Perang Pecah, Pasukan Gajah Ngamuk di Tengah Ramalan Buruk tentang Persia
loading...
A
A
A
PANGLIMA perang Persia , Rustum bin Farrakhzad sudah melihat persiapan pasukan Muslimin. Semangat cinta tanah airnya segera timbul. Lupa ia pada ramalan buruknya, sudah tak ingat lagi pada ramalan-ramalan penujumannya.
Persia telah mengembalikan prajurit teladan itu yang dikenalnya sebagai pahlawannya yang terbesar. Oleh karena itu, tak lama lagi, ketika pasukannya menyeberang sungai, mereka sudah dibariskan dalam keadaan siap berperang. Dia sendiri sudah mengenakan baju besi dan topi baja dan sudah siap pula dengan senjatanya. ( )
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Umar bin Khattab " menceritakan pelana kudanya yang sudah dipasangkan, dan ketika menaikinya ia berkata: "Suatu pukulan yang menentukan akan kita mulai besok."
Kemudian ia memerintahkan kepada orang yang dapat mengobarkan semangat perang kepada pasukannya, membela tanah air dan mengusir orang-orang Arab yang kasar tak beradab itu, yang telah menaklukkan beberapa generasi untuk mengekang leher Persia. Sekarang mereka tiba-tiba beimimpi mau memerangi dan mengalahkan Persia. Aib yang bagaimana lagi yang lebih besar dari ini yang harus kita tolak! ( )
Dengan demikian kedua angkatan bersenjata itu sudah saling berhadapan, hanya tinggal menunggu perintah gempur. Semangat kedua pihak sudah begitu berkobar. Yang terdengar oleh pasukan Muslimin hanya tentang surga yang kekal di samping kenikmatan dunia, dan oleh pasukan Persia yang terdengar hanya tentang tanah air, tentang kerajaan dan Kisra serta keagungannya.
Dalam pada itu Sa’ad bin Abi Waqqas sudah berpesan kepada pasukannya: Kalau kamu sudah mendengar suara takbir, maka ikatlah tali alas kakimu; jika terdengar takbir kedua, bersiaplah dan jika terdengar takbir ketiga, segera mulailah serangan ke sasaran. Ia memerintahkan kepada orang yang akan membacakan ayat-ayat perjuangan agar dibacakan pada setiap satuan pasukan berkuda.
Perasaan mereka berubah menjadi gembira, mereka lebih yakin apa yang sedang mereka hadapi. Setelah pembacaan ayat-ayat itu selesai Sa’ad bertakbir dan yang lain juga ikut bertakbir. Kemudian pada takbir kedua mereka bersiap-siap dan pada takbir ketiga mereka yang berpengalaman dalam perang mulai menyerbu dan tampil bertanding dengan pasukan Persia. Pasukan Persia juga maju menyerbu dengan semangat yang sama menyambut seruan pihak yang mengajak bertarung. ( )
Ketika itu Galib bin Abdullah al-Asadi di barisan depan orang yang sudah siap bertarung. Ia tampil sambil membaca syair yang intinya berisi kebanggaan dirinya sebagai pahlawan.
Dalam pada itu Ormizd, salah seorang raja dengan memakai mahkota, datang menghampirinya. Oleh Galib ia berhasil ditawan dan dibawanya kepada Sa’ad, kemudian dia sendiri kembali meneruskan pengejaran. ( )
Giliran Asim bin Amr yang tampil membaca puisi yang juga berisikan kepahlawanan yang tak kenal takut dan arti harga diri.
Sementara ia sedang membaca syairnya ketika itu juga ia mengejar seorang Persia yang melarikan diri. Tetapi ia menemukan seorang Persia lain membawa seekor bagal. Ia juga lari, tetapi Asim berhasil menggiring bagal berikut muatannya. Ternyata orang itu tukang roti raja, dan muatannya berupa makanan untuk Rustum.
Setelah dilihat oleh Sa’ad, makanan itu dibagikan kepada pasukannya untuk dimakan. ( )
Sa’ad bertakbir yang keempat kalinya. Sekarang kedua angkatan bersenjata itu berhadapan muka. Pahlawan-pahlawan dari pasukan Muslimin itu benar-benar berjuang mati-matian. Hal yang tak ada taranya yang pernah dilihat Sa’ad. Pasukan Muslimin memperkirakan apa yang menjadi sasaran Persia dengan jumlah dan perlengkapan serupa itu.
Sejak itu mereka tidak lagi menanam rasa kasihan dalam hati. Amr bin Ma'di Karib sedang mengerahkan pasukannya dalam dua barisan ketika tiba-tiba tampil orang Persia melepaskan anak panahnya tetapi tak ada yang mengena. Sekali lagi ia melepaskan anak panahnya dan sekali ini mengenai baju besi Amr.
