, no. 2241.



Kisah lainnya, dalam sebuah momen perjalanan bersama Rasulullah bersama para sahabat , beliau melihat peristiwa ganjil: sebuah sarang semut hangus terbakar. “Siapa yang telah membakar sarang ini?”

“Kami,” aku para sahabat Nabi. “Sungguh, tidak pantas menyiksa dengan api kecuali Tuhan pencipta api,” sabda Rasulullah.

Kisah ini termaktub dalam hadits riwayat Abu Dawud.

Dalam kisah seorang Nabi yang membakar desa semut, Syaikh ‘Umar Sulaiman al-Asyqor dalam Kisah-Kisah Shahih Dalam Al-Qur’an dan Sunnah menjelaskan seorang Nabi adalah manusia. Dia pun marah seperti mereka. Kadang-kadang dia melakukan tindakan spontan yang membuatnya menyesal setelah itu dan dia disalahkan karenanya.

"Di antaranya adalah tindakan Nabi ini. Dia marah kepada seekor semut beserta teman-temannya. Dia bertekad menghukum seluruh desa semut," ujarnya.



Keadilan menuntut orang yang tidak bersalah, tidak boleh dihukum karena kesalahan orang lain. Yang menggigit Nabi ini hanyalah seekor semut. Jika memang mesti dihukum, maka semestinya yang dihukum hanyalah semut tersebut bukan yang lain.



Syaikh Umar mengatakan Nabi kita mengajarkan bahwa kita berhak melawan orang atau hewan yang menyerang kita, walaupun hewan itu adalah hewan jinak. Semut ini menyerang dan menggigit. Jika orang yang digigitnya menghukumnya, maka dia tidak disalahkan.

"Adapun menghukum semua semut yang ada di desa itu dan membakar mereka dengan api, ini bukanlah suatu keadilan," katanya. ( )

Oleh karena itu, Allah menyalahkan Nabi itu dan mencelanya karena dia menghukum melampaui batas. Dia meghukum semut yang tidak bersalah karena kesalahan seekor semut.

Dia membunuh sebuah umat yang bertasbih kepada Allah. Dan Allah telah berfirman kepadanya untuk menegurnya, "Mengapa tidak hanya satu semut saja? Hanya karena kamu digigit oleh seekor semut, kamu membinasakan umat yang bertasbih kepada Allah." ( )

Menurut Syaikh Umar, orang yang terdidik untuk merasa bersalah jika membunuh seekor semut, dia tidak mungkin setelah itu membunuh manusia tanpa salah dan tanpa alasan yang benar. Dia akan menjadi contoh mulia yang menjaga nyawa hamba-hamba Allah sebagaimana dia menjaga tanaman dan hewan-hewan. ( )

Selanjutnya ia mengatakan, hadis ini mengajarkan pada kita bahwa tidak boleh membunuh semut, sebagaimana tidak boleh membunuh binatang lain, kecuali binatang yang menyerang dan mengganggu. Dalam sebuah hadis terdapat larangan membunuh semut, tawon, hudhud, dan shurad.

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ ، وَالضِّفْدَعِ ،
وَالنَّمْلَةِ ، وَالْهُدْهُدِ

“Rasulullah melarang membunuh burung shurad, kodok, semut dan burung hud-hud” (HR. Ibnu Majah)

Shurad adalah burung berkepala besar dan berparuh besar, perutnya putih, punggungnya hijau, memangsa serangga dan burung kecil.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih di atas syarat Bukhari Muslim. (Syarah Shahih Muslim An-Nawawi, 14/399).



Para ulama mengarahkan bahwa semut yang dimaksud dalam hadis tersebut tidaklah bermakna mutlak yang mencakup seluruh jenis semut, namun hanya tertentu pada semut-semut besar dan panjang yang tersebut dalam kisah Nabi Sulaiman. Sehingga ketika semut selain jenis ini boleh-boleh saja untuk dibunuh, terlebih ketika semut itu menyakiti terhadap manusia atau mengganggu aktivitasnya.

Bahkan jika semut besar dan panjang yang haram dibunuh ini menyakiti manusia maka keharaman membunuhnya menjadi hilang, sehingga boleh-boleh saja hewan ini dibunuh.



Bolehnya membunuh semut ini dengan menggunakan cara yang baik dalam membunuh hewan. Salah satu cara yang baik adalah tidak membunuh dengan sesuatu yang akan semakin menyiksa hewan tersebut.

Penjelasan tentang ketentuan ini terdapat dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin karya Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba’lawy.

Adapun semut yang kecil, yang dalam istilah Arab dikenal dengan nama dzurr maka boleh bahkan Sunnah membunuhnya namun dengan selain dengan cara membakar, sebab membakar ini menyakitkan. ( )

Jika terdapat semut besar yang masuk ke rumah dan menyakiti penghuni rumah itu maka boleh untuk membunuhnya.

Boleh Dibunuh
Dikecualikan dari larangan membunuh binatang adalah binatang fawasiq yang berjumlah lima, baik dibunuh di daerah halal maupun di daerah haram. Fawasiq yang berjumlah lima ini sebagaimana dalam hadis riwayat Bukhari dalam Shahih-nya adalah tikus, kalajengking, burung gagak, rajawali, dan anjing penggigit. (Shahih Bukhari, 6/355, no. 3314)



Selain kelima hewan fawasiq ini Rasulullah juga memerintahkan membunuh cicak. Beliau menyatakan bahwa membunuhnya adalah berpahala. (Lihat hadis-hadis yang memerintahkan membunuhnya dalam Shahih Muslim, 4/1757, no. 2237-2240)

Begitu juga beliau memerintahkan membunuh ular, kecuali ular rumah yang tidak dibunuh hingga diperingatkan tiga kali; jika setelah itu masih terlihat di rumah, maka bunuhlah. Dan dikecualikan dari ini adalah dua macam ular, yaitu ular berekor pendek dan ular dengan dua garis putih di punggungnya. Keduanya dibunuh secara mutlak walaupun tinggal di rumah, karena keduanya bisa menyebabkan keguguran dan kebutaan. (37 Lihat hadis-hadis tentang ular dalam Shahih Muslim, 4/1754).



Selanjutnya, membakar makhluk hidup tidak dibolehkan dalam syariat kita. Nabi menjelaskan alasan larangan ini, yaitu bahwa yang berhak mengazab dengan api hanyalah pemilik api. Dan ini mungkin dibolehkan di dalam syariat sebelum kita, karenanya Nabi ini membakar desa semut.

Namun, Imam ‘Amudi dalam kitab Husni an-Najwa dari gurunya, Imam Ibnu Hajar membolehkan membunuh hewan hasyarat (hewan melata kecil, termasuk semut) ketika menyakiti dengan cara membakarnya ketika memang tidak ada acara lain selain membakarnya. Wallahu'alam. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2243 seconds (0.1#10.140)