Kisah Orientalis Hungaria Bermimpi Bertemu Nabi SAW Dibacakan Surat An-Naba' Ayat 6-9
Rabu, 28 Desember 2022 - 05:15 WIB
Profesor Doktor Haji Abdul-Karim Germanus (1884-1979), begitu namanya setelah ia memeluk Islam. Sebelumnya bernama Julius Germanus. Ia adalah seorang ahli Ketimuran atau orientalis terkemuka asal Hungaria dan juga seorang akademisi yang telah mendunia. Sebelum menjadi muslim, ia mengaku mimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW dan dibacakan QS An-Naba' 6-9.
Perjalanan spiritual Germanus mencari Islam menyita hampir separuh perjalanan hidupnya. Dia menghabiskan sepanjang hidupnya untuk mempertahankan Islam dan bahasa Arab. Selepas melewati masa-masa sulit semasa remaja dan lepas dari belenggu tradisi, dia kemudian tertarik untuk mempelajari Islam.
Germanus menggambarkan kisah keislamannya itu sebagai “bangunnya sebuah kehidupan baru.” Disebutkan, awal perkenalannya dengan Islam adalah di Turki pada saat menjadi mahasiswa di sana.
Kemudian, dia pergi ke India untuk mengajar di sana, pada masa Perang Dunia I. Dan di negeri Bollywood itulah dia mengucapkan dua kalimah syahadah. Selepas bertugas di India Germanus kembali ke Hungaria dan diangkat sebagai profesor di sana. Dia sering beradu argumentasi dengan para profesor dan orientalis Hungaria, terutama tentang kebenaran Islam.
Ahli Bahasa
Germanus adalah seorang ahli bahasa-bahasa dan menguasai bahasa Turki serta kesusastraannya. Melalui penyelidikan-penyelidikan ketimurannya itulah beliau akhirnya memeluk agama Islam.
Pada waktu ini, Dr Haji Abdul Karim Germanus bekerja sebagai Profesor dan Kepala Bagian Ketimuran dan ilmu-ilmu ke-Islaman pada Budapest University, Hongaria.
Berikut penuturuan Haji Abdul Karim Germanus tentang perjumpaan dirinya yang pertama dengan kaum Muslimin, lalu bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW, dan sampai ia akhirnya menjadi muslim. Penuturan tersebut dinukil dalam buku berjudul "Mengapa Kami Memilih Islam" oleh Rabithah Alam Islamy Mekkah setelah diterjemahkan Bachtiar Affandie
(PT Alma'arif, 1981).
Sore itu hari turun hujan, usia saya menjelang akil balig ketika saya membalik-balik lembaran-lembaran majalah bergambar terbitan lama. Isinya campuran antara kejadian-kejadian baru, cerita-cerita fiktif dan keterangan tentang beberapa negeri yang jauh-jauh.
Saya terus membolak-balik halaman demi halaman tanpa perhatian. Tiba-tiba mata saya tertumbuk pada sebuah gambar ukiran kayu berbentuk rumah-rumah beratap datar, dan di sana-sini diselang-seling dengan kubah-kubah bundar menyulang ke langit yang gelap-gulita, di mana secercah cahaya bulan sabit nampak dengan indahnya.
Di atas salah satu atap itu kelihatan beberapa orang duduk dalam barisan-barisan yang teratur, mengenakan pakaian yang indah-indah coraknya.
Gambar itu telah menangkap daya khayal saya, karena keadaannya berbeda dengan yang biasa kita lihat di Eropa, sebuah pemandangan di tanah Timur, di sebuah tempat di negeri Arab yang menggambarkan seseorang yang sedang menceritakan beberapa hikayat yang menarik bagi sekumpulan pendengar yang mengenakan jubah berkerudung.
Gambar itu seakan-akan berbicara, hingga saya seakan-akan mendengar suara seorang laki-laki yang menghibur diri saya dengan ceritanya, dan saya seakan-akan termasuk salah seorang Arab yang mendengarkannya di atas bangunan itu.
Pada hal saya ini seorang pelajar yang belum melebihi umur 16 tahun dan sedang duduk di atas kursi di Hungaria. Kemudian saya merasa sangat berhasrat untuk mengetahui arti itu cahaya yang memecah kegelapan di atas papan ukiran itu.
Mulailah saya belajar bahasa Turki. Akan tetapi segeralah ternyata bahwa bahasa Turki tertulis itu hanya mencakup sedikit kata-kata Turki. Puisi (sya'ir) Turki penuh dengan bunga-bunga bahasa Persi, sedangkan prosesnya terdiri dari elemen-elemen bahasa Arab. Oleh karena itu, saya berusaha memahami ketiga bahasa ini, sehingga saya mampu menyelami dunia kerohanian yang telah memancarkan cahaya yang gemerlapan di atas persada alam kemanusiaan.
