Gubernur yang Masuk Daftar Penduduk Miskin

Kamis, 09 Juli 2020 - 11:06 WIB
loading...
Gubernur yang Masuk Daftar Penduduk Miskin
Khalifah Umar meminta daftar fakir miskin Himsh untuk diberikan santunan. Nama gubernur ada dalam daftar. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
SAID bin Amir Al Jumahy termasuk seorang pemuda di antara ribuan orang yang pergi ke Tan’im, di luar kota Makkah . Mereka berbondong-bondong ke sana, dikerahkan para pemimpin Quraisy untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati terhadap Khubaib bin ‘Ady, yaitu seorang sahabat Nabi yang mereka jatuhi hukuman tanpa alasan.

Dengan semangat muda yang menyala-nyala, Said maju menerobos orang banyak yang berdesak-desakan. Akhirnya dia sampai ke depan, sejajar dengan tempat duduk orang-orang penting, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah dan lain-lain.



Kaum kafir Quraisy sengaja mempertontonkan tawanan mereka dibelenggu. Sementara para wanita, anak anak dan pemuda, menggiring Khubaib ke lapangan maut. Mereka ingin membalas dendam terhadap Nabi Muhammad SAW, serta melampiaskan sakit hati atas ke kalahan mereka dalam perang Badar.

Ketika tawanan yang mereka giring sampai ke tiang salib yang telah disediakan, ‘Said mendongakkan kepala melihat kepada Khubaib bin ‘Ady. ‘Said mendengar suara Khubaib berkata dengan mantap, “Jika kalian bolehkan, saya ingin salat dua raka’at sebelum saya kalian bunuh....”

Baca Juga: :Khalifah Umar Pecat Khalid bin Walid demi Selamatkan Tauhid Umat

Kemudian Said melihat Khubaib menghadap ke kiblat (Ka’bah). Dia salat dua raka’at. Alangkah bagus dan sempurna salatnya itu.

Sesudah salat, Khubaib menghadap kepada para pemimpin Quraisy seraya berkata, “Demi Allah! Seandainya kalian tidak akan menuduhku melama-lamakan salat untuk melambat-lambatkan waktu karena takut mati, nescaya saya akan salat lebih banyak lagi.”



Mendengar ucapan Khubaib tersebut, Said melihat para pemimpin Quraisy naik darah, bagaikan hendak mencincang tubuh Khubaib hidup hidup. “Sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?” tanya mereka.

“Saya tidak ingin bersenang-senang dengan isteri dan anak-anak saya, sementara Muhammad tertusuk duri....,” jawab Khubaib mantap.

“Bunuh dia...! Bunuh dia...!” teriak orang banyak.



Said melihat Khubaib telah dipakukan ke tiang salib. Dia mengarahkan pandangannya ke langit sambil mendo’a, “Ya, Allah! Hitunglah jumlah mereka! Hancurkanlah mereka semua. Jangan disisakan seorang jua pun!” Tidak lama kemudian Khubaib menghembuskan nafasnya yang terakhir di tiang salib.

Sekujur tubuhnya penuh dengan luka-luka karena tebasan pedang dan tikaman tombak yang tak terbilang jumlahnya.



Kaum kafir Quraisy kembali ke Makkah biasa-biasa saja. Seolah-olah mereka telah melupakan peristiwa maut yang merenggut nyawa Khubaib dengan sadis. Tetapi Said bin ‘Amir Al-Jumahy yang baru meningkat usia remaja tidak dapat melupakan Khubaib walau agak sedetikpun. Sehingga dia bermimpi melihat Khubaib menjelma di hadapannya.

Dia seakan-akan melihat Khubaib salat dua raka’at dengan khusyu’ dan tenang di bawah tiang salib. Seperti terdengar olehnya rintihan suara Khubaib mendo‘akan kaum kafir Quraisy.



Said ketakutan kalau-kalau Allah ta’ala segera mengabulkan do’a Khubaib, sehingga petir dan halilintar menyambar kaum Quraisy.

Keberanian dan ketabahan Khubaib menghadapi maut mengajarkan pada Said beberapa hal yang belum pernah diketahuinya selama ini.



Pertama, hidup yang sesungguhnya ialah hidup berakidah (beriman); kemudian berjuang mempertahankan ‘akidah itu sampai mati.

