Begini Rasanya Disalami Malaikat Jibril di Malam Lailatul Qadar
loading...
A
A
A
Malam 27 ini menjadi malam yang banyak disepakati para ulama akan umumnya turun Lailatul Qadar. Akan tetapi, karena malam keagungan dan kemuliaan itu dirahasiakan, bisa jadi awal Ramadhan, pertengahan atau terserah Allah yang mau menurunkannya.
"Menurut Syekh Abil Hasan Al-Syadzili, apabila Ramadlan diawali dengan hari Jumat, maka malam Lailatul Qadar adalah pada malam Nuzulul Qur'an. Karena dalam Surat Al-Qadar dikatakan bahwa Nuzulul Qur'an terjadi pada Lailatul Qadar," terangnya.
Gus Hayid menambahkan, salah satu bacaan dan doa yang anjurkan dibaca dan diperbanyak dilantunkan adalah syahadat lengkap kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW dilanjutkan dengan doa Allahumma innaka afwun karim tuhibbil afwa fa'fuanni. Allahumma inna nas'aluka ridhoka wal jannah wanaudzu buka min sakhatika wannar.
Seperti Halnya Allah Merahasiakan Wali
Dalam kitab Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, Sayyid Abdul Aziz al-Darani menggunakan parabel (perumpamaan) menarik untuk menguraikan hikmah dirahasiakannya lailatul qadar. ( )
Dijelaskan dengan ringan dan mudah dicerna, sekaligus fungsional untuk diterapkan. Ia mengatakan:
إنّ الله تعالي أخفي ليلة القدر في رمضان ليجتهد المؤمنين في سائر الشهر كما أخفي الولي بين المؤمنين ليحترم الجميع
Terjemah bebas: “Sesungguhnya Allah ta’ala merahasiakan Lailatul Qadar di (bulan) Ramadhan agar orang-orang beriman berusaha (melakukan ibadah dengan gigih) di sisa bulan (Ramadhan) seperti halnya Allah merahasiakan seorang wali di antara orang-orang beriman agar semua (orang) dimuliakan (atau diperlakukan dengan hormat)” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 167)
Dengan dirahasiakannya waktu Lailatul Qadar, manusia akan tergerak untuk berusaha, dan beribadah setiap hari di bulan Ramadhan. Dalam pencariannya, jika manusia tidak berhasil mendapatkannya, ia telah mengumpulkan banyak kebaikan.
Bisa jadi karena kegigihannya, Allah menuntunnya untuk mendapatkan Lailatul Qadar, sehingga Allah akan menghilangkan kantuknya; melenyapkan malasnya, dan menguatkan istiqamahnya ketika Lailatul Qadar datang.
Andai waktu Lailatul Qadar dipastikan saat dan tanggalnya, manusia hanya akan menunggu, tidak berusaha mencarinya. Apalagi kebaikan yang akan didapatkan berlipat-lipat banyaknya. Imam Mujahid mengatakan:
عباتها خير من عبادة ألف شهر صيام وقيام
“Beribadah (di malam Lailatul Qadar) lebih baik dari ibadah seribu bulan berpuasa dan shalat malam.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 167)
Dalam pandangan Imam Mujahid, kebaikan Lailatul Qadar melebihi nilai ibadah seribu bulan puasa dan salat malam. Perbandingannya tidak dengan bulan-bulan biasa yang tidak dilakukan ibadah di dalamnya, tapi dengan seribu bulan berpuasa dan shalat malam.
Ini menunjukkan keutamaan Lailatul Qadar sangat luar biasa. Apabila Lailatul Qadar ditentukan waktunya, manusia hanya akan menunggu, tanpa tergerak untuk berusaha mendapatkannya.
