Kisah Mualaf AS Hoda Boyer: Dari Al-Azhar ke Oak Park

Sabtu, 12 November 2022 - 12:34 WIB
Masjid al-Azhar, setelah kembali ke AS Hoda Boyer rindu akan masjid di Arab. Foto/Ilustrasi: Ist
Hoda Boyer meninggalkan Amerika Serikat untuk hidup di dunia Arab. Ia tenggelam dalam budaya dan agama bagaikan batu karang di lautan. Dipilihnya seorang lelaki sebagai pembimbing spiritualnya. Wanita-wanita Timur Tengah juga banyak mewarnai pemahamannya tentang masalah-masalah kewanitaan.

Steven Barbosa dalam bukunya berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" menjelaskan Hoda Boyer adalah seorang warga Amerika kulit putih, pejuang hak-hak wanita (feminis).

Tatkala ke Arab, tulis Steven Barbosa, dipeluknya seorang syekh pertama yang ditemuinya. Ia hidup di perkampungan miskin. Makan jeruk bersama-sama penjaga toko dan penjaga masjid, dan bertemu dengan keluarga Muslim di Spanyol.

Kini ia menjadi seorang penganut Sufi Naqsyabandiyah dan juga penyair. Memilih untuk menjanda karena cerai. Dia tinggal bersama dua orang anaknya yang Muslim di Oak Park, Illinois.

Berikut penuturan Hoda Boyer yang dinukil dari buku yang telah diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X" (Mizan, 1995) tersebut:





Sebenarnya, saya mempelajari Islam dengan maksud untuk menambah wawasan tentang sejarah seni. Tapi kemudian saya benar-benar jatuh cinta pada agama ini dengan segala romantikanya. Ketika itu, saya sangat tertarik pada sufisme, tetapi saya belum ingin menjadi seorang Muslim yang harus melakukan segala kerepotan berwudhu, sholat dan menutup aurat.

Saya berkenalan dengan mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar, Kairo. Sesudah saya mengutarakan maksud, ia katakan bahwa saya tak mungkin jadi sufi tanpa menjadi seorang Muslim. Kemudian saya bertemu dengan Mufti Besar Al-Azhar. Sekretarisnya bersedia memberikan les privat tentang Islam. Empat pekan kemudian, secara resmi saya memeluk Islam.

Saya mengucap syahadat di depan Mufti Besar. Hal yang pertama kali saya lakukan sesudah mengucap syahadat, tentu saja, memeluknya. Tapi ia berkata, 'berhubung kau sekarang seorang Muslimah, kau tak dapat lagi memelukku:' "Oh, baik. Saya mengerti," kata saya tersipu.

Ketika itu tahun 1978, sulit rasanya untuk menemukan seorang wanita asing yang tertarik pada Islam dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama ini.

Saya masih giat mencari seorang guru sufi. Saya pergi ke Damaskus, dan menemukan guru yang saya cari. Ketika bertemu dengannya saya merupakan pengikut berkebangsaan asing pertama di Damaskus.

Kini dia mempunyai sekitar 10.000 pengikut. Mereka berkebangsaan Eropa seperti Inggris, Jerman, Swiss, dan Italia. Dia juga mempunyai banyak pengikut di Malaysia dan Srilanka. Pengikutnya mula-mula hanya terdiri dari orang Turki dan Arab.

Saya juga mengunjungi makam Ibn Arabi. Tempat tinggal sang guru lebih di atas dari makam itu. Syeikh Nazim Al-Haqqani hidupnya amat sederhana. Saya dibawa ke rumahnya dan diterima di ruang tamu. Dia keluar, duduk, dan minum segelas air putih. Dia tersenyum dan dengan perlahan berucap, "La illaha illa Allah." Lantas dia mulai ngobrol dengan saya, dalam bahasa Inggris.



Selama beberapa pekan, saya tinggal bersama keluarganya. Suatu hari dia pergi ke Lebanon, sementara saya sendiri ke Inggris. Selama beberapa pekan tinggal bersama mereka, dia tak pernah memaksa saya untuk melakukan apa pun.

Dia mengajar dengan memberi contoh. Saya banyak mengerjakan sholat sunah karena dia juga mengerjakannya, dan agaknya ini membuat dia dan keluarganya senang.

Istrinya juga seorang guru yang membimbing sekitar dua ratus wanita di Damaskus. Saya sungguh kagum dengan pengetahuan istrinya. Dia hafal Al-Quran, menguasai bahasa Turki, Arab, dan Rusia. Dia juga memahami hadis dengan baik.