Kedua, iman yang telah terhunjam dalam di hati seorang dapat menimbulkan hal-hal yang ajaib dan luar biasa.

Ketiga, orang yang paling dicintai Khubaib ialah sahabatnya, yaitu seorang Nabi yang dikukuhkan dari langit.

Sejak itu Allah ta’ala membukakan hati Said bin ‘Amir untuk menganut agama Islam. Kemudian dia berpidato di hadapan khalayak ramai, menyatakan: alangkah bodohnya orang Quraisy menyembah berhala. Karena itu dia tidak mau terlibat dalam kebodohan itu.



Ia buangnya berhala-hala yang dipujanya selama ini. Kemudian ia mengumumkan bahwa mulai saat itu dia masuk Islam. Tidak lama sesudah itu, Sa id menyusul kaum muslimin hijrah ke Madinah. Di sana dia senantisasa mendampingi Nabi SAW. Dia ikut berperang bersama beliau, mula-mula dalam peperangan Khaibar. Kemudian dia selalu turut berperang dalam setiap peperangan berikutnya.

Setelah Nabi SAW berpulang ke rahmatullah, Said tetap menjadi pembela setia Khalifah Abu Bakar dan Umar. Dia menjadi teladan satu-satuya bagi orang orang mu’min yang membeli kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia.



Dia lebih mengutamakan keridhaan Allah dan pahala daripada-Nya di atas segala keinginan hawa nafsu dan kehendak jasad. Kedua Khalifah Rasulullah, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, mengerti bahwa ucapan-ucapan Said sangat berbobot, dan taqwanya sangat tinggi. Karena itu keduanya tidak keberatan mendengar dan melaksanakan nasihat-nasihat Said.

Pada suatu hari di awal pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, Said datang kepadanya memberi nasihat. Kata Said, “Ya Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah manusia. Jangan takut kepada manusia dalam menjalankan agama Allah! Jangan berkata berbeda dengan perbuatan. Karena sebaik-baik perkataan ialah yang dibuktikan dengan perbuatan.”



“Hai Umar! Tujukanlah seluruh perhatian Anda kepada urusan kaum muslimin baik yang jauh maupun yang dekat. Berikan kepada mereka apa yang Anda dan keluarga sukai. Jauhkan dari mereka apa-apa yang Anda dan keluarga Anda tidak sukai. Arahkan semua karunia Allah kepada yang baik. Jangan hiraukan cacian orang-orang yang suka mencaci.”

“Siapakah yang sanggup melaksanakan semua itu, hai Said?” tanya Khalifah Umar.



“Tentu orang seperti Anda! Bukankah Anda telah dipercayai Allah memerintah ummat Muhammad ini? Bukankah antara Anda dengan Allah tidak ada lagi suatu penghalang?” jawab Said meyakinkan.

Pada suatu ketika Khalifah Umar memanggil Said untuk diserahi suatu jabatan dalam pemerintahan. “Hai Said! Engkau kami angkat menjadi Gubernur di Himsh!” kata Khalifah Umar.

“Wahai Umar! Saya memohon kepada Allah semoga Anda tidak mendorong saya condong kepada dunia,” kata Said.


“Celaka Engkau!” balas Umar marah.

“Engkau pikulkan beban pemerintahan ini di pundakku, tetapi kemudian Engkau menghindar dan membiarkanku repot sendiri.”

“Demi Allah! Saya tidak akan membiarkan Anda,” jawab Said.



Kemudjan Khalifah Umar melantik Sa ‘Id menjadi Gubernur di Himsh. Sesudah pelantikan, Khalifah Umar bertanya kepada Said, “Berapa gaji yang Engkau inginkan?”

“Apa yang harus saya perbuat dengan gaji itu, ya Amirul Mu’minin?” jawab Said balik bertanya. “Bukankah penghasilan saya dan Baitul Mal sudah cukup?”

Tidak berapa lama setelah Said memerintah di Himsh, sebuah delegasi datang menghadap Khalifah Umar di Madinah. Delegasi itu terdiri dari penduduk Hims yang ditugasi Khalifah mengamat-amati jalannya pemerintahan di Himsh.

Dalam pertemuan dengan delegasi tersebut, Khalifah Umar meminta daftar fakir miskin Himsh untuk diberikan santunan. Delegasi mengajukan daftar yang diminta Khalifah. Di dalam daftar tersebut terdapat nama-nama si Fulan, dan nama Said bin ‘Amir Al-Jumahy.