Ia menoleh kepada orang itu, diserangnya ia dan dipatahkannya tengkuknya, setelah itu diletakkannya mata pedangnya di leher orang itu dan disembelih. Sambil melemparkannya ia berkata: Memang begini yang harus dilakukan terhadap mereka. Kemudian ikat pinggang dan pakaian sutera prajurit Persia yang terbunuh itu diambilnya. ( )
Melihat Banu Bajilah yang dipimpin oleh Jarir bin Abdullah sedang berlaga dan menyerang kian ke mari, sepasukan Persia melepaskan tiga belas ekor dari pasukan gajahnya untuk menyerang mereka. Kuda mereka berlarian tunggang langgang dan tinggal orang-orangnya yang hampir binasa diterjang gajah.
Melihat apa yang dialami Banu Bajilah itu Sa’ad segera memanggil Banu Asad untuk melindungi mereka. Yang maju ketika itu Tulaihah bin Khuwailid dan sekelompok jemaah dari kabilahnya, masing-masing dalam satuan pasukan berkuda, dan Tulaihah berteriak kepada mereka: "Hai kabilahku! Kalau Sa’ad tahu ada yang lain lebih layak daripada kalian untuk menolong mereka ia akan meminta pertolongan mereka. Mulailah menyerang mereka, majulah,
hadapilah mereka seperti singa yang geram. Kalian diberi nama Asad supaya kalian bertindak seperti singa. Perkuatlah barisanmu dan jangan menentang! Seranglah dan jangan mundur! Seranglah sekuat tenaga, dengan nama Allah!"
Mereka pun terus maju menyerang dengan sekuat tenaga, sambil terus menikam hingga dapat mencegah serangan gajah-gajah itu. Tetapi gajah-gajah itu datang lagi dan menyerang mereka. ( )
Ketika itu Sa’ad memanggil Asim bin Amr. "Kalian Banu Tamim," kata Sa’ad, "bukankah kalian ahli dalam soal unta dan kuda? Apa kiat kalian dalam menghadapi gajah?"
"Ya, memang," jawab mereka. Asim memanggil pasukan pemanah untuk melindungi, mereka dengan panah dari kawanan gajah, dan membelakangi gajah-gajah itu kemudian memotong tali-tali pelananya. la bergerak terus melindungi mereka sementara serangan kawanan gajah kepada Banu Asad terus gencar.
Anak buah Asim memperlakukan gajah-gajah itu seperti yang diperintahkan. Mereka membelakanginya dan menghujaninya dengan anak panah. Gajah-gajah itu melengking tinggi dan terhempas ke tanah bersama pengemudi-pengemudinya, tewas. Kedua kabilah Asad dan Bajilah kini merasa lega, setelah dari Asad saja terbunuh lebih dari lima ratus orang. ( )
Sa’ad masih tertelungkup dengan penyakitnya itu di Qudais sambil terus mengikuti pertempuran yang berkecamuk begitu sengit. Kadang ia kagum melihat pahlawan-pahlawan itu, kadang cemas juga melihat bencana yang menimpa pasukan Bajilah dan Asad akibat serangan pasukan gajah.
Pedih sekali hatinya ia tidak ikut terjun dalam pertempuran sengit serupa itu, seperti yang sering dialaminya sebelumnya.
Saat itu Salma binti Hafs — janda Musanna bin Harisah yang kemudian kawin dengan Sa’ad — berada di sebelahnya, melihat apa yang dilihatnya.Teringat ia segala pertempuran dalam perang besar seperti yang dulu pernah dialami suaminya almarhum. ( )
Setelah dilihatnya pihak Persia makin gencar menyerang dan membunuhi kelompok Asad, ia berteriak: "Oh Musanna! Musanna tak ada dalam pasukan berkuda sekarang!" Dia berkata begitu di depan seorang laki-laki yang sudah merasa kesal atas apa yang dialami rekan-rekannya dan yang dialaminya sendiri. Kata-kata istrinya telah menggugah Sa’ad. Sambil memukul mukanya sendiri ia berkata: "Musanna tak dapat dibandingkan dengan satuan pasukan yang sekarang sedang didera pertempuran semacam ini!" yakni Banu Asad dan Asim. Tamparan itu tidak membuat perempuan Badui yang angkuh itu mau menundukkan kepala, malah ia menatap Sa’ad seraya berkata: "Cemburu dan pengecut!"
Sa’ad merasa malu dengan kata-katanya itu. Mukanya basah olel keringat. "Sekarang tidak perlu orang memaafkan saya kalau Anda sendiri tidak memaafkan sementara Anda lihat keadaan saya ini," kata Sa’ad.
