Memaknai Hadis Islam Kembali dalam Keadaan Asing
Selasa, 24 Januari 2023 - 21:27 WIB
2. Asing dalam kebatilan di tengah masyarakat yang benar.
Jadi, tidak serta merta keterasingan dimaknai sebagai sesuatu yang Islami. Salah besar jika ada anggapan semakin asing seseorang, semakin ia dekat dengan Islam. Bukan begitu? Yang juga menarik adalah jika memaknai orang asing sebagaimana riwayat Imam Baihaqi yang mengisahkan dialog antara Umar bin Khattab dan Mu'adz bin Jabal.
Muadz menceritakan pada Umar satu hadits dari Rasulullah SAW yang artinya: "Allah mencintai orang-orang yang tersembunyi, takwa, dan suci. Ketika mereka tidak ada, masyarakat tidak merasa kehilangan; ketika mereka ada, masyarakat tidak menyadari. (Namun demikian) Hati mereka (seperti) lampu-lampu hidayah, mereka keluar (menjauh) dari fitnah."
Gambaran di atas sangat identik dengan laku para sufi. Low profile, tidak menonjolkan diri, hidup damai, dan tentram. Jauh dari hingar-bingar kehidupan duniawi. Apa pun yang digunakan untuk memaknai orang asing, tidak ada satupun yang bisa menjadi pembenar untuk pelaku tabdi dan takfir apalagi aksi terorisme.
Hadits itu juga sama sekali tidak berisi perintah untuk mengasingkan diri atau untuk jauh dari kerumunan. Pada banyak kesempatan justru sebaliknya, kita diminta untuk ambil peran dalam kehidupan masyarakat. Umat Islam diminta menjadi ummatan-wasathan. Secara literal berarti umat yang berada di tengah.
Namun, secara kontekstual adalah umat yang senantiasa mengambil peran. Dalam sebuah hadits dari sahabat Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda:
"إِن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم الاختِلاف فعليكم بالسواد الأعظم"
Artinya: "Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kamu melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah golongan mayoritas." (HR Ibnu Majah)
Berdasarkan pesan hadis di atas, apabila umat Islam melakukan kesepakatan, maka kesepakatan itu dijamin dan dipastikan benar. Sehingga kesepakatan tersebut sifatnya mengikat dan wajib diikuti oleh seluruh umat Islam.
Akan tetapi, apabila banyak terjadi perbedaan pendapat, maka umat Islam wajib mengikuti golongan mayoritas. Ketika para ulama berbeda pendapat, maka mengikuti mayoritas ulama. Dan ketika umat Islam berbeda pendapat, maka mengikuti mayoritas umat Islam.
Hadis itu juga mengisyaratkan, bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat dalam masalah fiqhiyah atau furu'iyah, maka dianjurkan mengikuti mazhab jumhur atau mayoritas ulama. Tetapi ketika terjadi perbedaan dalam persoalan akidah atau ushuliyah, seperti perbedaan antara Ahlussunnah Wal-Jamaah, Khawarij, Wahbiyah (rustumiyah), Mu'tazilah, Bahaiyah, Syiah, Qadariyah, Ahmadiyah, Jabarriyah, Wahabiyah (Salafi Hijaz, Salafi Yamani, Manhaj Salaf, Salafi Ikhwani, Salafi Turots, Salafi harakiyah, Salafi lokal dan lain-lain), maka umat Islam wajib mengikuti golongan mayoritas, yaitu Ahlussunnah Waljamaah.
إن أهل الكتابين افترقوا فى دينهم على ثنتين وسبعين ملة وإن هذه الأمة ستفترق على ثلاث وسبعين ملة وكلها فى النار إلا واحدة وهى الجماعة
Artinya: "Dua golongan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah terpecah dalam agama mereka menjadi 72 (aliran), dan sungguh umat ini akan terpecah menjadi 73 aliran, semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu (yang berpegang teguh pada) jamaah." (HR Ahmad, at-Thobroni, Hakim)
Maksud dari 72 golongan atau sekte yang disebutkan dalam hadis ini adalah sekte atau aliran yang muncul karena faktor perbedaan pokok-pokok aqidah dan keimanan yang menyelisihi Ahli Sunnah wal Jama'ah, seperti yang disebutkan di atas. (Fathul Bari)
Demikian penjelasan Gus Musa Muhammad. Semoga bermanfaat untuk menambah khazanah kelimuan kita.