Selain itu, Lailatul Qadar adalah hadiah Allah untuk umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sayyid Abdul Aziz al-Darani menulis dalam kitabnya:
روي في الصحيح: (أن رسول الله صلي الله عليه وسلم أراه الله تعالي أعمار الناس قبله, فكأنه تقاصر أعمار أمته أن لا يبلغوا من العمل مثل الذي بلغ غيرهم في طول العمر، فأعطاه الله تعالي ليلة القدر, خير من ألف شهر) وألف شهر ثلاث وثمانون سنة وثلث
Terjemah bebas: “Dalam sebuah riwayat yang sahih (dikatakan): (Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diperlihatkan oleh Allah ta’ala usia-usia manusia sebelumnya. Seakan-akan usia umatnya menjadi semakin pendek, sehingga pencapaian amalnya tidak akan menyamai amal umat lainnya karena panjangnya usia [mereka].
Kemudian Allah ta’ala menganugerahi Nabi Muhammad Lailatul Qadar, yang [nilainya] lebih baik dari seribu bulan). Seribu bulan (kurang lebih setara dengan) delapan puluh tiga tahun tiga bulan.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 166)
Ustaz Muhammad Afiq Zahara dalam tulisannya berjudul "Dirahasiakannya Waktu Lailatul Qadar seperti Dirahasiakannya Wali" menyatakan soal kita berhasil mendapatkan lailatul qadar atau tidak, tergantung kita sendiri.
"Karena itu, kita butuh bermandikan doa, berpeluh usaha, dan bersiram istiqimah. Kita harus bersiap diri menyambut kehadirannya; bersiap rasa menemui kedatangannya," tuturnya.
Tanpa itu, kita akan menanti dalam kelalaian; menunggu dalam kelupaan. ( )
Sayyid Abdul Aziz al-Darani menyatakan, "(Wahai) hamba-hamba Allah, sungguh bulan Ramdhan adalah gelanggang (perlombaan) orang-orang terdahulu dan ghanimah bagi orang-orang yang jujur. Di dalamnya (pahala) amal-amal dilipat-gandakan, dan dosa-dosa yang berat diringankan. Di dalamnya permohonan (doa) dikabulkan, dan diampuni (dosa-dosa) orang yang meminta ampunan.
Keutamaannya di atas apa yang dikatakan (atau dijelaskan), karena bulan Ramadhan adalah kemuliannya masa (waktu) dan pelitanya bulan. Kemudian di dalamnya ada Lailatul Qadar yang Allah jadikan beribadah (di dalam)nya lebih baik dari ibadah seribu bulan.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 166) Wallahu a’lam bish-shawwab
"Menurut Syekh Abil Hasan Al-Syadzili, apabila Ramadlan diawali dengan hari Jumat, maka malam Lailatul Qadar adalah pada malam Nuzulul Qur'an. Karena dalam Surat Al-Qadar dikatakan bahwa Nuzulul Qur'an terjadi pada Lailatul Qadar," terangnya.
Gus Hayid menambahkan, salah satu bacaan dan doa yang anjurkan dibaca dan diperbanyak dilantunkan adalah syahadat lengkap kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW dilanjutkan dengan doa Allahumma innaka afwun karim tuhibbil afwa fa'fuanni. Allahumma inna nas'aluka ridhoka wal jannah wanaudzu buka min sakhatika wannar.
Seperti Halnya Allah Merahasiakan Wali
Dalam kitab Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, Sayyid Abdul Aziz al-Darani menggunakan parabel (perumpamaan) menarik untuk menguraikan hikmah dirahasiakannya lailatul qadar. ( )
Dijelaskan dengan ringan dan mudah dicerna, sekaligus fungsional untuk diterapkan. Ia mengatakan:
إنّ الله تعالي أخفي ليلة القدر في رمضان ليجتهد المؤمنين في سائر الشهر كما أخفي الولي بين المؤمنين ليحترم الجميع
Terjemah bebas: “Sesungguhnya Allah ta’ala merahasiakan Lailatul Qadar di (bulan) Ramadhan agar orang-orang beriman berusaha (melakukan ibadah dengan gigih) di sisa bulan (Ramadhan) seperti halnya Allah merahasiakan seorang wali di antara orang-orang beriman agar semua (orang) dimuliakan (atau diperlakukan dengan hormat)” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, h. 167)
Dengan dirahasiakannya waktu Lailatul Qadar, manusia akan tergerak untuk berusaha, dan beribadah setiap hari di bulan Ramadhan. Dalam pencariannya, jika manusia tidak berhasil mendapatkannya, ia telah mengumpulkan banyak kebaikan.
