Kisah Bathil? Ketika Mimpi Dijadikan Landasan Hukum Syar’i

Rabu, 10 Maret 2021 - 07:49 WIB
loading...
Kisah Bathil? Ketika Mimpi Dijadikan Landasan Hukum Syar’i
Ilustrasi/Ist
A A A
PEMERAN utama kisah ini adalah al’Utbi . Nama lengkapnya Muhammad bin Ubaidullah bin Amr bin Muawiyah bin Amr bin Utbah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah atau Abu Abdir Rahman al-Utbi. Dia termasuk penduduk Bashrah.



Menurut Al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, Al-’Utbi, begitu dia dikenal, adalah orang yang memiliki cerita-cerita dan kata-kata hikmah. Dia meninggal tahun 228 H”.

Kisahnya, Al-’Utbi berkata: “Suatu saat, aku pernah duduk di samping makam Rasulullah SAW , kemudian datang seorang a'rabi (arab badui) dan berkata: "Salam sejahtera atasmu ya Rasulullah. Aku mendengar Allah SWT berfirman:

ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS An-Nisa’ : 64).

Aku datang kepadamu memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Tuhanku”.

Kemudian dia mengucapkan syair:

Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Di sana terdapat kesucian, kemurahan dan kemuliaan

Orang badui itu lalu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah SAW dan beliau berkata: "Wahai Utbi, kejarlah si a'rabi tadi, sampaikan kabar gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya".

Kisah ini sangat popular karena banyak dimuat dalam kitab kitab dan sering disebut-sebut untuk mengusung dibolehkannya bahkan dianjurkan meminta pertolongan dan berdo’a kepada orang yang sudah meninggal dunia.



Takhrij Kisah
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 3880, Ibnu Najjar dalam ad-Durroh Ats-Tsaminah fi Tarikh Madinah hlm. 147 dan lain-lain dengan sanadnya kepada Muhammad bin Rouh dari Muhammad bin Harb al-Hilali...

“Kisah ini diriwayatkan oleh sebagian penulis dengan beberapa jalur:

1. Ada yang meriwayatkan dari al-’Utby tanpa sanad.

2. Ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Harb al-Hilali.

3. Ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Harb dari Abul Hasan az-Za’faroni dari al-A’robi.

4. Sebagian lagi membuat-buat sanad kisah ini dengan menyandarkannya kepada Ali bin Abi Thalib”.



Derajat Kisah
Dalam buku “Membongkar Kebohongan Mantan Kiai NU” hlm. 58 dikatakan: “Kisah al-’Utbi ini juga diriwayatkan oleh al-Hafizh an-Nawawi dalam al-Idhoh fi Manasik al-Haj hlm. 498, Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam al-Mughni 3/556... dan lain-lain”.

Kami katakan: Ungkapan ini tidak ilmiah, sebab ungkapan “diriwayatkan” tidak digunakan kecuali bagi seorang yang meriwayatkan suatu kisah dengan sanad, sedangkan al-Hafizh an-Nawawi hanya menukil saja, demikian juga Ibnu Qudamah, bahkan beliau membawakan kisah ini dengan sighoh tamridh yang berkonotasi lemah.

Barangsiapa yang menganggap hal ini sebagai suatu periwayatan maka dia tidak memahami istilah ulama atau sok tahu padahal dia tidak tahu. (Lihat Hadzihi Mafahimuna, Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hlm. 75).

Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi dalam bukunya berjudul "Waspada Terhadap Kisah-kisah tak Nyata" menyebut kisah ini bathil.

Kisah ini bathil dan tidak shahih sama sekali, kata Abu Ubaidah Yusuf, disebabkan:

Pertama, sanad kisah ini gelap dan lemah

Perinciannya sebagai berikut:

a. Jalur yang tanpa sanad jelas sekali tidak bisa dijadikan landasan. (Lihat ash-Shorimul Munki, Ibnu Abdil Hadi hlm. 246)

b. Jalur Ibnu Najjar dikatakan oleh Syaikh Hammad al-Anshori, ahli hadits Madinah: “Para perawinya tidak dikenal, mulai dari gurunya hingga Muhammad bin Harb al-Hilali. (Tuhfatul Qori fir Raddi ‘ala al-Ghumari, Syaikh Hammad al-Anshori hlm. 250).

c. Jalur al-Baihaqi dikatakan oleh al-Albani: “Sanad ini lemah dan gelap, saya tidak mengenal Abu Ayyub al-Hilali dan ke bawah- nya”. Lanjutnya: “Kisah ini sangat nyata munkar. Cukuplah kiranya karena kisah ini bermuara kepada seorang badui yang tak dikenal”. (Lihat silsilah Ahadits ash-Shahihah 6/427).

d. Jalur dari Ali bin Abi Thalib dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Hadi: “Khobar ini munkar, palsu, hanya dibuat-buat, tidak bisa dijadikan sandaran, sanadnya gelap di atas kegelapan”. (Lihat Ash-Shaorimul Munki hlm. 323)

Imam Ibnu Abdil Hadi berkata: “Kesimpulannya, kisah A’robi ini tidak bisa dijadikan landasan, karena sanadnya gelap, lafadznya penuh perbedaan, tidak bisa dijadikan pedoman dan hujjah menurut ahli ilmu”.

