Hikmah Agama Menurut Nurcholish Madjid
loading...
A
A
A
Zaid yang bekas budak (hitam) itu memang seorang pemuda yang saleh dan cerdas, yang setelah dimerdekakan diangkat Nabi sebagai anak angkat, dan sejak itu bernama lengkap Zaid ibn Muhammad. Tetapi dengan adanya pembatalan sistem anak angkat yang disamakan dengan anak kandung dan sejak itu bernama lengkap seperti semestinya, yaitu Zaid ibn Haritsah.
Firman yang dimaksud berkenaan dengan masalah ini ialah QS Al-Ahzab 33 :37-40, "Ingatlah ketika engkau berkata kepada seseorang (Zaid) yang telah mendapatkan nikmat dari Allah dan mendapat nikmat (kasih sayang) darimu sendiri, "Pertahankanlah untukmu isterimu (Zainab) itu, dan bertaqwalah kepada Allah. Tetapi engkau menyimpan sesuatu dalam dirimu yang Allah hendak membukanya keluar, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah-lah yang lebih berhak kau takuti. Maka setelah Zaid melaksanakan pembatalan (perkawinannya) dengan dia (Zainab) secara pasti (resmi), Kami (Tuhan) kawinkan engkau (Muhammad) kepadanya (Zainab), agar tidak ada halangan bagi orang-orang beriman untuk mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka jika memang mereka (anak-anak angkat) telah membatalkan (perkawinan) dari mereka (isteri-isteri mereka).
Dan perintah Allah haruslah dilaksanakan. Tidak boleh ada kesulitan pada Nabi berkenaan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Itulan Sunnat Allah kepada mereka yang telah lewat sebelumnya, dan perintah Allah adalah kepastian yang sepasti-pastinya, yaitu (Sunnat Allah) kepada mereka yang menyampaikan pesan-pesan Allah, dan mereka takut kepada-Nya, dan cukuplah Allah sebagai yang membuat perhitungan Muhammad bukanlah ayah seseorang dari kaum lelaki di antara kamu, melainkan Rasul Allah dan Penutup Nabi. Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu."
Cak Nur mengatakan tujuan ini jelas langsung terkait dengan segi universal yang lebih menyeluruh, yaitu konsep atau ajaran fitrah, yang mengimplikasikan bahwa segala sesuatu dalam tatanan hidup manusia ini hendaknya diatur dengan ketentuan yang sealami mungkin sesuai dengan hukum alam (Qadar) dan hukum sejarah (Sunnat-u 'l-Lah) yang
pasti dan tak berubah-ubah.
Dalam QS Al-Qamar 54 :49 disebutkan, "Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menciptakan segala sesuatu dengan (hukum) kepastian (Qadar)." Dan QS Al-Furqan 25 :2 "Dan Dia (Tuhan) menciptakan segala sesuatu kemudian ditetapkan kepastiannya sepasti-pastinya."
Kedua ayat itu, dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain, menegaskan tentang adanya hukum kepastian dari Allah (Qadar) yang menguasai dan mengatur alam raya ciptaan-Nya ini.
Sedangkan terkait Sunnat-u 'l-Lah dijelaskan dalam QS Fathir 36 :43, "... Dan mengapa mereka tidak memperhatikan Sunnah yang terjadi pada orang-orang yang telah lalu? Engkau tidak akan mendapatkan peralihan dalam Sunnat Allah dan engkau tidak akan menemukan perubahan dalam Sunnat Allah." Firman ini, dan masih banyak lagi yang lain, menjelaskan tentang adanya Sunnat Allah, yakni hukum-hukum kepastian dari Allah yang menguasai dan mengatur kehidupan manusia dalam sejarah. Kita diwajibkan memeriksa dan meneliti kemudian menarik pelajaran daripadanya.
Pandangan bahwa segala sesuatu harus sealami mungkin adalah benar-benar sentral namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama fitrah yang hanif.
Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan secara global. Dalam arti yang lebih terinci, konsep hikmah agama dinyatakan dalam berbagai ungkapan, seperti telah menjadi tema dan judul sebuah buku yang cukup terkenal, Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu.
Hikmah pesan agama ini juga dikenal dengan istilah lain sebagai maqashid al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah). Berkaitan dengan ini berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agama Islam, khususnya pembahasan bidang hukum (syari'ah -par excellence), seperti konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin: ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm (sumbu perputaran hukum).
Konsep-konsep ini dibuat berkenaan dengan perlunya menemukan suatu rationale yang mendasari penetapan suatu hukum. Contoh nyata penerapan konsep ini ialah yang dikenakan pada hukum khamr. Bahwa rationale diharamkannya minuman keras (alkoholik, seperti khamar) ialah sifatnya yang memabukkan.
Kemudian sifat memabukkan itu sendiri dihukumnya sebagai tidak baik, karena ia mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental.
Dan selanjutnya, kerusakan mental itu -betapa pun jelas negatif- masih bisa dilihat rationalenya sehingga ia negatif, yaitu bahwa ia berarti hilangnya akal sehat yang menjadi bagian dari fithrah manusia. Padahal memelihara fithrah itulah, justru merupakan salah satu ajaran sentral agama Islam.