Wallahu A'lam
Jadi, tidak serta merta keterasingan dimaknai sebagai sesuatu yang Islami. Salah besar jika ada anggapan semakin asing seseorang, semakin ia dekat dengan Islam. Bukan begitu? Yang juga menarik adalah jika memaknai orang asing sebagaimana riwayat Imam Baihaqi yang mengisahkan dialog antara Umar bin Khattab dan Mu'adz bin Jabal.
Muadz menceritakan pada Umar satu hadits dari Rasulullah SAW yang artinya: "Allah mencintai orang-orang yang tersembunyi, takwa, dan suci. Ketika mereka tidak ada, masyarakat tidak merasa kehilangan; ketika mereka ada, masyarakat tidak menyadari. (Namun demikian) Hati mereka (seperti) lampu-lampu hidayah, mereka keluar (menjauh) dari fitnah."
Gambaran di atas sangat identik dengan laku para sufi. Low profile, tidak menonjolkan diri, hidup damai, dan tentram. Jauh dari hingar-bingar kehidupan duniawi. Apa pun yang digunakan untuk memaknai orang asing, tidak ada satupun yang bisa menjadi pembenar untuk pelaku tabdi dan takfir apalagi aksi terorisme.
Hadits itu juga sama sekali tidak berisi perintah untuk mengasingkan diri atau untuk jauh dari kerumunan. Pada banyak kesempatan justru sebaliknya, kita diminta untuk ambil peran dalam kehidupan masyarakat. Umat Islam diminta menjadi ummatan-wasathan. Secara literal berarti umat yang berada di tengah.
Namun, secara kontekstual adalah umat yang senantiasa mengambil peran. Dalam sebuah hadits dari sahabat Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda:
"إِن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم الاختِلاف فعليكم بالسواد الأعظم"
Artinya: "Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kamu melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah golongan mayoritas." (HR Ibnu Majah)
Berdasarkan pesan hadis di atas, apabila umat Islam melakukan kesepakatan, maka kesepakatan itu dijamin dan dipastikan benar. Sehingga kesepakatan tersebut sifatnya mengikat dan wajib diikuti oleh seluruh umat Islam.
Akan tetapi, apabila banyak terjadi perbedaan pendapat, maka umat Islam wajib mengikuti golongan mayoritas. Ketika para ulama berbeda pendapat, maka mengikuti mayoritas ulama. Dan ketika umat Islam berbeda pendapat, maka mengikuti mayoritas umat Islam.
Hadis itu juga mengisyaratkan, bahwa ketika terjadi perbedaan pendapat dalam masalah fiqhiyah atau furu'iyah, maka dianjurkan mengikuti mazhab jumhur atau mayoritas ulama. Tetapi ketika terjadi perbedaan dalam persoalan akidah atau ushuliyah, seperti perbedaan antara Ahlussunnah Wal-Jamaah, Khawarij, Wahbiyah (rustumiyah), Mu'tazilah, Bahaiyah, Syiah, Qadariyah, Ahmadiyah, Jabarriyah, Wahabiyah (Salafi Hijaz, Salafi Yamani, Manhaj Salaf, Salafi Ikhwani, Salafi Turots, Salafi harakiyah, Salafi lokal dan lain-lain), maka umat Islam wajib mengikuti golongan mayoritas, yaitu Ahlussunnah Waljamaah.
إن أهل الكتابين افترقوا فى دينهم على ثنتين وسبعين ملة وإن هذه الأمة ستفترق على ثلاث وسبعين ملة وكلها فى النار إلا واحدة وهى الجماعة
Artinya: "Dua golongan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) telah terpecah dalam agama mereka menjadi 72 (aliran), dan sungguh umat ini akan terpecah menjadi 73 aliran, semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu (yang berpegang teguh pada) jamaah." (HR Ahmad, at-Thobroni, Hakim)
Maksud dari 72 golongan atau sekte yang disebutkan dalam hadis ini adalah sekte atau aliran yang muncul karena faktor perbedaan pokok-pokok aqidah dan keimanan yang menyelisihi Ahli Sunnah wal Jama'ah, seperti yang disebutkan di atas. (Fathul Bari)
Demikian penjelasan Gus Musa Muhammad. Semoga bermanfaat untuk menambah khazanah kelimuan kita.
Wallahu A'lam
(rhs)