Kisah Ayah dan Anak yang Sahid dalam Memerangi Nabi Palsu

Senin, 13 Juli 2020 - 17:40 WIB
loading...
A A A
Kata Thufail, ‘Sesudah itu aku senantiasa mendampingi Rasulullah SAW, dan turut berperang bersama beliau kemana saja, hingga kota Makkah dibebaskan dan kekuasaan kaum kafir Quraisy.”



Setelah pembebasan kota Makkah, Thufail bermohon kepada Rasulullah, “Ya, Rasulullah! Izininlah aku pergi ke Dzil Kafain, untuk memusnahkan berhala-hala yang ada di sana".

Rasulullah memberi izin kepada Thufail. Dia berangkat ke tempat berhala tersebut dengan satu regu tentara dan pasukannya. Sewaktu sampai ke sana dan mereka bersiap hendak membakar berhala Dzil Kaffain, berkerumunlah kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak sekitar mereka, menunggu-nunggu apa yang akan terjadi.



Mereka menduga akan terjadi petir dan halilintar, bila regu Thufail menjamah berhala Dzil Kaffain itu. Tetapi Thufail dengan mantap meruntuhkan berhala itu disaksikan para pemujanya sendiri.

Beliau menyulutkan api tepat di jantung Dzil Kaffain, sambil bersajak “Hal Dzil Kaffain! Kami bukanlah pemujamu. Kelahiran kami lebih dahulu dari keberadaanmu. lnilah aku, menyulutkan api di jantungmu!”

Setelah api melalap habis patung-patung Dzil Kaffain, sirna pulalah sisa-sisa kemusyrikan dalam kabilah Dausy. Seluruh kabilah Daus lalu masuk Islam, dan menjadi muslim sejati.
Thufail Bin ‘Arrir Ad Dausy senantiasa mendamping Rasulullah SAW sampai beliau wafat.



Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, Thufail dan anak buahnya patuh kepada pemenintahan Khalifah Abu Bakar. Tatkala berkecamuk peperangan membasmi orang murtad, Thufail paling dahulu pergi berperang bersama-sama tentara muslimin memerangi Musailimah Al-Kadzhzab (Musailimah si pembohong).

Begitu pula putera beliau, ‘Amr bin Thufail, yang selalu tak mau ketinggalan. Ketika Thufail sedang dalam perjalanan menuju Yamamah (kawasan tempat Musailimah nenyebarkan pahamnya), dia bermimpi: “Aku bermimpi, cobalah kalian ta’birkan mimpi ku itu”, kata Thufail kepada sahabat-sahabatnya.

“Bagaimana mimpi Anda?” tanya sang kawan.



“Aku bermimpi kepalaku dicukur. Seekor burung keluar dari mulutku, kemudian seorang perempuan memasukanku ke dalam perutnya. Anakku ‘Amr menuntut dengan sungguh-sungguh supaya dibolehkan ikut bersamaku. Tetapi dia tak dapat berbuat apa karena antara aku dan dia ada dinding.”

“Sebuah mimpi nan indah!” komentar kawan-kawannya.

Kata Thufail, “Sekarang, baiklah aku ta’birkan sendiri. Kepalaku dicukur, artinya kepalaku dipotong orang. Burung keluar dari mulutku, artinya nyawaku keluar dari jasadku. Seorang perempuan memasukkanku ke dalam perutnya, artinya tanah digali orang, lalu aku dikuburkan. Aku berharap semoga aku tewas sebagai syahid. Adapun tuntutan anakku, dia juga berharap supaya mati syahid seperti aku. Tetapi permintaannya dikabulkan kemudian.”



Dalam pertempuran memerangi pasukan Musailimah Al-Kadzdazab di Yamamah, sahabat yang mulia ini, Thufail Ibnu ‘Amr Ad Dausy, mendapat cidera sehingga dia terbanting dan tewas di medan tempur.

Puteranya ‘Amr, meneruskan peperangan hingga tangan kanannya buntung. Setelah itu dia kembali ke Madinah meninggalkan tangannya sebelah dan jenazah bapaknya di medan tempur Yamamah.

Tatkala Khalifah ‘Umar bin Khaththab memerintah, ‘Amr bin Thufail (putera Thufail) pernah datang ke majlis khalifah. Ketika dia sedang berada dalam majlis, makanan pun dihidangkan orang. Orang-orang yang duduk dalam majlis mengajak ‘Amr supaya turut makan bersama-sama. Tetapi ‘Amr menolak dan menjauh. “Mengapa..?“ tanya Khalifah.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3936 seconds (0.1#10.140)