Pada waktu liburan musim panas, saya pergi ke Bosnia, suatu negeri Timur yang terdekat dari negeri saya. Saya tinggal di sebuah hotel, dari mana saya dapat segera pergi untuk menyaksikan kenyataan hidup kaum Muslimin di sana. Akan bahasa Turki mereka telah menyulitkan saya, karena saya mulai mengetahuinya dari celah-celah tulisan Arab dalam kitab-kitab ilmu Nahwu (Grammar).
Pada suatu malam, saya turun ke jalan-jalan yang diterangi lampu remang-remang. Segera saya sampai di sebuah warung kopi sederhana, di mana dua orang pribumi sedang duduk-duduk di kursi yang agak tinggi sambil memegang kayf.
Kedua orang itu mengenakan celana adat yang lebar dan di tengahnya diikat dengan sebuah sabuk lebar yang diselipi sebuah golok, sehingga dengan pakaian yang aneh semacam itu mereka nampaknya galak dan kasar.
Dengan hati yang berdebar-debar saya masuk ke dalam "kahwekhame" itu dan duduk bersandar di sebuah sudut. Kedua orang itu melihat saya dengan pandangan yang aneh. Ketika itu teringatlah saya kepada cerita-cerita pertumpahan darah yang saya baca dalam buku-buku yang tidak benar tentang kefanatikan kaum Muslimin.
Mereka berbisik-bisik, dan apa yang mereka bisikkan itu jelas tentang kehadiran saya yang mungkin tidak mereka inginkan. Bayangan kekanak-kanakan saya menunjukkan akan adanya tindakan kekerasan; kedua orang itu pasti akan menghunjamkan goloknya masing-masing atas dada saya yang kafir ini. Kalau bisa, saya ingin keluar dari tempat ini dan bebas dari ketakutan, akan tetapi badan saya menjadi lemas dan tidak dapat bergerak.
Beberapa saat kemudian, seorang pelayan datang menghidangkan secangkir kopi yang berbau harum sambil menoleh kepada kedua orang yang menakutkan itu.
Sayapun menoleh kepada mereka dengan muka ketakutan. Akan tetapi ternyata mereka mengucapkan salam kepada saya dengan suara yang ramah dan tersenyum tipis.
Dengar sikap ragu-ragu, saya mencoba berpura-pura senyum, dan kedua orang "musuh" itupun berdiri mendekati saya sehingga jantung saya terasa berdebar lebih keras, membayangkan kemungkinan orang-orang itu akan mengusir saya.
Akan tetapi ternyata bahwa kedua orang itu mengucapkan salam kepada saya untuk kedua kalinya dan mereka duduk di dekat saya. Seorang di antaranya menyodorkan rokok kepada saya dan menyulutkannya sekali.
Ternyata bahwa di balik lahiriahnya yang kasar dan menakutkan itu terdapat jiwa yang halus dan mulia. Saya kumpulkan kembali keberanian saya dan saya bercerita kepada mereka dengan bahasa Turki yang patah-patah.
Kata-kata saya itu ternyata telah menarik perhatian mereka dan tampak dalam kehidupan mereka jiwa persahabatan dan cinta kasih. Kedua orang itu mengundang saya supaya berkunjung ke rumah mereka, kebalikan dari permusuhan yang saya duga semula. Mereka telah menunjukkan kasih sayang kepada saya, kebalikan dari penghunjaman golok yang saya bayangkan semula.
Itulah perjumpaan saya yang pertama dengan kaum Muslimin.
Mimpi Berjumpa Nabi SAW
Beberapa tahun telah lewat dalam perjalanan hidup saya, yang penuh dengan perjalanan dan studi. Semua itu telah membuka mata saya ke arah pandangan baru yang mentakjubkan.
Saya telah berkunjung ke semua negeri di Eropa, telah mengikuti kuliah di Universitas Istambul, menikmati keindahan bersejarah Asia Kecil dan Syria, belajar babasa Turki, bahasa Persi, bahasa Arab dan mengikuti kuliah ilmu-ilmu keislaman di Universitas Budapest.
Segala ilmu pengetahuan yang tersimpan dalam buku-buku yang dikarang beberapa abad berselang telah saya baca dengan pandangan kritis, tapi juga dengan jiwa yang kehausan.
Dalam bermacam-macam buku itu saya telah menemukan titik-titik terang tentang berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Dalam pada itu saya merasakan kenikmatan bernaung di bawah kehidupan beragama.