Kalau menengok ke belakang saya benar-benar tak habis pikir. Bayangkan, seorang wanita asing yang nekat, yang tak tahu apa pun tentang budaya Muslim, begitu ngotot untuk menggeluti hal-hal di dalamnya. Tetapi, teryata mereka menerimanya dengan penuh kebaikan dan ketulusan. Mereka juga penuh simpati. Tak ada yang berlaku kasar, dan semua perintah dan ajaran disampaikan dengan cara lemah lembut dan bijaksana.

Saya katakan pada diri sendiri, saya bukan seorang pejuang kebebasan wanita lagi karena saya memang menginginkan pengalaman mistis semacam ini. Saya harus lakukan semua ini dan mungkin harus mengalami tekanan dan penderitaan.

Di Mesir, pria dan wanita masih bercampur, tetapi di negara-negara seperti Syria, wanita benar-benar dikesampingkan. Menyaksikan hal ini saya agak sakit hati. Mereka pikir tak ada hal-hal berarti yang dapat dilakukan oleh kaum wanita. Hanya kaum prialah yang dapat melakukan semuanya.

Dalam hal ini saya benar-benar merasa direndahkan! Ini tak pernah terbayangkan oleh saya dan takkan pernah terbayangkan kalau saja saya tidak mengunjungi sebuah masyarakat Islam.

Begitu saya paham bahasa Arab sedikit-sedikit, saya baru bisa merasakan nikmatnya berada di tengah-tengah kelompok wanita. Dalam masyarakat Islam, tak ada persaingan untuk berebut laki-laki. Buat saya ini merupakan sesuatu yang baru. Yang saya maksud, mereka benar-benar seperti saudara satu sama lain. Jika pun ada persaingan, tak lain adalah berlomba-lomba dalam ketakwaan dan keimanan.



Saya mengalami perasaan yang benar-benar indah. Saya juga merasa bahwa Islam telah berbuat sesuatu untuk saya: meyakinkan bahwa kaum wanita mempunyai peran yang amat penting, dan bersama-sama mereka merupakan saat-saat yang penting pula.

Ibadah Haji

Sekembalinya saya ke Mesir saya kehabisan uang, dan akhirnya saya mengajar bahasa Inggris. Sejak itu saya tak pernah punya masalah keuangan lagi.

Saya tinggal di lingkungan masyarakat miskin. Mereka tak punya gula, garam, kopi, teh, apalagi obat-obatan. Mereka hidup dalam kemiskinan materi. Hanya punya selembar pakaian, tetapi mereka punya naluri dan perasaan yang indah tentang bagaimana hidup yang seharusnya.

Mereka memiliki keanggunan dan keluwesan yang mungkin, Anda pikir, hanya ditemui dalam dongeng-dongeng negeri Baghdad. Kepedulian tentang nasib sesamanya benar-benar menakjubkan. Itulah hal-hal yang saya pikir tak pernah ada di mana pun.

Tahun 1980 saya menunaikan ibadah haji bersama sejumlah warga Mesir. Sejak itu saya rasa, dengan alasan apa pun, saya tak akan pernah bisa meninggalkan Islam. Ketika itu saya satu-satunya orang Amerika, karena itu para pemeriksa paspor mengira kebetulan saja ada satu paspor Amerika yang terselip di situ.

Saya hidup dan makan sebagaimana mereka makan. Sama sekali tak ada kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan mereka, karena saya terbiasa dengan kehidupan dan makanan yang serba sederhana, dan saya juga terbiasa dengan cuaca panas.

Banyak orang mengira saya keturunan Syria atau Turki. Di wilayah itu memang ada sekelompok suku yang para wanitanya bermata bening. Mata saya mirip sekali dengan mata mereka, karena itu saya dikira berasal dari wilayah itu. Ketika mereka tahu bahwa saya orang Amerika, persahabatan kami bertambah akrab.

Di Kakbah, ada perasaan damai dan kebersamaan yang luar biasa-tak ada duanya. Di depan makam Rasul, saya merasakan emosi, kebahagiaan, kegembiraan, dan cinta. Berjam-jam lamanya bersimbah air mata, merasakan kebahagiaan dan cinta yang mendalam.

Saya masih ingat semua itu, hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ada kira-kira dua setengah juta orang di sana, dan semuanya mengalami perasaan yang sama. Perasaan cinta dan damai muncul pada setiap orang, tak peduli apakah Anda seorang Amerika, Saudi, Persia, kulit hitam, ataupun kulit putih. Jelasnya itu semua merupakan rahmat bagi setiap orang yang ingin bersama-sama menunaikan ibadah haji.

Baca juga: Mualaf Jerman Murad Hoffman Bicara tentang Pluralisme dalam Islam

https://kalam.sindonews.com/read/932019/786/mualaf-jerman-murad-hoffman-bicara-tentang-pluralisme-dalam-islam-1667545886



Negeri Dongeng

Di Mesir, saya seperti hidup dalam negeri dongeng. Saya selalu sholat di masjid yang begitu indah, dan tinggal di wilayah tua Kairo. Rasanya seperti ada dalam Kisah Seribu Satu Malam.

