Kisah Muslimah Amerika Attallah Shabazz, Putri Malcolm X Hadiah dari Tuhan

Kamis, 22 Desember 2022 - 07:55 WIB
loading...
Kisah Muslimah Amerika Attallah Shabazz, Putri Malcolm X Hadiah dari Tuhan
Attallah Shabazz. Foto/Ilustrasi: Getty Images
A A A
Attallah Shabazz adalah seorang aktris, penulis, diplomat, dan pembicara motivasi Amerika . Dia putri sulung pasangan Malcolm X dan Betty Shabazz. Attallah Shabazz lahir di Brooklyn, New York, pada 16 November 1958.

Sedangkan sang ayah, Malcom X, adalah juru bicara Nation of Islam hingga 1964. Dia seorang advokat vokal untuk pemberdayaan kulit hitam dan promosi Islam dalam komunitas kulit hitam.

Sang bunda, Betty Shabazz lahir 1934 dan meninggal 1997 dikenal sebagai Betty X, adalah seorang pendidik dan advokat hak sipil Amerika. Pada tahun 1956, ia bergabung dengan Nation of Islam.



Steven Barbosa dalam bukunya berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" menceritakan 4 dari 6 putri Malcolm X menyaksikan sebuah peristiwa horor yang hampir tidak dapat dipercaya di Audubon Ballroom, 21 Februari 1965.

Sebuah bedil berlaras dua ditembakkan dari jarak dekat, membuat sebuah lobang yang mematikan di dada ayah mereka. Karena salah seorang dari anak-anak itu meratap dan meraung-raung, takut kalau-kalau pembunuh itu akan membunuh semua orang, ibu mereka, Betty Shabazz, segera mendorong mereka ke bawah kursi dan melindungi mereka dengan tubuhnya.

Anak-anak dan ibunya selamat dari peristiwa yang menimbulkan trauma itu. Mereka melewati hari-hari yang begitu menyedihkan. Hidup mereka senantiasa dalam ketakutan, dihantui oleh ingatan akan peluru-peluru yang beterbangan, kegelisahan, dan orang yang sangat mereka cintai terkapar mati di lantai ruang pesta yang lembab.

Attallah Shabazz, putri tertua Malcolm, mewarisi warna kulit, wajah, keseriusan, sikap teguh, dan postur ayahnya yang agung. Dia tinggi semampai, dengan rambut panjang yang dikepangnya dengan jalinan memanjang ke punggungnya.

Dia bermata hijau, paling tidak menurut surat izin mengemudinya, walaupun tampaknya agak kebiruan atau keabu-abuan, "Tergantung pada siapa yang melihatnya."

Sebagai seorang bocah, dia menciptakan "kolaborasi" orisinal ("musik, seni, tari, puisi, serta tangis dan tawa") menjembatani jurang pemisah antara orang-orang dan kebudayaan yang ada di sana ("untuk menunjukkan bahwa kita saling berhubungan dalam satu dan lain hal dari segi dentuman gendang dan denyut jantung"). Dia mengambil bidang hukum internasional sebagai pelajaran utamanya di Briar Cliff College; tetapi tidak sampai lulus. "Saya harus mencari nafkah," tuturnya. Dia menulis, mengajar, berkarya.



Berikut adalah penuturan Attallah Shabazz selengkapnya sebagaimana dinukil dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" (Mizan, 1995).

Sesungguhnya terdapat persamaan-persamaan dalam ajaran-ajaran berbagai agama. Jadi ketika nenek saya berkata pada saya, "Jadilah kamu seorang gadis cilik Kristen yang baik karena kamu sekolah hari ini," dan ketika ibu saya berkata, "engkau harus menjadi seorang gadis kecil Muslim yang baik," kedua kalimat itu sesungguhnya menyiratkan arti yang sama.

Saya senang dan bahagia menjadi pemeluk agama yang menyatakan bahwa dasar ajarannya adalah persaudaraan. Perpindahan atau pergantian agama bagi saya tidak penting. Tetapi saya akan mengatakan bahwa mungkin saya sedikit mengalami pembentukan (jiwa) kembali dibanding dengan orang-orang lain yang meminta saya untuk berperilaku atau berfungsi menurut yang disarankan oleh orang lain.

Orang-tua saya mungkin saja telah membantu saya atau justru mentidakadili saya dengan memberitahu saya ketika saya masih berumur tiga atau empat tahun bahwa Tuhan adalah teman saya dalam setiap keadaan. Jadi saya tidak perlu khawatir tentang apa pun yang dikatakan orang lain.

