Mullah Nashruddin, Si Bakhil, dan Uang dari Tuhan

Jum'at, 28 Agustus 2020 - 09:43 WIB
loading...
Mullah Nashruddin, Si Bakhil, dan Uang dari Tuhan
Nashruddin Hoja. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
KECERDASAN Mullah Nashruddin , yang diperlukan karena adanya kebutuhan untuk memelesetkan melalui jaring-jaring yang telah diatur oleh Pendosa-Tua, tampak pada setiap cerita. ( )

Idries Shah dalam The Sufi memendang penampilan Nashruddin yang menampakkan kegilaan merupakan karakteristik dari sufi, yang tindakan-tindakannya mungkin tidak bisa dijelaskan dan tampak gila bagi penontonnya.

Dalam setiap cerita ia menekankan penegasan sufi bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa dimiliki, tanpa harus membayarnya. Bayaran ini mungkin mengambil berbagai bentuk pengorbanan -- berupa gagasan-gagasan yang hidup, uang, cara mengerjakan banyak hal.

Poin terakhir tersebut sangat mendasar, sebab pencarian sufi adalah mustahil jika kawasan yang dipergunakan dalam perjalanan telah diduduki oleh unsur-unsur yang mencegah perjalanan tersebut dilakukan. ( )

Pada akhirnya, meskipun hal itu berat, Nashruddin bisa lolos tanpa terluka. Ini menunjukkan kenyataan bahwa meskipun deprivasi (pencegahan) pada tahapan-tahapan awal Sufisme tampaknya harus "dibayar", dalam pandangan sesungguhnya sang pencari tidak membayar sesuatu pun. Dengan kata lain, ia tidak membayar sesuatu pun dari nilai puncak yang akan diperoleh.

Sikap Sufi terhadap uang merupakan suatu sikap yang khusus, sangat jauh dari sikap dangkal, yaitu anggapan filosofis atau teologis bahwa uang adalah akar kejahatan, atau bahwa agama/keimanan bagaimanapun bertentangan dengan uang.

Suatu hari Nashruddin meminta sejumlah uang kepada seorang yang kaya. ( )

"Apa yang Anda inginkan dengan uang ini?"

"Untuk membeli gajah."

"Jika Anda tidak memiliki uang, tidak akan mampu merawat seekor gajah."

"Aku minta uang, bukan nasehat."

Kaitannya di sini dengan gajah di kegelapan. Nashruddin membutuhkan uang untuk "kerja". Nashruddin menyadari orang kaya tersebut tidak bisa mengubah gagasan-gagasannya untuk melihat bagaimana uang tersebut akan dibelanjakan; ia membutuhkan suatu skema keuangan yang masuk akal untuk diletakkan di depannya.

Nashruddin mempergunakan kata Sufi "gajah" untuk menekankan hal ini. Secara wajar orang kaya tersebut tidak paham. ( )

Nashruddin miskin; kata tersebut sama dengan salah satu kata yang digunakan oleh para Sufi untuk menunjukkan salah satu dari jumlah mereka -- Faqir (fakir). Ketika ia benar-benar mendapat uang, didapatkannya melalui suatu cara, dan memperjuangkannya dalam suatu cara yang tidak bisa dibandingkan dengan pemikir formalis:

Suatu hari istri Nashruddin mengejeknya karena miskin.

"Jika engkau memang seorang agamawan," ucapnya, "engkau seharusnya berdoa meminta uang. Jika itu memang pekerjaan, engkau seharusnya dibayar, sebagaimana orang lain pun dibayar untuk suatu pekerjaan."

"Baiklah, aku akan melakukannya."



Nashruddin segera pergi ke kebun dan berteriak sekeras-kerasnya, "Ya Tuhan! Aku telah melayani-Mu selama ini tanpa memperoleh uang. Sekarang istriku mengatakan bahwa aku seharusnya dibayar. Oleh sebab itu, bolehkah aku memiliki dalam waktu sekejap seratus keping emas sebagai bayaran selama ini?"

Seorang bakhil yang tinggal di samping rumahnya pada saat itu sedang berada di atap rumahnya, menghitung kekayaannya.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3152 seconds (0.1#10.140)