Ketika Khalifah meneliti daftar tersebut, beliau menemukan nama Said bin ‘Amir AlJumahy. Lalu beliau bertanya “Siapa Said bin ‘Amir yang kalian cantumkan ini?” “Gubernur kami!“ jawab mereka.

“Betulkah Gubernur kalian miskin?” tanya khalifah heran.

“Sungguh, ya Amiral Mu’minin! Demi Allah! Sering kali di rumahnya tidak kelihatan tanda-tanda api menyala (tidak memasak),”jawab mereka meyakinkan.



Mendengar perkataan itu, Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau meleleh membasahi jenggotnya. Kemudian beliau mengambil sebuah pundi-pundi berisi uang seribu dinar. “Kembalilah kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Said bin ‘Amir. Dan uang ini saya kirimkan untuk beliau, guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah tangganya” ucap Umar sedih.

Setibanya di Himsh, delegasi itu segera menghadap Gubernur Said, menyampaikan salam dan uang kiriman Khalifah untuk beliau. Setelah Gubernur Sa ‘id melihat pundi-pundi berisi uang dinar, pundi-pundi itu dijauhkannya dari sisinya seraya berucap, ‘inna lilahi wa inna ilaihi raji’un. (Kita milik Allah, pasti kembali kepada Allah).”



Mendengar ucapannya itu, seolah-olah suatu mara bahaya sedang menimpanya. Karena itu isterinya segera menghampiri seraya bertanya, “Apa yang terjadi, hai Said? Meninggalkah Amirul Mu ‘minin?”

“Bahkan lebih besar dan itu!” jawab Said sedih.

“Apakah tentara muslimin kalah berperang?” tanya Isterinya pula.



“Jauh lebih besar dari itu!” jawab Said tetap sedih.

“Apa pulakah gerangan yang Iebih dari itu?” tanya isterinya tak sabar.

“Dunia telah datang untuk merusak akhiratku. Bencana telah menyusup ke rumah tangga kita,” jawab Said tegas.



“Bebaskan dirimu daripadanya!“ kata isteri Said memberi semangat, tanpa mengetahui perihal adanya pundi-pundi uang yang dikirimkan Khalifah Umar untuk pribadi suaminya.

“Mahukah Engkau menolongku berbuat demikian?” tanya Said. “Tentu...!“ jawab istrinya bersemangat. Maka Said mengambil pundi-pundi uang itu, lalu disuruhnya istrinya membagi-bagi kepada fakir miskin.

Tidak berapa lama kemudian, Khalifah Umar berkunjung ke Syria, menginspeksi pemerintahan di sana. Dalam kunjungannya itu beliau. menyempatkan diri singgah di Himsh Kota Himsh pada masa itu dinamai orang pula “Kuwaifah (Kufah kedil)”, karena rakyatnya sering melapor kepada pemerintah pusat dengan kelemahan-kelemahan Gubernur mereka, persis seperti kelakuan masyarakat Kufah.



Tatkala Khalifah singgah di sana, rakyat mengelu-elukan beliau, mengucapkan Selamat Datang. Khalifah bertanya kepada rakyat, “Bagaimana penilaian Saudara-Saudara terhadap kebijakan Gubernur”.

“Ada empat macam kelemahan yang hendak kami laporkan kepada Khalifah,” jawab rakyat.

“Saya akan pertemukan kalian dengan Gubernur kalian,” jawab Khalifah Umar sambil mendo’a: “Semoga sangka baik saya selama ini kepada Said bin ‘Amir tidak salah.”



Maka tatkala semua pihak—yaitu Gubernur dan masyarakat—telah lengkap berada di hadapan Khalifah, beliau bertanya kepada rakyat, “Bagaimana laporan saudara-saudara tentang kebijakan Gubernur Saudara-saudara?”

Pertanyaan Khalifah dijawab oleh seorang Juru Bicara. Pertama: Gubernur selalu tiba di tempat tugas setelah matahari tinggi. “Bagaimana tanggapan Anda mengenai laporan rakyat Anda itu, hai Said?” tanya Khalifah.