Otak saya menjadi beku, akan tetapi jiwa saya tetap kehausan. Karena itu saya mencoba melepaskan diri dari segala ilmu pengetahuan yang selama ini saya kumpulkan, agar saya dapat kembali menguji kebenarannya dengan kemampuan saya sendiri, bebas dari segala kekotoran dalam semangat mencari kebenaran. Bagaikan besi mentah yang menjadi baja yang keras dengan cara dilebur dan diberi temperatur rendah secara tiba-tiba.
Pada suatu malam saya bermimpi, seakan-akan Muhammad Rasulullah SAW dengan jenggotnya yang panjang berwarna henna, jubahnya yang besar dan rapi menyebarkan bau wangi harum semerbak dan cahaya kedua belah matanya mengkilat penuh wibawa itu tertuju kepada saya.
Dengan suara yang lemah lembut beliau bertanya kepada saya: "Kenapa engkau bingung? Sebenarnya jalan yang lurus telah terbentang di hadapanmu, aman terbentang bagaikan permukaan bumi. Berjalanlah di atasnya dengan langkah yang mantap dan dengan kekuatan iman,"
Dalam mimpi ajaib ini, saya menjawab dengan bahasa Arab: "Ya Rasulullah! Memang itu mudah buat Tuan. Tuan adalah perkasa. Tuan telah dapat menundukkan setiap lawan pada waktu Tuan memulai perjalanan Tuan dengan bimbingan dan pertolongan Tuhan. Bagi saya tetap sulit. Siapakah yang tahu kapan saya dapat menemukan ketenangan?"
Beliau menatap tajam kepada saya dengan penuh pengertian. Sejenak beliau berpikir, kemudian kembali beliau bersabda dalam bahasa Arab yang jelas, yang setiap katanya berdentang bagaikan suara lonceng perak. Dengan lisannya yang mulia yang mengemban perintah Tuhan itu meresap ke dalam jiwa saya, beliau membacakan ayat 6 s/d 9 Surat Ar-Naba':
Tidakkah Aku jadikan bumi ini terhampar, dan gunung-gunung bagaikan tiang-tiang? Dan Aku telah menciptakan kamu berpasang-pasang, dan Aku jadikan tidur kamu istirahat? -- An-Naba' 6-9.
Dalam kepeningan saya berkata: "Saya tidak bisa tidur. Saya tidak mampu menembus segala misteri yang meliputi segala rahasia yang tebal ini. Tolonglah saya Muhammad! Tolonglah saya Rasulullah!"
Begitulah keluar dari kerongkongan saya suara teriakan yang terputus-putus, seakan-akan saya tercekik dengan beban yang berat ini. Saya takut kalau Rasulullah SAW marah kepada saya. Kemudian saya merasa seakan-akan saya terjatuh ke sebuah tempat yang amat dalam.
Tiba-tiba terbangunlah saya dari mimpi itu dengan badan bercucuran keringat yang hampir-hampir bercampur darah. Seluruh anggota badan terasa sakit. Sesudah itu saya terdiam seperti diamnya kuburan. Saya menjadi sangat sedih yang senang menyendiri.
Pada hari Jumat berikutnya, terjadilah suatu peristiwa besar dalam Masjid Jami New Delhi. Seorang asing berwajah lesu dan rambut beruban menerobos masuk disertai beberapa orang pemuda di antara para jamaah yang beriman.
Saya mengenakan pakaian India dan berkofiyah Rampuri, sedang di dada saya terpampang medali-medali Turki yang telah dianugerahkan oleh para Sultan Turki terdahulu kepada saya.
Kaum Muslimin dalam Masjid itu pada melihat kepada saya dengan keheranan. Rombongan saya mengambil tempat di dekat Mimbar, tempat para Ulama dan para terkemuka duduk. Mereka mengucapkan salam kepada saya dengan suara yang tinggi melengking.
Saya duduk di dekat mimbar yang penuh perhiasan, sedangkan pada tiang-tiang di tengah Masjid penuh dengan sarang laba-laba sekelilingnya dengan aman.
Terdengarlah suara Adzan, sedang para Mukabbir berdiri di berbagai tempat dalam Mesjid untuk meneruskan suara Adzan ke tempat sejauh dapat dicapainya.
Selesai Adzan, maka berdirilah orang-orang yang bersembahyang yang jumlahnya hampir 4000, seakan-akan barisan tentara, memenuhi seruan Tuhan dengan berjajar rapat dan dengan tekun dan khusyuk. Saya sendiri termasuk salah seorang yang khusyuk itu. Kejadian itu sungguh-sungguh merupakan momentum yang agung.