Firman yang dimaksud berkenaan dengan masalah ini ialah QS Al-Ahzab 33 :37-40, "Ingatlah ketika engkau berkata kepada seseorang (Zaid) yang telah mendapatkan nikmat dari Allah dan mendapat nikmat (kasih sayang) darimu sendiri, "Pertahankanlah untukmu isterimu (Zainab) itu, dan bertaqwalah kepada Allah. Tetapi engkau menyimpan sesuatu dalam dirimu yang Allah hendak membukanya keluar, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah-lah yang lebih berhak kau takuti. Maka setelah Zaid melaksanakan pembatalan (perkawinannya) dengan dia (Zainab) secara pasti (resmi), Kami (Tuhan) kawinkan engkau (Muhammad) kepadanya (Zainab), agar tidak ada halangan bagi orang-orang beriman untuk mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka jika memang mereka (anak-anak angkat) telah membatalkan (perkawinan) dari mereka (isteri-isteri mereka).
Dan perintah Allah haruslah dilaksanakan. Tidak boleh ada kesulitan pada Nabi berkenaan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Itulan Sunnat Allah kepada mereka yang telah lewat sebelumnya, dan perintah Allah adalah kepastian yang sepasti-pastinya, yaitu (Sunnat Allah) kepada mereka yang menyampaikan pesan-pesan Allah, dan mereka takut kepada-Nya, dan cukuplah Allah sebagai yang membuat perhitungan Muhammad bukanlah ayah seseorang dari kaum lelaki di antara kamu, melainkan Rasul Allah dan Penutup Nabi. Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu."
Cak Nur mengatakan tujuan ini jelas langsung terkait dengan segi universal yang lebih menyeluruh, yaitu konsep atau ajaran fitrah, yang mengimplikasikan bahwa segala sesuatu dalam tatanan hidup manusia ini hendaknya diatur dengan ketentuan yang sealami mungkin sesuai dengan hukum alam (Qadar) dan hukum sejarah (Sunnat-u 'l-Lah) yang
pasti dan tak berubah-ubah.
Dalam QS Al-Qamar 54 :49 disebutkan, "Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menciptakan segala sesuatu dengan (hukum) kepastian (Qadar)." Dan QS Al-Furqan 25 :2 "Dan Dia (Tuhan) menciptakan segala sesuatu kemudian ditetapkan kepastiannya sepasti-pastinya."
Kedua ayat itu, dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain, menegaskan tentang adanya hukum kepastian dari Allah (Qadar) yang menguasai dan mengatur alam raya ciptaan-Nya ini.
Sedangkan terkait Sunnat-u 'l-Lah dijelaskan dalam QS Fathir 36 :43, "... Dan mengapa mereka tidak memperhatikan Sunnah yang terjadi pada orang-orang yang telah lalu? Engkau tidak akan mendapatkan peralihan dalam Sunnat Allah dan engkau tidak akan menemukan perubahan dalam Sunnat Allah." Firman ini, dan masih banyak lagi yang lain, menjelaskan tentang adanya Sunnat Allah, yakni hukum-hukum kepastian dari Allah yang menguasai dan mengatur kehidupan manusia dalam sejarah. Kita diwajibkan memeriksa dan meneliti kemudian menarik pelajaran daripadanya.
Pandangan bahwa segala sesuatu harus sealami mungkin adalah benar-benar sentral namun menuntut pemahaman mendalam yang disebut sebagai agama fitrah yang hanif.
Itulah hikmah pesan agama dalam arti yang seluas-luasnya dan secara global. Dalam arti yang lebih terinci, konsep hikmah agama dinyatakan dalam berbagai ungkapan, seperti telah menjadi tema dan judul sebuah buku yang cukup terkenal, Hikmat al-Tasyri' wa Falsafatuhu.
Baca Juga
Hikmah pesan agama ini juga dikenal dengan istilah lain sebagai maqashid al-syari'ah (maksud dan tujuan syari'ah). Berkaitan dengan ini berbagai konsep yang telah mapan dalam pembahasan agama Islam, khususnya pembahasan bidang hukum (syari'ah -par excellence), seperti konsep sekitar 'illat al-hukm (Latin: ratio legis), yang juga sering disebut dengan manath al-hukm (sumbu perputaran hukum).
Konsep-konsep ini dibuat berkenaan dengan perlunya menemukan suatu rationale yang mendasari penetapan suatu hukum. Contoh nyata penerapan konsep ini ialah yang dikenakan pada hukum khamr. Bahwa rationale diharamkannya minuman keras (alkoholik, seperti khamar) ialah sifatnya yang memabukkan.
Kemudian sifat memabukkan itu sendiri dihukumnya sebagai tidak baik, karena ia mengakibatkan suatu jenis kerusakan, yaitu kerusakan mental.
Dan selanjutnya, kerusakan mental itu -betapa pun jelas negatif- masih bisa dilihat rationalenya sehingga ia negatif, yaitu bahwa ia berarti hilangnya akal sehat yang menjadi bagian dari fithrah manusia. Padahal memelihara fithrah itulah, justru merupakan salah satu ajaran sentral agama Islam.
(mhy)