Bahkan apabila sekarang orang tua saya marah pada saya, saya tahu bahwa Tuhan masih tetap menjadi teman saya. Maka secara Islami saya merasa sangat aman. Pakaian dan gaya hidup saya mungkin sangat dekat dengan kebudayaan di sekeliling saya. Tetapi saya tidak akan menggampangkannya; saya hanya melakukan yang nyaman bagi saya.



Teman Pertama
Ayah saya adalah teman saya yang pertama. Sahabat saya dalam kesulitan. Dia adalah seseorang yang dengannya saya dapat berbagi segalanya.

Kebanyakan orang merasa takut kepada orangtuanya atau menyembunyikan hal-hal tertentu dari mereka, karena mereka tidak ingin dianggap salah di mata orangtuanya.

Saya tidak merasa bersalah kalau punya suatu pendapat, suatu pemikiran --saya dapat menyampaikan padanya segala hal yang terlintas di pikiran saya. Saya tidak pernah dianggap "kurang" karena saya tidak mengikuti pola yang mereka harapkan. Saya diperbolehkan menjadi diri saya sendiri.

Ayah saya, yang sangat terarah dan terkendali, benar-benar percaya akan keluwesan berpikir, perkembangan dan pertumbuhan. Kalau tidak dia tidak akan menjadi seperti itu.

Nama saya Attallah. Otobiografi ayah ditulis pada suatu masa ketika orang-orang Afro-Amerika benar-benar sangat menekankan semangat revolusioner mereka. Mereka memandang diri sebagai prajurit-prajurit. Dan Attallah dekat dengan Attila sang 'Pemburu' (anggota dari suku Asia yang memporakporandakan Eropa pada abad ke-4 dan ke-5-pen.), sang prajurit.

Tetapi saya dinamakan Attallah, yang dalam bahasa Arab berarti 'Pemberian Tuhan'. Saya tidak pernah menjadi Attila.

Saya berdoa lebih dari lima kali sehari, karena beberapa alasan. Saya berdoa karena saya berada di pesawat dua atau tiga kali sehari. Saya seperti sedang berlomba. Saya sholat setiap hari.

Saya pikir hidup itu telah ditentukan sebelumnya, ditulis sebelumnya, dan jika Anda percaya pada diri Anda sendiri dan pada irama yang telah ditentukan, jawabannya akan datang pada Anda.



Perjuangan berasal dari penolakan. Seperti ketika Anda memutuskan untuk belok ke kiri tapi Anda justru belok ke kanan, sehingga Anda harus berputar dan melakukan belokan-U untuk kembali ke jalan semula.

Saya berhubungan cukup dekat dengan Tuhan, dan selalu ditemani-Nya. Ketika masih kanak-kanak saya berpikir Dia ada di kamar, mengetahui pendapat yang terlintas di pikiran dan perasaan yang terlintas di hati.

Dalam pengalaman hidup saya dan dalam menghadapi kenyataan bahwa ayah saya telah direnggut dari saya ketika saya masih kecil, saya mengenali pola-pola hidupnya dan menerima kenyataan bahwa kita semua berada di sini untuk tujuan tertentu.

Saya lebih senang kalau dia masih hidup saat ini. Saya memandang pusaka dan pesan-pesannya. Dia hidup cukup lama sehingga meninggalkan cukup banyak kenangan. Kahlil Gibran berkata --kita semua berada di sini untuk melewati suatu jalan, dan sebagai penyalur.

Tidak Menyulitkan Diri
Saya tidak terbebani oleh kata-kata jihad. Jihad itu memang ada, tetapi saya tidak menyulitkan diri saya dengan mencoba memikirkannya. Tugas itu akan datang kepada Anda, baik ketika Anda sedang menghadap ke timur, atau bermeditasi, atau berdoa, atau berbaring dengan tenang pada malam hari sebelum tidur.

Kita hanya menyulitkan dan membebani diri jika mencoba untuk melakukan sesuatu sebagaimana pola atau kerangka yang telah ditetapkan sebelumnya.

Cobalah pergi ke negara lain. Di sana mereka menghabiskan waktu dua jam hanya untuk makan. Mereka tidak merasa resah. Mereka mengukur waktu menurut bayangan matahari. Mereka tidak dihukum karena menggunakan waktu yang lama itu. Maksud saya di Amerika ini kita melakukan segala sesuatu dengan tergesa-gesa, dan kita sangat dipengaruhi oleh penilaian orang.