Selesai sembahyang, Abdul-Hay memegang tangan saya untuk berdiri di muka Mimbar. Saya berjalan hati-hati agar tidak menyentuh orang yang sedang duduk berbaris. Waktu peristiwa besar sudah dekat. Saya berdiri dekat tangga-tangga Mimbar, lalu saya berjalan di antara orang banyak yang saya lihat beribu-ribu kepala bersorban, seakan-akan sebuah kebun bunga.
Mereka semua pada melihat dengan penuh perhatian kepada saya. Saya berdiri dikelilingi para Ulama dengan jenggot jenggot mereka yang kelabu dan dengan penglihatan mereka yang memberi kekuatan. Lalu mereka mengumumkan tentang diri saya, suatu hal yang tidak dijanjikan sebelumnya.
Tanpa ragu-ragu saya naik ke mimbar sampai tangganya yang ketujuh, lalu saya menghadap kepada orang banyak yang seakan-akan tidak ada ujungnya dan seakan-akan lautan yang berombak. Semua tunduk merunduk kepada saya, di halaman Mesjid semua orang bergerak. Saya mendengar orang yang dekat kepada saya mengucapkan "MaasyaaAllah" berkali-kali disertai pandangan yang memancarkan rasa cinta kasih. Kemudian mulailah saya berbicara dalam bahasa Arab:
"Tuan-tuan yang terhormat! Saya datang dari negeri yang jauh untuk mencari ilmu yang tidak bisa didapat, di negeri saya. Saya datang untuk memenuhi hasrat jiwa saya, dan Tuan-tuan telah mengabulkan harapan saya itu."
Lalu saya berbicara tentang peredaran zaman yang dialami oleh Islam dalam sejarah dunia dan tentang beberapa mu'jizat yang Allah pergunakan untuk memperkuat Rasul-Nya SAW.
Saya juga kemukakan tentang keterbelakangan kaum Muslimin pada zaman akhir-akhir ini, tentang cara-cara yang mungkin bisa mengembalikan kebesaran mereka yang telah hilang dan tentang adanya sebagian orang Islam yang mengatakan bahwa segala sesuatu tergantung sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Pada hal Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur'anul-Karim:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum kecuali jika mereka sendiri mau mengubah keadaan dirinya.
Saya memusatkan pembicaraan saya kepada persoalan ini dengan mengemukakan ayat-ayat Kitabullah. Kemudian tentang peningkatan hidup yang suci atau takwa dan perlunya memerangi perbuatan dosa/ma'siat.
Selesai berbicara, lalu saya duduk. Saya berbicara dengan sepenuh perasaan, dan saya dengar orang-orang di seluruh pelosok mesjid pada berteriak: Allaahu Akbar!!! Terasalah pengaruh dan semangatnya yang merata ke seluruh tempat, dan saya tidak bisa mengingat-ingat lagi apa yang terjadi kemudian pada waktu itu, selain di atas mimbar Aslam memanggil dan memegang pergelangan tangan saya keluar dari Mesjid.
Saya bertanya kepadanya: "Mengapa terburu-buru?"
Orang-orang pada berdiri dan memeluk saya. Berapa banyak orang-orang miskin yang melihat dengan mata sayu kepada saya, meminta do'a restu dan mereka menginginkan dapat mencium kepala saya.
Baca juga: Kisah Perjalanan Muhammad Ali Menjadi Seorang Mualaf
Saya berseru kepada Allah supaya tidak membiarkan jiwa-jiwa yang tidak berdosa ini melihat kepada saya seakan-akan saya berderajat lebih tinggi dari pada mereka.
Pada hal saya ini tidak lebih dari salah satu binatang yang melata di bumi, atau seorang yang sedang kebingungan mencari kebenaran. Saya tidak berdaya dan tidak mampu, sama seperti makhluk-makhluk yang lain.
Saya merasa malu menghadapi harapan-harapan orang-orang suci itu, dan saya merasa seakan-akan saya telah menipu mereka. Alangkah beratnya beban yang numpuk pada bahu penguasa dan Sultan. Orang-orang pada menaruh kepercayaan dan minta pertolongan kepadanya dengan perkiraan bahwa penguasa itu dapat mengerjakan apa yang mereka sendiri tidak mampu.
Aslam mengeluarkan saya dari kerumunan dan pelukan saudara-saudara saya yang baru dan mendudukkan saya pada sebuah tonga (kendaraan beroda dua di India) dan membawa saya pulang ke rumah. Pada hari-hari berikutnya, orang berbondong-bondong menemui saya untuk menunjukkan suka cita, dan saya merasakan kecintaan dan kebaikan mereka itu cukup menjadi bekal selama hidup saya.
