Di Kaki Ka'bah, Tatkala Khalifah Meminta Fatwa dari Bekas Budak
Kamis, 18 Juni 2020 - 15:07 WIB
Lalu aku bertanya kepada ayah: “Siapakah orang ini?”
Ayah berkata: “Diam kamu, ia adalah penghulu para ahli fikih di Hijaz Atha’ bin Abi Rabah.”
Ketika telah dekat jarak kami dengannya, ayah bergegas turun dari bighalnya sedangkan Atha’ turun dan himamya. Keduanya saling berpelukan dan saling menanyakan kabarnya, kemudian keduanya kembali dan menaiki kendaraannya. Mereka berjalan hingga berhenti di depan pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Keduanya diminta duduk menunggu hingga mendapatkan izin untuk masuk.
Setelah ayah keluar aku bertanya kepadanya: “Ceritakanlah apa yang Anda lakukan berdua di dalam istana?”
Beliau berkata: “Tatkala Hisyam mengetahui bahwa Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, maka beliau bersegera menyambut dan mempersilahkan kami untuk masuk. Demi Allah saya tidak akan bisa masuk melainkan karena bersama Atha’. Demi melihat Atha’ Hisyam berkata: “Marhaban! Marhaban! silakan.. silakan..beliau terus menyambut: “Silakan..silakan..!” hingga Hisyam mendudukkan Atha’ di atas kasurnya dan menempelkan lututnya ke lutut Atha’.
Ketika itu majlis dihadiri oleh para bangsawan, tadinya mereka bercakap-cakap namun seketika mereka menjadi diam. Kemudian Hisyam menghadap Atha’ dan terjadilah dialog antara keduanya:
Hisyam : “Apa keperluan Anda wahai Abu Muhammad?”
Atha’ : “Wahai amirul mukminin, penduduk Haramain, keluarga Allah dan tetangga Rasulullah, hendaknya mendapatkan pembagian rezki dan pemberian.”
Hisyam: “Baik. .Wahai penulis, tulis bagi penduduk Makkah dan Madinah untuk menerima bantuan selama satu tahun.”
Lalu Hisyam bertanya lagi kepada Atha’: “Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’ : “Benar, wahai amirul mukminin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd, asal mula Arab dan tempat para pemimpin Islam, janganlah diambil kelebihan sedekah mereka..”
Hisyam : “Baik…! Wahai penulis, tulis agar kita menolak penyerahan kelebihan sedekah mereka. Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’ : “Benar wahai amirul mukminin, ahluts tsughur (yang ribath fii sabililah di perbatasan) mereka berdiri menjaga dan musuh, mereka membunuh siapapun yang menimpakan keburukan kepada kaum muslimin, hendaknya dikirim rezeki kepada mereka. Karena jika mereka terbunuh niscaya akan lenyaplah perbatasan.”
Hisyam : “Baiklah…! Wahai penulis, tulislah agar kita mengirim makanan kepada mereka. Masih adakah keperluan lainnya wahai Abu Muhammad?”
Atha’ : “Benar wahai amirul mukminin, ahli dzimmah, janganlah dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui, karena ketundukan mereka adalah kekuatan bagi kalian untuk mengalahkan musuh kalian.”
Hisyam berkata kepada penulisnya: “Wahai penulis, tulislah bagi ahli dzimmah agar mereka tidak dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui. Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’ : “Benar..bertakwalah kepada Allah atas dirimu wahai amirul mukminin, ketahuilah bahwa engkau diciptakan seorang diri engkaupun akan mati seorang diri dikumpulkan di makhsyar seorang diri, dihisab seorang diri, dan demi Allah engkau tidak melihat siapapun..!”
Ayah berkata: “Diam kamu, ia adalah penghulu para ahli fikih di Hijaz Atha’ bin Abi Rabah.”
Ketika telah dekat jarak kami dengannya, ayah bergegas turun dari bighalnya sedangkan Atha’ turun dan himamya. Keduanya saling berpelukan dan saling menanyakan kabarnya, kemudian keduanya kembali dan menaiki kendaraannya. Mereka berjalan hingga berhenti di depan pintu istana Hisyam bin Abdul Malik. Keduanya diminta duduk menunggu hingga mendapatkan izin untuk masuk.
Setelah ayah keluar aku bertanya kepadanya: “Ceritakanlah apa yang Anda lakukan berdua di dalam istana?”
Beliau berkata: “Tatkala Hisyam mengetahui bahwa Atha’ bin Abi Rabah berada di depan pintu, maka beliau bersegera menyambut dan mempersilahkan kami untuk masuk. Demi Allah saya tidak akan bisa masuk melainkan karena bersama Atha’. Demi melihat Atha’ Hisyam berkata: “Marhaban! Marhaban! silakan.. silakan..beliau terus menyambut: “Silakan..silakan..!” hingga Hisyam mendudukkan Atha’ di atas kasurnya dan menempelkan lututnya ke lutut Atha’.
Ketika itu majlis dihadiri oleh para bangsawan, tadinya mereka bercakap-cakap namun seketika mereka menjadi diam. Kemudian Hisyam menghadap Atha’ dan terjadilah dialog antara keduanya:
Hisyam : “Apa keperluan Anda wahai Abu Muhammad?”
Atha’ : “Wahai amirul mukminin, penduduk Haramain, keluarga Allah dan tetangga Rasulullah, hendaknya mendapatkan pembagian rezki dan pemberian.”
Hisyam: “Baik. .Wahai penulis, tulis bagi penduduk Makkah dan Madinah untuk menerima bantuan selama satu tahun.”
Lalu Hisyam bertanya lagi kepada Atha’: “Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’ : “Benar, wahai amirul mukminin, penduduk Hijaz dan penduduk Najd, asal mula Arab dan tempat para pemimpin Islam, janganlah diambil kelebihan sedekah mereka..”
Hisyam : “Baik…! Wahai penulis, tulis agar kita menolak penyerahan kelebihan sedekah mereka. Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’ : “Benar wahai amirul mukminin, ahluts tsughur (yang ribath fii sabililah di perbatasan) mereka berdiri menjaga dan musuh, mereka membunuh siapapun yang menimpakan keburukan kepada kaum muslimin, hendaknya dikirim rezeki kepada mereka. Karena jika mereka terbunuh niscaya akan lenyaplah perbatasan.”
Hisyam : “Baiklah…! Wahai penulis, tulislah agar kita mengirim makanan kepada mereka. Masih adakah keperluan lainnya wahai Abu Muhammad?”
Atha’ : “Benar wahai amirul mukminin, ahli dzimmah, janganlah dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui, karena ketundukan mereka adalah kekuatan bagi kalian untuk mengalahkan musuh kalian.”
Hisyam berkata kepada penulisnya: “Wahai penulis, tulislah bagi ahli dzimmah agar mereka tidak dibebani dengan apa-apa yang tidak mereka mampui. Masih adakah keperluan yang lain wahai Abu Muhammad?”
Atha’ : “Benar..bertakwalah kepada Allah atas dirimu wahai amirul mukminin, ketahuilah bahwa engkau diciptakan seorang diri engkaupun akan mati seorang diri dikumpulkan di makhsyar seorang diri, dihisab seorang diri, dan demi Allah engkau tidak melihat siapapun..!”