Orang sudah tahu apa yang terjadi antara Sa’ad dengan Salma itu. Mereka kagum sekali kepada perempuan Badui yang sangat berani itu. Setiap penyair merasa bangga melihat sikapnya, sekalipun mereka tahu benar bahwa Sa’ad bukan pengecut dan tidak tercela. (Bersambung)
Persia telah mengembalikan prajurit teladan itu yang dikenalnya sebagai pahlawannya yang terbesar. Oleh karena itu, tak lama lagi, ketika pasukannya menyeberang sungai, mereka sudah dibariskan dalam keadaan siap berperang. Dia sendiri sudah mengenakan baju besi dan topi baja dan sudah siap pula dengan senjatanya. ( )
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Umar bin Khattab " menceritakan pelana kudanya yang sudah dipasangkan, dan ketika menaikinya ia berkata: "Suatu pukulan yang menentukan akan kita mulai besok."
Kemudian ia memerintahkan kepada orang yang dapat mengobarkan semangat perang kepada pasukannya, membela tanah air dan mengusir orang-orang Arab yang kasar tak beradab itu, yang telah menaklukkan beberapa generasi untuk mengekang leher Persia. Sekarang mereka tiba-tiba beimimpi mau memerangi dan mengalahkan Persia. Aib yang bagaimana lagi yang lebih besar dari ini yang harus kita tolak! ( )
Dengan demikian kedua angkatan bersenjata itu sudah saling berhadapan, hanya tinggal menunggu perintah gempur. Semangat kedua pihak sudah begitu berkobar. Yang terdengar oleh pasukan Muslimin hanya tentang surga yang kekal di samping kenikmatan dunia, dan oleh pasukan Persia yang terdengar hanya tentang tanah air, tentang kerajaan dan Kisra serta keagungannya.
Dalam pada itu Sa’ad bin Abi Waqqas sudah berpesan kepada pasukannya: Kalau kamu sudah mendengar suara takbir, maka ikatlah tali alas kakimu; jika terdengar takbir kedua, bersiaplah dan jika terdengar takbir ketiga, segera mulailah serangan ke sasaran. Ia memerintahkan kepada orang yang akan membacakan ayat-ayat perjuangan agar dibacakan pada setiap satuan pasukan berkuda.
Perasaan mereka berubah menjadi gembira, mereka lebih yakin apa yang sedang mereka hadapi. Setelah pembacaan ayat-ayat itu selesai Sa’ad bertakbir dan yang lain juga ikut bertakbir. Kemudian pada takbir kedua mereka bersiap-siap dan pada takbir ketiga mereka yang berpengalaman dalam perang mulai menyerbu dan tampil bertanding dengan pasukan Persia. Pasukan Persia juga maju menyerbu dengan semangat yang sama menyambut seruan pihak yang mengajak bertarung. ( )
Ketika itu Galib bin Abdullah al-Asadi di barisan depan orang yang sudah siap bertarung. Ia tampil sambil membaca syair yang intinya berisi kebanggaan dirinya sebagai pahlawan.
Dalam pada itu Ormizd, salah seorang raja dengan memakai mahkota, datang menghampirinya. Oleh Galib ia berhasil ditawan dan dibawanya kepada Sa’ad, kemudian dia sendiri kembali meneruskan pengejaran. ( )
Giliran Asim bin Amr yang tampil membaca puisi yang juga berisikan kepahlawanan yang tak kenal takut dan arti harga diri.
Sementara ia sedang membaca syairnya ketika itu juga ia mengejar seorang Persia yang melarikan diri. Tetapi ia menemukan seorang Persia lain membawa seekor bagal. Ia juga lari, tetapi Asim berhasil menggiring bagal berikut muatannya. Ternyata orang itu tukang roti raja, dan muatannya berupa makanan untuk Rustum.
Setelah dilihat oleh Sa’ad, makanan itu dibagikan kepada pasukannya untuk dimakan. ( )
Sa’ad bertakbir yang keempat kalinya. Sekarang kedua angkatan bersenjata itu berhadapan muka. Pahlawan-pahlawan dari pasukan Muslimin itu benar-benar berjuang mati-matian. Hal yang tak ada taranya yang pernah dilihat Sa’ad. Pasukan Muslimin memperkirakan apa yang menjadi sasaran Persia dengan jumlah dan perlengkapan serupa itu.
Sejak itu mereka tidak lagi menanam rasa kasihan dalam hati. Amr bin Ma'di Karib sedang mengerahkan pasukannya dalam dua barisan ketika tiba-tiba tampil orang Persia melepaskan anak panahnya tetapi tak ada yang mengena. Sekali lagi ia melepaskan anak panahnya dan sekali ini mengenai baju besi Amr.
