Gubernur yang Masuk Daftar Penduduk Miskin
loading...
A
A
A
“Apa lagi,” tanya Khalifah kepada hadirin.
Ketiga, Gubernur tidak masuk kantor sehari penuh dalam sebulan.
“Bagaimana pula tanggapan Anda, hai Said?” tanya Khalifah Umar.
“Sebagaimana telah saya terangkan tadi, saya tidak mempunyai pembantu rumah tangga. Di samping itu saya hanya memiliki sepasang pakaian yang melekat di badan ku ini. Saya mencucinya sekali sebulan. Bila saya mencucinya, saya terpaksa menunggu kering lebih dahulu. Sesudah itu barulah saya dapat keluar melayani masyarakat,” ucap Said.
“Nah, apa lagi laporan selanjutnya?” tanya Khalifah.
Keempat, sewaktu-waktu Gubernur menutup diri untuk bicara. Pada saat-saat seperti itu, biasanya beliau pergi meninggalkan majlis.”
“Silakan menanggapi, hai Gubernur Said!” kata Khalifah Umar.
“Ketika saya masih musyrik dulu, saya pernah menyaksikan almarhum Khubaib bin ‘Ady dihukum mati oleh kaum Quraisy kafir. Saya menyaksikan mereka menyayat-nyayat tubuh Khubaib berkeping-keping. Pada waktu itu mereka bertanya mengejek Khubaib, “Sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?” Ejekan mereka itu dijawab oleh Khubaib, “Saya tidak ingin bersenang-senang dengan isteri dan anak-anak saya, sementara Nabi Muhammad tertusuk duri...“ ( )
“Demi Allah...!” kata Said. “Jika saya teringat akan peristiwa itu, di waktu mana saya membiarkan Khubaib tanpa membelanya sedikit jua pun, maka saya merasa, bahwa dosaku tidak akan diampuni Allah Ta’ala”.
”Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku,” kata Khalifah Umar mengkahiri dialog itu.
Sekembalinya ke Madinah, Khalifah Umar mengirimi Gubernur Said seribu dinar untuk memenuhi kebutuhannya. Melihat jumlah uang sebanyak itu, isterinya berkata kepada Said, “Segala puji bagi Allah yang mencukupi kita berkat pengabdianmu. Saya ingin uang ini kita pergunakan untuk membeli bahan pangan dan kelengkapan kelengkapan lain-lain. Dan saya ingin pula menggaji seorang pembantu rumah tangga untuk kita.”
“Adakah usul yang lebih baik dan itu?” tanya Said kepada isterinya.
“Apa pulakah yang lebih baik dari itu? “ jawab istrinya balik bertanya.
“Kita bagi-bagikan saja uang ini kepada rakyat yang membutuhkannya. Itulah yang lebih baik bagi kita,” jawab Said.
“Mengapa....?” tanya isterinya.
“Dengan begitu berarti kita mendepositokan uang ini kepada Allah. Itulah cara yang lebih baik,” kata Said.
“Baiklah kalau begitu,” kata isterinya.
“Semoga kita dibalasi Allah dengan balasan yang paling baik.”
Ketiga, Gubernur tidak masuk kantor sehari penuh dalam sebulan.
“Bagaimana pula tanggapan Anda, hai Said?” tanya Khalifah Umar.
“Sebagaimana telah saya terangkan tadi, saya tidak mempunyai pembantu rumah tangga. Di samping itu saya hanya memiliki sepasang pakaian yang melekat di badan ku ini. Saya mencucinya sekali sebulan. Bila saya mencucinya, saya terpaksa menunggu kering lebih dahulu. Sesudah itu barulah saya dapat keluar melayani masyarakat,” ucap Said.
“Nah, apa lagi laporan selanjutnya?” tanya Khalifah.
Keempat, sewaktu-waktu Gubernur menutup diri untuk bicara. Pada saat-saat seperti itu, biasanya beliau pergi meninggalkan majlis.”
“Silakan menanggapi, hai Gubernur Said!” kata Khalifah Umar.
“Ketika saya masih musyrik dulu, saya pernah menyaksikan almarhum Khubaib bin ‘Ady dihukum mati oleh kaum Quraisy kafir. Saya menyaksikan mereka menyayat-nyayat tubuh Khubaib berkeping-keping. Pada waktu itu mereka bertanya mengejek Khubaib, “Sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?” Ejekan mereka itu dijawab oleh Khubaib, “Saya tidak ingin bersenang-senang dengan isteri dan anak-anak saya, sementara Nabi Muhammad tertusuk duri...“ ( )
“Demi Allah...!” kata Said. “Jika saya teringat akan peristiwa itu, di waktu mana saya membiarkan Khubaib tanpa membelanya sedikit jua pun, maka saya merasa, bahwa dosaku tidak akan diampuni Allah Ta’ala”.
”Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku,” kata Khalifah Umar mengkahiri dialog itu.
Sekembalinya ke Madinah, Khalifah Umar mengirimi Gubernur Said seribu dinar untuk memenuhi kebutuhannya. Melihat jumlah uang sebanyak itu, isterinya berkata kepada Said, “Segala puji bagi Allah yang mencukupi kita berkat pengabdianmu. Saya ingin uang ini kita pergunakan untuk membeli bahan pangan dan kelengkapan kelengkapan lain-lain. Dan saya ingin pula menggaji seorang pembantu rumah tangga untuk kita.”
“Adakah usul yang lebih baik dan itu?” tanya Said kepada isterinya.
“Apa pulakah yang lebih baik dari itu? “ jawab istrinya balik bertanya.
“Kita bagi-bagikan saja uang ini kepada rakyat yang membutuhkannya. Itulah yang lebih baik bagi kita,” jawab Said.
“Mengapa....?” tanya isterinya.
“Dengan begitu berarti kita mendepositokan uang ini kepada Allah. Itulah cara yang lebih baik,” kata Said.
“Baiklah kalau begitu,” kata isterinya.
“Semoga kita dibalasi Allah dengan balasan yang paling baik.”