Berdiri di persimpangan jalan dan melihat sekeliling, ternyata selama tiga belas abad lamanya tak ada sesuatu pun yang berubah di sini. Suasananya masih sama ketika para pengrajin, seperti penenun, pandai besi, dan tukang sepatu, menggunakan alat dan metode yang sama dengan yang digunakan tujuh ratus tahun lalu.

Suatu kali saya pergi ke the American University Kairo, dan menemukan sebuah buku. Di dalamnya terdapat peta Kairo dimasa Dinasti Fathimiyyah --sebuah dinasti Syi'ah yang memerintah sekitar tahun 909 sampai 1171.

Peta itu menggambarkan pembagian wilayah dan jalan-jalan utama di Kairo di masa itu. Ternyata jalan-jalan itu hingga kini masih menggunakan nama yang sama.

Saya berjalan keliling kota. Di salah satu sudut peta tertera tulisan 'pembuat arang' dan lokasi itu ternyata masih ditempati pembuat arang. Di bagian lagi terdapat petunjuk adanya pengrajin tembaga, setelah saya periksa ternyata di lokasi itu masih ada pengrajin tembaga.

Tukang tenda juga masih ada di lokasi semula. Di situ orang-orang sedang membuat kain tenda, menjahit, dan memasukkannya ke dalam kantung-kantung.

Tampaknya ada upaya yang sungguh-sungguh untuk melestarikan lokasi-lokasi bersejarah. Dan harap Anda tahu, busana masyarakat Timur Tengah tak pernah berubah, mungkin sejak zaman Nabi Ibrahim.

Suasananya mirip sekali dengan museum hidup, bagaikan menggeser kehidupan ke masa lalu. Begitu romantis --seperti yang diimpikan oleh para ahli sejarah seni. Mengamati semua itu saya seperti mabuk kepayang, dan dengan mudah melupakan hal-hal yang lain.

Peta itu ada di dalam buku yang berjudul Fatimid Cairo. Ada sejumlah foto lama yang menggambarkan bangunan-bangunan yang hingga kini masih berdiri. Di buku itu juga ada peta yang dibuat ketika gedung-gedung itu baru dibangun. Peta itu menunjukkan bangunan mana yang masih ada dan juga gedung yang telah dibongkar.

Ada sebuah masjid dengan ornamen kayu yang indah, yang dibangun pada 1200-an. Karena keringnya udara, bangunan masjid itu jadi tahan lama.

Biasanya saya selalu sholat di masjid. Di Mesir kaum wanita mempunyai peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Wanita dari kalangan kelas menengah biasanya datang ke masjid-masjid untuk mengerjakan sholat. Ada juga kaum wanita yang berjualan buah-buahan di warung-warung sekitar masjid. Di bulan Ramadhan, orang-orang tumpah ruah di jalanan. Dan kaum wanita boleh masuk ke mana saja.

Tidak demikian halnya dengan Sudan. Di negeri itu, pada 1981, saya tak diizinkan masuk ke masjid. Begitu pula di Kashmir, saya ditempatkan di ruang khusus wanita yang tampaknya sudah lima belas tahun tak pernah dipakai.

Debu berserakan di mana-mana. Memang, kaum wanita di negeri itu tak terbiasa datang ke masjid. Karenanya meskipun ada ruangan yang sengaja dibuat ketika masjid itu dibangun, tetap saja tak pernah digunakan. Karena ruangan untuk wanita itu tertutup dan agak jauh, Anda tak akan dapat mendengarkan Imam. Oleh sebab itu Anda tak seperti sedang sholat berjamaah. Kalau saja saya tak pernah tinggal lama di Mesir, mungkin saya tak akan begitu kecewa dengan pengalaman itu.



Rahmat yang Mengalir

Di Mesir, ada banyak masjid besar sebagaimana tertera dalam buku-buku seni. Tetapi lebih banyak lagi masjid-masjid kecil yang tersebar di wilayah-wilayah kumuh. Masjid semacam ini hampir tak pernah menarik perhatian para turis.
Halaman :
Follow
cover top ayah
يٰمَعۡشَرَ الۡجِنِّ وَالۡاِنۡسِ اِنِ اسۡتَطَعۡتُمۡ اَنۡ تَنۡفُذُوۡا مِنۡ اَقۡطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ فَانْفُذُوۡا‌ؕ لَا تَنۡفُذُوۡنَ اِلَّا بِسُلۡطٰنٍ‌ۚ
Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus melintasi penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan dari Allah.

(QS. Ar-Rahman Ayat 33)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More