Dalam otobiografinya, ayah Anda berkata, "Islam adalah satu-satunya agama yang menjelaskan pada suami dan istri pemahaman yang benar tentang arti cinta. Konsep 'cinta' Barat hanya nafsu berahi semata. Cinta lebih berarti dari sekadar kebutuhan fisik. Cinta adalah watak, tingkah laku, sikap, pemikiran, serta perasaan suka dan benci --inilah yang menciptakan wanita yang cantik, istri yang cantik. "Apakah Anda setuju?

Saya melihat adanya perbedaan yang mendasar antara cinta dan nafsu berahi. Barat sebenarnya mempraktikkan nafsu berahi dan menyalahartikannya sebagai cinta ...

Saya mengerti bahwa kaum muda di sini berpikir bahwa mereka diharapkan untuk melanjutkannya, dan bahwa mereka dibilang pengecut jika tidak berusaha untuk mencium seorang gadis.

Anda dengarkan para wanita yang berkencan, dan para pria sopan yang bertingkah laku platonis, atau penuh hormat, kemudian mereka terheran-heran apakah ada sesuatu yang salah. Dan saya pasti tidak ingin melakukan sesuatu yang nantinya saya sesali, jadi saya tidak bereaksi cepat menanggapi masalah seperti itu.

Frederick Douglass
Hati saya pernah berdebar-debar karena tergila-gila pada Frederick Douglass, yang saya pikir akan menikah dengan saya. Saya berpikir cinta berarti bahwa Anda menikah dengan dia. Orang tua saya saling mencintai, mereka menikah. Dan dia memberitahu saya bahwa saya tidak dapat menikah dengannya --karena dia sudah tiada. Saya merasa kehilangan.

Saya benar-benar berpikir dia orang yang sangat mengagumkan --dari apa yang saya ketahui tentang dia. Dan [ayah saya] terus menceritakan pada saya siapakah Frederick Douglass. Ayah pernah membawa pulang sebuah buku tentang dia, jadi saya dapat mengisi ketidaktahuan saya dan mempelajari lebih jauh tentang orang itu.

Setelah kelahiran setiap anak dalam keluarga saya, akan diadakan pertemuan di rumah. Saya ingat, saya mendengar seorang laki-laki dari Nation berkata kepada [ayah saya], wah! Secara implisit ini artinya, "Sayang sekali, perempuan lagi."



Kemudian saya bertanya kepadanya apakah dia berharap bahwa saya laki-laki, dan dia menjawab tidak. Dia menyayangi saya sebagaimana adanya. Lalu dia bilang, betapa istimewanya saya dan adik-adik saya yang lain. Karena dia telah memberitahu saya bahwa saya istimewa, maka saya merasa baik-baik saja ketika jenis kelamin mulai menjadi persoalan di masa remaja saya dan di masa awal kedewasaan saya, dan ketika ada perjuangan yang dilakukan oleh banyak wanita di negara ini.

Penyakit Sosial
Saya tahu pekerjaan ayah saya, saya tidak tahu penyakit itu --penyakit sosial. Penghinaan pertama yang terus-menerus muncul di benak saya berasal dari orang-orang di sekitar saya --ketidakpedulian.

Hukuman pertama yang saya alami setelah kematiannya berasal dari orang kulit hitam. Maksud saya bukan keluarga yang selalu berada di sekeliling kami, tetapi yang saya maksud hanya, ketidakramahan, hukuman, tidak menginginkan anak-anak mereka bermain bersama kami, hanya itu... Orang kulit putih dapat dituduh bersifat penuh prasangka buruk, tetapi masyarakat kulit hitam melakukan hal itu juga.

Saya tidak pernah membiarkan semua itu menjadi sesuatu yang menyakitkan, karena saya selalu menganggap perbuatan seperti itu sebagai egois dan tidak pantas --itu adalah kekurangan dan kelemahan mereka. Saya dapat merasakan penderitaan orang lain, seperti saudara kandung atau ibu saya. Saya dapat merasakan penderitaan mereka.

Ada sebuah petisi yang ditandatangani bahwa kami tidak akan pindah ke lingkungan tetangga setelah kematian ayah saya. Mereka sekarang seperti bibi dan paman saya. Sungguh, banyak yang telah dilakukan, tetapi kami dapat melewati semua itu, dan saya mempunyai seorang model dan ukuran: ibu saya. Saya bersyukur pada Tuhan untuk itu.

Bagaimana pendapat Anda atas bangkitnya perhatian terhadap ayah Anda? Apakah Anda bahagia dengan kesadaran itu?

Tentu saja, saya berharap itu terus membangkitkan kesadaran, bukan saja tentang ayah saya, tetapi juga tentang segala hal yang sudah menjadi sesuatu yang tabu.