Baca juga: Ini Agama Suami Maudy Ayunda sebelum Mualaf
Perjalanan spiritual Germanus mencari Islam menyita hampir separuh perjalanan hidupnya. Dia menghabiskan sepanjang hidupnya untuk mempertahankan Islam dan bahasa Arab. Selepas melewati masa-masa sulit semasa remaja dan lepas dari belenggu tradisi, dia kemudian tertarik untuk mempelajari Islam.
Germanus menggambarkan kisah keislamannya itu sebagai “bangunnya sebuah kehidupan baru.” Disebutkan, awal perkenalannya dengan Islam adalah di Turki pada saat menjadi mahasiswa di sana.
Kemudian, dia pergi ke India untuk mengajar di sana, pada masa Perang Dunia I. Dan di negeri Bollywood itulah dia mengucapkan dua kalimah syahadah. Selepas bertugas di India Germanus kembali ke Hungaria dan diangkat sebagai profesor di sana. Dia sering beradu argumentasi dengan para profesor dan orientalis Hungaria, terutama tentang kebenaran Islam.
Ahli Bahasa
Germanus adalah seorang ahli bahasa-bahasa dan menguasai bahasa Turki serta kesusastraannya. Melalui penyelidikan-penyelidikan ketimurannya itulah beliau akhirnya memeluk agama Islam.
Pada waktu ini, Dr Haji Abdul Karim Germanus bekerja sebagai Profesor dan Kepala Bagian Ketimuran dan ilmu-ilmu ke-Islaman pada Budapest University, Hongaria.
Berikut penuturuan Haji Abdul Karim Germanus tentang perjumpaan dirinya yang pertama dengan kaum Muslimin, lalu bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW, dan sampai ia akhirnya menjadi muslim. Penuturan tersebut dinukil dalam buku berjudul "Mengapa Kami Memilih Islam" oleh Rabithah Alam Islamy Mekkah setelah diterjemahkan Bachtiar Affandie
(PT Alma'arif, 1981).
Sore itu hari turun hujan, usia saya menjelang akil balig ketika saya membalik-balik lembaran-lembaran majalah bergambar terbitan lama. Isinya campuran antara kejadian-kejadian baru, cerita-cerita fiktif dan keterangan tentang beberapa negeri yang jauh-jauh.
Saya terus membolak-balik halaman demi halaman tanpa perhatian. Tiba-tiba mata saya tertumbuk pada sebuah gambar ukiran kayu berbentuk rumah-rumah beratap datar, dan di sana-sini diselang-seling dengan kubah-kubah bundar menyulang ke langit yang gelap-gulita, di mana secercah cahaya bulan sabit nampak dengan indahnya.
Di atas salah satu atap itu kelihatan beberapa orang duduk dalam barisan-barisan yang teratur, mengenakan pakaian yang indah-indah coraknya.
Gambar itu telah menangkap daya khayal saya, karena keadaannya berbeda dengan yang biasa kita lihat di Eropa, sebuah pemandangan di tanah Timur, di sebuah tempat di negeri Arab yang menggambarkan seseorang yang sedang menceritakan beberapa hikayat yang menarik bagi sekumpulan pendengar yang mengenakan jubah berkerudung.
Gambar itu seakan-akan berbicara, hingga saya seakan-akan mendengar suara seorang laki-laki yang menghibur diri saya dengan ceritanya, dan saya seakan-akan termasuk salah seorang Arab yang mendengarkannya di atas bangunan itu.
Pada hal saya ini seorang pelajar yang belum melebihi umur 16 tahun dan sedang duduk di atas kursi di Hungaria. Kemudian saya merasa sangat berhasrat untuk mengetahui arti itu cahaya yang memecah kegelapan di atas papan ukiran itu.
Mulailah saya belajar bahasa Turki. Akan tetapi segeralah ternyata bahwa bahasa Turki tertulis itu hanya mencakup sedikit kata-kata Turki. Puisi (sya'ir) Turki penuh dengan bunga-bunga bahasa Persi, sedangkan prosesnya terdiri dari elemen-elemen bahasa Arab. Oleh karena itu, saya berusaha memahami ketiga bahasa ini, sehingga saya mampu menyelami dunia kerohanian yang telah memancarkan cahaya yang gemerlapan di atas persada alam kemanusiaan.
