Di Kaki Ka'bah, Tatkala Khalifah Meminta Fatwa dari Bekas Budak
Kamis, 18 Juni 2020 - 15:07 WIB
KITA berada di sepuluh hari terakhir bulan Dzulhijah tahun 97 H. Saat di mana Baitul ‘Atiq dibanjiri oleh lautan manusia yang menyahut panggilan Allah hingga memenuhi seluruh ruas jalan. Ada yang berjalan kaki dan ada yang berkendaraan. Ada yang lanjut usia ada pula yang muda belia, yang laki-laki maupun yang wanita, ada yang putih ada pula yang hitam warna kulitnya, ada orang Arab ada pula orang ‘Ajam, ada raja dan ada pula rakyat jelata. Mereka datang berbondong-bondong menyahut seruan Rajanya manusia dengan penuh khusyuk, tunduk, penuh harap dan suka cita.
Sementara itu, Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah kaum muslimin, raja tertinggi di dunia sedang berthawaf di Baitul ‘Atiq tanpa mengenakan penutup kepala, tanpa alas kaki, tanpa memakai apapun selain sarung dan rida’. Tak ada bedanya antara dirinya dengan rakyat biasa. Beliau seperti layaknya saudara-saudaranya karena Allah. Di belakangnya turut kedua putranya. Mereka laksana bulan purnama yang terang dan bercahaya, atau bagai sekuntum bunga merekah yang indah dan wangi baunya.
Setelah usai melakukan thawaf, khalifah menghampiri seorang kepercayaannya dan bertanya: “Di manakah temanmu itu?” Sambil menunjuk ke sudut barat Masjidil Haram dia menjawab: “Di sana, beliau sedang berdiri untuk salat .”
Dengan diiringi kedua putranya, khalifah bertandang menuju lokasi yang dimaksud. Para pengawal khalifah bermaksud menyibak kerumunan orang untuk melapangkan jalan bagi khalifah agar tidak berdesak-desakan, namun beliau mencegahnya sembari berkata: “Ini adalah suatu tempat yang tidak membedakan antara raja dan rakyat jelata. Tiada yang lebih utama antara satu dengan yang lain sedikitpun melainkan karena amal dan takwanya. Boleh jadi seseorang yang kusut dan berdebu diterima ibadahnya oleh Allah dengan penerimaan yang tidak diberikan kepada para raja.”
Kemudian beliau berjalan menuju laki-laki yang dimaksud, beliau dapatkan ia dalam keadaan salat, hanyut dalam rukuk dan sujudnya. Sementara orang-orang duduk di belakang, di kanan dan kirinya. Maka duduklah khalifah di penghabisan majlis begitu pula dengan kedua anaknya.
Kedua putra mahkota itu mengamati dengan seksama, seperti apa gerangan laki-laki yang dimaksud oleh amirul mukminin. Hingga beliau berkenan duduk bersama manusia banyak untuk menunggu laki-laki tersebut menyelesaikan salatnya. Ternyata dia adalah seorang tua Habsyi yang berkulit hitam, keriting rambutnya dan pesek hidungnya. Apabila duduk laksana burung gagak yang berwarna hitam. Setelah merampungkan salatnya, syeikh itu menolehkan pandangannya ke arah di mana khalifah duduk, maka khalifah Sulaiman bin Abdul Malik segera mengucapkan salam dan orang tua itupun membalasnya dengan yang serupa.
Di sini khalifah menghadap orang tua tersebut dan menggunakan kesempatan itu untuk bertanya tentang manasik haji, rukun demi rukunnya, sedangkan orang tua tersebut menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Dia jelaskan dengan rinci dan tidak menolak kesempatan bagi yang ingin menambahnya. Dia sandarkan seluruh pendapatnya kepada hadis Rasulullah .
Setelah merasa cukup dengan pertanyaannya, khalifah mendo’akan syeikh tersebut agar mendapatkan balasan yang lebih baik, lalu khalifah berkata kepada kedua putranya: ‘Berdirilah kalian!” Maka berdirilah keduanya dan merekapun beranjak menuju tempat sa’i.
Di tengah perjalanan sa’i antara Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu mendengar seruan para penyeru: “Wahai kaum muslimin. Tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha’ bin Abi Rabah. Jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih.”
Seorang dari pemuda itu langsung menoleh kepada ayahnya sembari berkata: “Petugas amirul mukminin menyuruh manusia agar tidak meminta fatwa kepada seorangpun selain Atha’ bin Abi Rabah dan temannya, namun mengapa kita tadi justru datang dan meminta fatwa kepada seorang laki-laki yang tidak memberikan prioritas kepada khalifah dan tidak pula memberi hak penghormatan khusus kepadanyá?”