Bisa jadi karena kegigihannya, Allah menuntunnya untuk mendapatkan Lailatul Qadar, sehingga Allah akan menghilangkan kantuknya; melenyapkan malasnya, dan menguatkan istiqamahnya ketika Lailatul Qadar datang.
Andai waktu Lailatul Qadar dipastikan saat dan tanggalnya, manusia hanya akan menunggu, tidak berusaha mencarinya. Apalagi kebaikan yang akan didapatkan berlipat-lipat banyaknya. Imam Mujahid mengatakan:
عباتها خير من عبادة ألف شهر صيام وقيام
“Beribadah (di malam Lailatul Qadar) lebih baik dari ibadah seribu bulan berpuasa dan shalat malam.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 167)
Dalam pandangan Imam Mujahid, kebaikan Lailatul Qadar melebihi nilai ibadah seribu bulan puasa dan salat malam. Perbandingannya tidak dengan bulan-bulan biasa yang tidak dilakukan ibadah di dalamnya, tapi dengan seribu bulan berpuasa dan shalat malam.
Ini menunjukkan keutamaan Lailatul Qadar sangat luar biasa. Apabila Lailatul Qadar ditentukan waktunya, manusia hanya akan menunggu, tanpa tergerak untuk berusaha mendapatkannya.
Selain itu, Lailatul Qadar adalah hadiah Allah untuk umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sayyid Abdul Aziz al-Darani menulis dalam kitabnya:
روي في الصحيح: (أن رسول الله صلي الله عليه وسلم أراه الله تعالي أعمار الناس قبله, فكأنه تقاصر أعمار أمته أن لا يبلغوا من العمل مثل الذي بلغ غيرهم في طول العمر، فأعطاه الله تعالي ليلة القدر, خير من ألف شهر) وألف شهر ثلاث وثمانون سنة وثلث
Terjemah bebas: “Dalam sebuah riwayat yang sahih (dikatakan): (Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diperlihatkan oleh Allah ta’ala usia-usia manusia sebelumnya. Seakan-akan usia umatnya menjadi semakin pendek, sehingga pencapaian amalnya tidak akan menyamai amal umat lainnya karena panjangnya usia [mereka].
Kemudian Allah ta’ala menganugerahi Nabi Muhammad Lailatul Qadar, yang [nilainya] lebih baik dari seribu bulan). Seribu bulan (kurang lebih setara dengan) delapan puluh tiga tahun tiga bulan.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 166)
Ustaz Muhammad Afiq Zahara dalam tulisannya berjudul "Dirahasiakannya Waktu Lailatul Qadar seperti Dirahasiakannya Wali" menyatakan soal kita berhasil mendapatkan lailatul qadar atau tidak, tergantung kita sendiri.
"Karena itu, kita butuh bermandikan doa, berpeluh usaha, dan bersiram istiqimah. Kita harus bersiap diri menyambut kehadirannya; bersiap rasa menemui kedatangannya," tuturnya.
Tanpa itu, kita akan menanti dalam kelalaian; menunggu dalam kelupaan. ( )
Sayyid Abdul Aziz al-Darani menyatakan, "(Wahai) hamba-hamba Allah, sungguh bulan Ramdhan adalah gelanggang (perlombaan) orang-orang terdahulu dan ghanimah bagi orang-orang yang jujur. Di dalamnya (pahala) amal-amal dilipat-gandakan, dan dosa-dosa yang berat diringankan. Di dalamnya permohonan (doa) dikabulkan, dan diampuni (dosa-dosa) orang yang meminta ampunan.
Keutamaannya di atas apa yang dikatakan (atau dijelaskan), karena bulan Ramadhan adalah kemuliannya masa (waktu) dan pelitanya bulan. Kemudian di dalamnya ada Lailatul Qadar yang Allah jadikan beribadah (di dalam)nya lebih baik dari ibadah seribu bulan.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 166) Wallahu a’lam bish-shawwab