Ia menoleh kepada orang itu, diserangnya ia dan dipatahkannya tengkuknya, setelah itu diletakkannya mata pedangnya di leher orang itu dan disembelih. Sambil melemparkannya ia berkata: Memang begini yang harus dilakukan terhadap mereka. Kemudian ikat pinggang dan pakaian sutera prajurit Persia yang terbunuh itu diambilnya. ( )
Melihat Banu Bajilah yang dipimpin oleh Jarir bin Abdullah sedang berlaga dan menyerang kian ke mari, sepasukan Persia melepaskan tiga belas ekor dari pasukan gajahnya untuk menyerang mereka. Kuda mereka berlarian tunggang langgang dan tinggal orang-orangnya yang hampir binasa diterjang gajah.
Melihat apa yang dialami Banu Bajilah itu Sa’ad segera memanggil Banu Asad untuk melindungi mereka. Yang maju ketika itu Tulaihah bin Khuwailid dan sekelompok jemaah dari kabilahnya, masing-masing dalam satuan pasukan berkuda, dan Tulaihah berteriak kepada mereka: "Hai kabilahku! Kalau Sa’ad tahu ada yang lain lebih layak daripada kalian untuk menolong mereka ia akan meminta pertolongan mereka. Mulailah menyerang mereka, majulah,
hadapilah mereka seperti singa yang geram. Kalian diberi nama Asad supaya kalian bertindak seperti singa. Perkuatlah barisanmu dan jangan menentang! Seranglah dan jangan mundur! Seranglah sekuat tenaga, dengan nama Allah!"
Mereka pun terus maju menyerang dengan sekuat tenaga, sambil terus menikam hingga dapat mencegah serangan gajah-gajah itu. Tetapi gajah-gajah itu datang lagi dan menyerang mereka. ( )
Ketika itu Sa’ad memanggil Asim bin Amr. "Kalian Banu Tamim," kata Sa’ad, "bukankah kalian ahli dalam soal unta dan kuda? Apa kiat kalian dalam menghadapi gajah?"
"Ya, memang," jawab mereka. Asim memanggil pasukan pemanah untuk melindungi, mereka dengan panah dari kawanan gajah, dan membelakangi gajah-gajah itu kemudian memotong tali-tali pelananya. la bergerak terus melindungi mereka sementara serangan kawanan gajah kepada Banu Asad terus gencar.
Anak buah Asim memperlakukan gajah-gajah itu seperti yang diperintahkan. Mereka membelakanginya dan menghujaninya dengan anak panah. Gajah-gajah itu melengking tinggi dan terhempas ke tanah bersama pengemudi-pengemudinya, tewas. Kedua kabilah Asad dan Bajilah kini merasa lega, setelah dari Asad saja terbunuh lebih dari lima ratus orang. ( )
Sa’ad masih tertelungkup dengan penyakitnya itu di Qudais sambil terus mengikuti pertempuran yang berkecamuk begitu sengit. Kadang ia kagum melihat pahlawan-pahlawan itu, kadang cemas juga melihat bencana yang menimpa pasukan Bajilah dan Asad akibat serangan pasukan gajah.
Pedih sekali hatinya ia tidak ikut terjun dalam pertempuran sengit serupa itu, seperti yang sering dialaminya sebelumnya.
Saat itu Salma binti Hafs — janda Musanna bin Harisah yang kemudian kawin dengan Sa’ad — berada di sebelahnya, melihat apa yang dilihatnya.Teringat ia segala pertempuran dalam perang besar seperti yang dulu pernah dialami suaminya almarhum. ( )
Setelah dilihatnya pihak Persia makin gencar menyerang dan membunuhi kelompok Asad, ia berteriak: "Oh Musanna! Musanna tak ada dalam pasukan berkuda sekarang!" Dia berkata begitu di depan seorang laki-laki yang sudah merasa kesal atas apa yang dialami rekan-rekannya dan yang dialaminya sendiri. Kata-kata istrinya telah menggugah Sa’ad. Sambil memukul mukanya sendiri ia berkata: "Musanna tak dapat dibandingkan dengan satuan pasukan yang sekarang sedang didera pertempuran semacam ini!" yakni Banu Asad dan Asim. Tamparan itu tidak membuat perempuan Badui yang angkuh itu mau menundukkan kepala, malah ia menatap Sa’ad seraya berkata: "Cemburu dan pengecut!"
Sa’ad merasa malu dengan kata-katanya itu. Mukanya basah olel keringat. "Sekarang tidak perlu orang memaafkan saya kalau Anda sendiri tidak memaafkan sementara Anda lihat keadaan saya ini," kata Sa’ad.
Orang sudah tahu apa yang terjadi antara Sa’ad dengan Salma itu. Mereka kagum sekali kepada perempuan Badui yang sangat berani itu. Setiap penyair merasa bangga melihat sikapnya, sekalipun mereka tahu benar bahwa Sa’ad bukan pengecut dan tidak tercela. (Bersambung)
(mhy)