Beliau juga mengatakan: “Adapun kisah al-’Utbi, disebutkan oleh sebagian ahli fiqih dan ahli hadis tetapi kisah ini tidak shahih kepada al-’Utbi, diriwayatkan dari jalur lain dengan sanad yang gelap.

Kesimpulannya, kisah ini tidak bisa dijadikan landasan hukum syar’i, lebih-lebih dalam masalah ini yang seandainya disyari’atkan tentu para sahabaat dan tabi’in lebih tahu dan lebih semangat untuk melakukannya daripada selain mereka”.

Kedua, matan-nya mudhthorib (guncang).

Kisah ini juga mudhthorib, karena diriwayatkan dari jalur yang saling berbeda dan tidak bisa digabungkan, dan jalur-jalurnya lemah sekali sehingga tidak bisa ditarjih (dikuatkan) salah satu di antaranya.

Ada yang meriwayatkan dari al-’Utby tanpa sanad, ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Harb al-Hilali, ada yang meriwayatkan dari az-Za’faroni, ada yang meriwayatkan dari Abu Harb al-Hilali, ada yang meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib.

Jadi sanad kisah ini, di samping para perawinya yang tak dikenal bahkan ada yang tanpa sanad, juga matannya guncang sehingga lafadznya-pun berbeda-beda.



Mengkritisi Matan Kisah
Kisah ini adalah munkar dan bathil karena menyelisihi Al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu, sering dinukil sejumlah pihak untuk membolehkan istighosah (meminta pertolongan) kepada Nabi SAW dan meminta syafa’at kepada beliau setelah wafat. Sungguh, hal ini merupakan kebatilan yang amat nyata sebagaimana dimaklumi bersama.

2. Sesungguhnya meminta syafa’at, do’a dan istighfar setelah kematian Nabi SAW dan di sisi kuburan beliau bukanlah hal yang disyari’atkan menurut satupun dari imam kaum muslimin, dan tidak disebutkan oleh salah satu imam dari imam empat dan kawan-kawan mereka yang pendahulu.

Hal ini hanya diceritakan oleh orang-orang belakangan, mereka menceritakan kisah al-’Utbi bahwa dia melihat orang Arab badui mendatangi kubur Nabi dan membaca ayat (QS. An-Nisa’: 64) dan bahwasanya dia melihat dalam mimpi bahwa Allah mengampuninya.

Kisah ini tidak disebutkan oleh salah seorang mujtahid-pun dari penganut madzhab yang diikuti oleh manusia fatwa mereka. Dan telah dimaklumi bersama kalau seandainya meminta do’a, syafa’at dan istighfar kepada Nabi di kuburnya hukumnya disyariatkan, niscaya para sahabat, tabi’in dan para imam lebih tahu dan lebih mendahului selain mereka.

Alangkah indahnya ucapan Imam Malik: “Tidak baik umat ini kecuali dengan apa yang membuat generasi pertama menjadi baik”.

Dan tidak sampai kepadaku dari generasi pertama bahwa mereka melakukan hal itu. Lantas bagaimana orang seperti imam ini –yakni al-’Utbi- mensyari’atkan suatu agama yang tidak dinukil dari seorangpun dari salaf shalih, dan memerintahkan kepada umat untuk meminta do’a, syafa’at dan istighfar setelah matinya para Nabi dan orang-orang shalih di sisi kuburan mereka, sedangkan hal itu tidak pernah dilakukan oleh seorangpun dari salaf shalih? (Lihat Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah 1/241. Lihat pula Iqtidho’ Shirathil Mustaqim 2/762).

3. Kisah ini adalah bathil dan tidak shahih, karena pelaku kisah adalah orang yang majhul (tidak dikenal), demikian juga para perawinya adalah orang-orang yang tak dikenal. Dan tidak mungkin kisah seperti ini shahih.

4. Ini hanyalah mimpi yang tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum syar’i. Sungguh sangat mengherankan mereka berpegang kepada kisah seorang Arab badui dan meninggalkan para ulama salaf. Apakah mereka berkeyakinan bahwa orang arab badui ini lebih berilmu tentang agama daripada Abu Bakar, Umar dan seluruh para sahabat yang tidak melakukan perbuatan ini?

Wallahu'alam


(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3198 seconds (0.1#10.140)