Pada waktu liburan musim panas, saya pergi ke Bosnia, suatu negeri Timur yang terdekat dari negeri saya. Saya tinggal di sebuah hotel, dari mana saya dapat segera pergi untuk menyaksikan kenyataan hidup kaum Muslimin di sana. Akan bahasa Turki mereka telah menyulitkan saya, karena saya mulai mengetahuinya dari celah-celah tulisan Arab dalam kitab-kitab ilmu Nahwu (Grammar).
Pada suatu malam, saya turun ke jalan-jalan yang diterangi lampu remang-remang. Segera saya sampai di sebuah warung kopi sederhana, di mana dua orang pribumi sedang duduk-duduk di kursi yang agak tinggi sambil memegang kayf.
Kedua orang itu mengenakan celana adat yang lebar dan di tengahnya diikat dengan sebuah sabuk lebar yang diselipi sebuah golok, sehingga dengan pakaian yang aneh semacam itu mereka nampaknya galak dan kasar.
Dengan hati yang berdebar-debar saya masuk ke dalam "kahwekhame" itu dan duduk bersandar di sebuah sudut. Kedua orang itu melihat saya dengan pandangan yang aneh. Ketika itu teringatlah saya kepada cerita-cerita pertumpahan darah yang saya baca dalam buku-buku yang tidak benar tentang kefanatikan kaum Muslimin.
Mereka berbisik-bisik, dan apa yang mereka bisikkan itu jelas tentang kehadiran saya yang mungkin tidak mereka inginkan. Bayangan kekanak-kanakan saya menunjukkan akan adanya tindakan kekerasan; kedua orang itu pasti akan menghunjamkan goloknya masing-masing atas dada saya yang kafir ini. Kalau bisa, saya ingin keluar dari tempat ini dan bebas dari ketakutan, akan tetapi badan saya menjadi lemas dan tidak dapat bergerak.
Beberapa saat kemudian, seorang pelayan datang menghidangkan secangkir kopi yang berbau harum sambil menoleh kepada kedua orang yang menakutkan itu.
Sayapun menoleh kepada mereka dengan muka ketakutan. Akan tetapi ternyata mereka mengucapkan salam kepada saya dengan suara yang ramah dan tersenyum tipis.
Dengar sikap ragu-ragu, saya mencoba berpura-pura senyum, dan kedua orang "musuh" itupun berdiri mendekati saya sehingga jantung saya terasa berdebar lebih keras, membayangkan kemungkinan orang-orang itu akan mengusir saya.
Akan tetapi ternyata bahwa kedua orang itu mengucapkan salam kepada saya untuk kedua kalinya dan mereka duduk di dekat saya. Seorang di antaranya menyodorkan rokok kepada saya dan menyulutkannya sekali.
Ternyata bahwa di balik lahiriahnya yang kasar dan menakutkan itu terdapat jiwa yang halus dan mulia. Saya kumpulkan kembali keberanian saya dan saya bercerita kepada mereka dengan bahasa Turki yang patah-patah.
Kata-kata saya itu ternyata telah menarik perhatian mereka dan tampak dalam kehidupan mereka jiwa persahabatan dan cinta kasih. Kedua orang itu mengundang saya supaya berkunjung ke rumah mereka, kebalikan dari permusuhan yang saya duga semula. Mereka telah menunjukkan kasih sayang kepada saya, kebalikan dari penghunjaman golok yang saya bayangkan semula.
Itulah perjumpaan saya yang pertama dengan kaum Muslimin.
Mimpi Berjumpa Nabi SAW
Beberapa tahun telah lewat dalam perjalanan hidup saya, yang penuh dengan perjalanan dan studi. Semua itu telah membuka mata saya ke arah pandangan baru yang mentakjubkan.
Saya telah berkunjung ke semua negeri di Eropa, telah mengikuti kuliah di Universitas Istambul, menikmati keindahan bersejarah Asia Kecil dan Syria, belajar babasa Turki, bahasa Persi, bahasa Arab dan mengikuti kuliah ilmu-ilmu keislaman di Universitas Budapest.
Segala ilmu pengetahuan yang tersimpan dalam buku-buku yang dikarang beberapa abad berselang telah saya baca dengan pandangan kritis, tapi juga dengan jiwa yang kehausan.
Dalam bermacam-macam buku itu saya telah menemukan titik-titik terang tentang berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Dalam pada itu saya merasakan kenikmatan bernaung di bawah kehidupan beragama.
Otak saya menjadi beku, akan tetapi jiwa saya tetap kehausan. Karena itu saya mencoba melepaskan diri dari segala ilmu pengetahuan yang selama ini saya kumpulkan, agar saya dapat kembali menguji kebenarannya dengan kemampuan saya sendiri, bebas dari segala kekotoran dalam semangat mencari kebenaran. Bagaikan besi mentah yang menjadi baja yang keras dengan cara dilebur dan diberi temperatur rendah secara tiba-tiba.