Sulaiman berkata kepada putranya: “Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah, orang yang berhak berfatwa di masjid Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak.” Kemudian beliau melanjutkan: “Wahai anakku..carilah ilmu..karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat. . .para budak bisa melampaui derajat para raja..”
Bekas Budak
Ungkapan Sulaiman bin Abdul Malik seperti yang beliau katakan kepada putranya tentang keutamaan ilmu tidaklah berlebihan. Atha’ bin Abi Rabah sebagai bukti nyata.
Sementara itu, Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah kaum muslimin, raja tertinggi di dunia sedang berthawaf di Baitul ‘Atiq tanpa mengenakan penutup kepala, tanpa alas kaki, tanpa memakai apapun selain sarung dan rida’. Tak ada bedanya antara dirinya dengan rakyat biasa. Beliau seperti layaknya saudara-saudaranya karena Allah. Di belakangnya turut kedua putranya. Mereka laksana bulan purnama yang terang dan bercahaya, atau bagai sekuntum bunga merekah yang indah dan wangi baunya.
Setelah usai melakukan thawaf, khalifah menghampiri seorang kepercayaannya dan bertanya: “Di manakah temanmu itu?” Sambil menunjuk ke sudut barat Masjidil Haram dia menjawab: “Di sana, beliau sedang berdiri untuk salat .”
Dengan diiringi kedua putranya, khalifah bertandang menuju lokasi yang dimaksud. Para pengawal khalifah bermaksud menyibak kerumunan orang untuk melapangkan jalan bagi khalifah agar tidak berdesak-desakan, namun beliau mencegahnya sembari berkata: “Ini adalah suatu tempat yang tidak membedakan antara raja dan rakyat jelata. Tiada yang lebih utama antara satu dengan yang lain sedikitpun melainkan karena amal dan takwanya. Boleh jadi seseorang yang kusut dan berdebu diterima ibadahnya oleh Allah dengan penerimaan yang tidak diberikan kepada para raja.”
Kemudian beliau berjalan menuju laki-laki yang dimaksud, beliau dapatkan ia dalam keadaan salat, hanyut dalam rukuk dan sujudnya. Sementara orang-orang duduk di belakang, di kanan dan kirinya. Maka duduklah khalifah di penghabisan majlis begitu pula dengan kedua anaknya.
Kedua putra mahkota itu mengamati dengan seksama, seperti apa gerangan laki-laki yang dimaksud oleh amirul mukminin. Hingga beliau berkenan duduk bersama manusia banyak untuk menunggu laki-laki tersebut menyelesaikan salatnya. Ternyata dia adalah seorang tua Habsyi yang berkulit hitam, keriting rambutnya dan pesek hidungnya. Apabila duduk laksana burung gagak yang berwarna hitam. Setelah merampungkan salatnya, syeikh itu menolehkan pandangannya ke arah di mana khalifah duduk, maka khalifah Sulaiman bin Abdul Malik segera mengucapkan salam dan orang tua itupun membalasnya dengan yang serupa.
Di sini khalifah menghadap orang tua tersebut dan menggunakan kesempatan itu untuk bertanya tentang manasik haji, rukun demi rukunnya, sedangkan orang tua tersebut menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Dia jelaskan dengan rinci dan tidak menolak kesempatan bagi yang ingin menambahnya. Dia sandarkan seluruh pendapatnya kepada hadis Rasulullah .
Setelah merasa cukup dengan pertanyaannya, khalifah mendo’akan syeikh tersebut agar mendapatkan balasan yang lebih baik, lalu khalifah berkata kepada kedua putranya: ‘Berdirilah kalian!” Maka berdirilah keduanya dan merekapun beranjak menuju tempat sa’i.
Di tengah perjalanan sa’i antara Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu mendengar seruan para penyeru: “Wahai kaum muslimin. Tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha’ bin Abi Rabah. Jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih.”
Seorang dari pemuda itu langsung menoleh kepada ayahnya sembari berkata: “Petugas amirul mukminin menyuruh manusia agar tidak meminta fatwa kepada seorangpun selain Atha’ bin Abi Rabah dan temannya, namun mengapa kita tadi justru datang dan meminta fatwa kepada seorang laki-laki yang tidak memberikan prioritas kepada khalifah dan tidak pula memberi hak penghormatan khusus kepadanyá?”
Sulaiman berkata kepada putranya: “Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah, orang yang berhak berfatwa di masjid Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak.” Kemudian beliau melanjutkan: “Wahai anakku..carilah ilmu..karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat. . .para budak bisa melampaui derajat para raja..”
Bekas Budak
Ungkapan Sulaiman bin Abdul Malik seperti yang beliau katakan kepada putranya tentang keutamaan ilmu tidaklah berlebihan. Atha’ bin Abi Rabah sebagai bukti nyata.