Filosofi ayah saya bukanlah filosofi yang baru. Kita ini orang-orang yang terlambat berkembang jika kita baru menyadarinya hampir tiga puluh tahun kemudian.

Jika seseorang seperti ayah saya mempunyai pesan yang dapat mempersatukan umat manusia dengan segera, maka kita harus bertanya pada diri sendiri, siapa yang menghalangi informasi itu, apa tujuan mereka?

Saya berharap bahwa kita berpartisipasi dalam proses penyadaran ini. Kita perlu menghabiskan lebih banyak waktu di perpustakaan atau rumah arsip, dan mengetahui bahwa kita berhak untuk itu.

Jembatan Jurang Pemisah
[Ayah saya] menjembatani jurang pemisah antara orang yang masuk Islam dan orang yang mempunyai pemahaman yang salah tentang Islam yang diajarkan Nation of Islam dan orang Timur.

Dia melaksanakan ibadah haji, kembali pulang, lalu mempersatukan kaum Muslimin asing dan muslim Amerika. Dia menjembatani jarak itu karena sebagian besar anggota Nation tidak memikirkan kemurnian Islam.

Wallace Muhammed, ketika mengambil-alih Nation setelah kematian ayahnya, menggabungkan berbagai suku bangsa ke dalam kelompoknya. Mereka sangat berbeda dengan kami.



Para pengikut setia Nation benar-benar mempunyai masalah dengan orang-orang Timur yang sangat beragam itu. Pada tahun-tahun terakhir masa hidup ayah saya, ada seorang syaikh yang tinggal di rumah kami --dia tampak seperti orang yang telah berusia seratus tahun, sangat berwibawa, berkulit hitam legam, rambut seputih salju, dan mengenakan pakaian gaya Saudi Arabia.

Dia begitu saleh dan sangat mengagumkan; ayah saya tampak sangat sederhana di samping orang itu; dia benar-benar merasa nyaman berada di sana. Namanya Syaikh [Ahmed] Hassoun.

Saya adalah generasi ketiga dari kedua pihak keluarga saya. Kakek saya dibunuh. Ayah saya juga mengalami apa yang dialami oleh orang tuanya, dan orang tua mereka. Hidupnya berakhir dengan kekerasan sebagai akibat dari usahanya menyebarluaskan sebuah kesadaran. Beban diletakkan di pundak ibu saya. Dia mempunyai teladan yang cukup di hadapannya, tentang cara untuk bertahan dalam menghadapi tekanan itu.

[Kakek-nenek saya] adalah orang internasionalis. Mereka berasal dari gerakan Carvey. Mereka memahami sejarah sejak awal mulanya. Nenek saya, yang berasal dari Karibia, dikelilingi oleh orang-orang Timur, yaitu orang Afrika Utara, orang Indian Timur; semua itu mempengaruhi sifatnya.

Rangkaian kehidupan ayah saya berhubungan erat dengan apa yang dialaminya pada sepuluh tahun pertama pembentukan dirinya. Komitmennya pada rakyat, perubahan sosial, kehidupan swasembada. Nenek saya menguasai empat bahasa.



Dia menulis dalam surat kabar. Ayah dan saudara-saudara kandung saya menyaksikan semua itu. Semua keterlibatan sosial itu --komitmen, tanggung jawab yang disebutkan tadi. Sehingga ketika kakek dan nenek saya telah tiada, anak-anaknya terpisah dan berpencar.

Ayah saya mengembara di jalan-jalan. Jika dia tidak memiliki tujuan dan jalan yang kuat untuk memulai, dia tidak akan menemukan jalannya untuk kembali. Tetapi dia telah dididik sejak awal.

Dua Agama yang Berbeda
Yang cukup menarik, kakek-nenek saya berasal dari dua agama yang berbeda, walaupun pada saat itu Anda akan mengikut suami Anda secara otomatis. Tak seorang pun dari mereka yang mencela latar belakang agama yang lainnya.

Kakek saya, sebagai akibat dari menjadi generasi pertama yang dilahirkan di masa perbudakan, dipaksa beragama Kristen. Nenek saya diarahkan kepada Islam tanpa paksaan karena itulah kebudayaan sekitarnya.

Saya menjalani hidup saya sebagaimana yang telah dibentuk, ditata, dipahat oleh orang tua saya. Berlakulah secara Islami, berlakulah sebagai seorang Amerika, berlakulah sebagai putri mereka, berlakulah sebagai seorang wanita kulit hitam --saya hidup sewajarnya sebagaimana kata hati saya. Orang-orang terlalu banyak berharap. Jika saya hidup seperti mereka, saya akan menjadi orang yang sesat.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3230 seconds (0.1#10.140)