Pada suatu malam saya bermimpi, seakan-akan Muhammad Rasulullah SAW dengan jenggotnya yang panjang berwarna henna, jubahnya yang besar dan rapi menyebarkan bau wangi harum semerbak dan cahaya kedua belah matanya mengkilat penuh wibawa itu tertuju kepada saya.
Dengan suara yang lemah lembut beliau bertanya kepada saya: "Kenapa engkau bingung? Sebenarnya jalan yang lurus telah terbentang di hadapanmu, aman terbentang bagaikan permukaan bumi. Berjalanlah di atasnya dengan langkah yang mantap dan dengan kekuatan iman,"
Baca Juga
Dalam mimpi ajaib ini, saya menjawab dengan bahasa Arab: "Ya Rasulullah! Memang itu mudah buat Tuan. Tuan adalah perkasa. Tuan telah dapat menundukkan setiap lawan pada waktu Tuan memulai perjalanan Tuan dengan bimbingan dan pertolongan Tuhan. Bagi saya tetap sulit. Siapakah yang tahu kapan saya dapat menemukan ketenangan?"
Beliau menatap tajam kepada saya dengan penuh pengertian. Sejenak beliau berpikir, kemudian kembali beliau bersabda dalam bahasa Arab yang jelas, yang setiap katanya berdentang bagaikan suara lonceng perak. Dengan lisannya yang mulia yang mengemban perintah Tuhan itu meresap ke dalam jiwa saya, beliau membacakan ayat 6 s/d 9 Surat Ar-Naba':
Tidakkah Aku jadikan bumi ini terhampar, dan gunung-gunung bagaikan tiang-tiang? Dan Aku telah menciptakan kamu berpasang-pasang, dan Aku jadikan tidur kamu istirahat? -- An-Naba' 6-9.
Dalam kepeningan saya berkata: "Saya tidak bisa tidur. Saya tidak mampu menembus segala misteri yang meliputi segala rahasia yang tebal ini. Tolonglah saya Muhammad! Tolonglah saya Rasulullah!"
Begitulah keluar dari kerongkongan saya suara teriakan yang terputus-putus, seakan-akan saya tercekik dengan beban yang berat ini. Saya takut kalau Rasulullah SAW marah kepada saya. Kemudian saya merasa seakan-akan saya terjatuh ke sebuah tempat yang amat dalam.
Tiba-tiba terbangunlah saya dari mimpi itu dengan badan bercucuran keringat yang hampir-hampir bercampur darah. Seluruh anggota badan terasa sakit. Sesudah itu saya terdiam seperti diamnya kuburan. Saya menjadi sangat sedih yang senang menyendiri.
Baca Juga
Pada hari Jumat berikutnya, terjadilah suatu peristiwa besar dalam Masjid Jami New Delhi. Seorang asing berwajah lesu dan rambut beruban menerobos masuk disertai beberapa orang pemuda di antara para jamaah yang beriman.
Saya mengenakan pakaian India dan berkofiyah Rampuri, sedang di dada saya terpampang medali-medali Turki yang telah dianugerahkan oleh para Sultan Turki terdahulu kepada saya.
Kaum Muslimin dalam Masjid itu pada melihat kepada saya dengan keheranan. Rombongan saya mengambil tempat di dekat Mimbar, tempat para Ulama dan para terkemuka duduk. Mereka mengucapkan salam kepada saya dengan suara yang tinggi melengking.
Saya duduk di dekat mimbar yang penuh perhiasan, sedangkan pada tiang-tiang di tengah Masjid penuh dengan sarang laba-laba sekelilingnya dengan aman.
Terdengarlah suara Adzan, sedang para Mukabbir berdiri di berbagai tempat dalam Mesjid untuk meneruskan suara Adzan ke tempat sejauh dapat dicapainya.
Selesai Adzan, maka berdirilah orang-orang yang bersembahyang yang jumlahnya hampir 4000, seakan-akan barisan tentara, memenuhi seruan Tuhan dengan berjajar rapat dan dengan tekun dan khusyuk. Saya sendiri termasuk salah seorang yang khusyuk itu. Kejadian itu sungguh-sungguh merupakan momentum yang agung.