Gubernur Said bin ‘Amir Al-Jumahy diam sejenak. Kemudian dia berkata: “Sesungguhnya saya keberatan menanggapinya. Tetapi apa boleh buat. Keluarga saya tidak mempunyai pembantu. Karena itu tiap pagi saya terpaksa turun tangan membuat adonan roti lebih dahulu untuk mereka. Sesudah adonan itu asam (siap untuk dimasak), barulah saya buat roti. Kemudian saya berwudhu’. Sesudah itu barulah saya berangkat ke tempat tugas untuk melayani masyarakat.”



“Apa lagi laporan Saudara-saudara?” tanya Khalifah kepada hadirin.

Kedua, Gubernur tidak bersedia melayani kami pada malam hari.”

“Bagaimana pula tanggapan Anda mengenai itu, hai Said?” tanya khalifah.

“Ini sesungguhnya lebih berat bagi saya menanggapinya, terutama di hadapan umum seperti ini,” kata Said. “Saya telah membagi waktu saya, siang hari untuk melayani masyarakat, malam hari untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah,” lanjut Said



“Apa lagi,” tanya Khalifah kepada hadirin.

Ketiga, Gubernur tidak masuk kantor sehari penuh dalam sebulan.

“Bagaimana pula tanggapan Anda, hai Said?” tanya Khalifah Umar.

“Sebagaimana telah saya terangkan tadi, saya tidak mempunyai pembantu rumah tangga. Di samping itu saya hanya memiliki sepasang pakaian yang melekat di badan ku ini. Saya mencucinya sekali sebulan. Bila saya mencucinya, saya terpaksa menunggu kering lebih dahulu. Sesudah itu barulah saya dapat keluar melayani masyarakat,” ucap Said.

“Nah, apa lagi laporan selanjutnya?” tanya Khalifah.



Keempat, sewaktu-waktu Gubernur menutup diri untuk bicara. Pada saat-saat seperti itu, biasanya beliau pergi meninggalkan majlis.”

“Silakan menanggapi, hai Gubernur Said!” kata Khalifah Umar.

“Ketika saya masih musyrik dulu, saya pernah menyaksikan almarhum Khubaib bin ‘Ady dihukum mati oleh kaum Quraisy kafir. Saya menyaksikan mereka menyayat-nyayat tubuh Khubaib berkeping-keping. Pada waktu itu mereka bertanya mengejek Khubaib, “Sukakah engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?” Ejekan mereka itu dijawab oleh Khubaib, “Saya tidak ingin bersenang-senang dengan isteri dan anak-anak saya, sementara Nabi Muhammad tertusuk duri...“ ( )

“Demi Allah...!” kata Said. “Jika saya teringat akan peristiwa itu, di waktu mana saya membiarkan Khubaib tanpa membelanya sedikit jua pun, maka saya merasa, bahwa dosaku tidak akan diampuni Allah Ta’ala”.

”Segala puji bagi Allah yang tidak mengecewakanku,” kata Khalifah Umar mengkahiri dialog itu.

Sekembalinya ke Madinah, Khalifah Umar mengirimi Gubernur Said seribu dinar untuk memenuhi kebutuhannya. Melihat jumlah uang sebanyak itu, isterinya berkata kepada Said, “Segala puji bagi Allah yang mencukupi kita berkat pengabdianmu. Saya ingin uang ini kita pergunakan untuk membeli bahan pangan dan kelengkapan kelengkapan lain-lain. Dan saya ingin pula menggaji seorang pembantu rumah tangga untuk kita.”



“Adakah usul yang lebih baik dan itu?” tanya Said kepada isterinya.

“Apa pulakah yang lebih baik dari itu? “ jawab istrinya balik bertanya.

“Kita bagi-bagikan saja uang ini kepada rakyat yang membutuhkannya. Itulah yang lebih baik bagi kita,” jawab Said.

“Mengapa....?” tanya isterinya.

“Dengan begitu berarti kita mendepositokan uang ini kepada Allah. Itulah cara yang lebih baik,” kata Said.

“Baiklah kalau begitu,” kata isterinya.

“Semoga kita dibalasi Allah dengan balasan yang paling baik.”

Sebelum mereka meninggalkan majlis, uang itu dimasukkan Said ke dalam beberapa pundi, lalu diperintahkannya kepada salah seorang keluarganya untuk membagi uang itu kepada fakir miskin. ( ).
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3323 seconds (0.1#10.140)