Baca Juga
Selesai sembahyang, Abdul-Hay memegang tangan saya untuk berdiri di muka Mimbar. Saya berjalan hati-hati agar tidak menyentuh orang yang sedang duduk berbaris. Waktu peristiwa besar sudah dekat. Saya berdiri dekat tangga-tangga Mimbar, lalu saya berjalan di antara orang banyak yang saya lihat beribu-ribu kepala bersorban, seakan-akan sebuah kebun bunga.
Mereka semua pada melihat dengan penuh perhatian kepada saya. Saya berdiri dikelilingi para Ulama dengan jenggot jenggot mereka yang kelabu dan dengan penglihatan mereka yang memberi kekuatan. Lalu mereka mengumumkan tentang diri saya, suatu hal yang tidak dijanjikan sebelumnya.
Tanpa ragu-ragu saya naik ke mimbar sampai tangganya yang ketujuh, lalu saya menghadap kepada orang banyak yang seakan-akan tidak ada ujungnya dan seakan-akan lautan yang berombak. Semua tunduk merunduk kepada saya, di halaman Mesjid semua orang bergerak. Saya mendengar orang yang dekat kepada saya mengucapkan "MaasyaaAllah" berkali-kali disertai pandangan yang memancarkan rasa cinta kasih. Kemudian mulailah saya berbicara dalam bahasa Arab:
"Tuan-tuan yang terhormat! Saya datang dari negeri yang jauh untuk mencari ilmu yang tidak bisa didapat, di negeri saya. Saya datang untuk memenuhi hasrat jiwa saya, dan Tuan-tuan telah mengabulkan harapan saya itu."
Lalu saya berbicara tentang peredaran zaman yang dialami oleh Islam dalam sejarah dunia dan tentang beberapa mu'jizat yang Allah pergunakan untuk memperkuat Rasul-Nya SAW.
Baca Juga
Saya juga kemukakan tentang keterbelakangan kaum Muslimin pada zaman akhir-akhir ini, tentang cara-cara yang mungkin bisa mengembalikan kebesaran mereka yang telah hilang dan tentang adanya sebagian orang Islam yang mengatakan bahwa segala sesuatu tergantung sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Pada hal Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur'anul-Karim:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum kecuali jika mereka sendiri mau mengubah keadaan dirinya.
Saya memusatkan pembicaraan saya kepada persoalan ini dengan mengemukakan ayat-ayat Kitabullah. Kemudian tentang peningkatan hidup yang suci atau takwa dan perlunya memerangi perbuatan dosa/ma'siat.
Selesai berbicara, lalu saya duduk. Saya berbicara dengan sepenuh perasaan, dan saya dengar orang-orang di seluruh pelosok mesjid pada berteriak: Allaahu Akbar!!! Terasalah pengaruh dan semangatnya yang merata ke seluruh tempat, dan saya tidak bisa mengingat-ingat lagi apa yang terjadi kemudian pada waktu itu, selain di atas mimbar Aslam memanggil dan memegang pergelangan tangan saya keluar dari Mesjid.
Saya bertanya kepadanya: "Mengapa terburu-buru?"
Orang-orang pada berdiri dan memeluk saya. Berapa banyak orang-orang miskin yang melihat dengan mata sayu kepada saya, meminta do'a restu dan mereka menginginkan dapat mencium kepala saya.
Baca juga: Kisah Perjalanan Muhammad Ali Menjadi Seorang Mualaf
Saya berseru kepada Allah supaya tidak membiarkan jiwa-jiwa yang tidak berdosa ini melihat kepada saya seakan-akan saya berderajat lebih tinggi dari pada mereka.
Pada hal saya ini tidak lebih dari salah satu binatang yang melata di bumi, atau seorang yang sedang kebingungan mencari kebenaran. Saya tidak berdaya dan tidak mampu, sama seperti makhluk-makhluk yang lain.
Saya merasa malu menghadapi harapan-harapan orang-orang suci itu, dan saya merasa seakan-akan saya telah menipu mereka. Alangkah beratnya beban yang numpuk pada bahu penguasa dan Sultan. Orang-orang pada menaruh kepercayaan dan minta pertolongan kepadanya dengan perkiraan bahwa penguasa itu dapat mengerjakan apa yang mereka sendiri tidak mampu.
Aslam mengeluarkan saya dari kerumunan dan pelukan saudara-saudara saya yang baru dan mendudukkan saya pada sebuah tonga (kendaraan beroda dua di India) dan membawa saya pulang ke rumah. Pada hari-hari berikutnya, orang berbondong-bondong menemui saya untuk menunjukkan suka cita, dan saya merasakan kecintaan dan kebaikan mereka itu cukup menjadi bekal selama hidup saya.
Baca juga: Ini Agama Suami Maudy Ayunda sebelum Mualaf
(mhy)