Ammar bin Yasir: Ketika Ramalan Rasulullah Jadi Kenyataan

Sabtu, 08 Mei 2021 - 16:00 WIB
loading...
A A A
Ammar berdiri di samping Ali bin Abi Thalib . Ini bukan karena fanatik atau berpihak, tetapi karena tunduk kepada kebenaran dan teguh memegang janji. Ali adalah Khalifah Kaum muslimin, dan berhak menerima bai'at sebagai pemimpin ummat. Dan khilafat itu diterimanya, karena memang ia berhak untuk itu dan layak untuk menjabatnya.

Baik sebelum maupun sesudah ini, Ali memiliki keutamaan-keutamaan yang menjadikan bedudukannya di samping Rasulullah tak ubah bagai kedudukan Harun di samping Musa.

Dengan cahaya pandangan ruhani dan ketulusannya, Ammar yang selalu mengikuti kebenaran ke mana juga perginya, dapat mengetahui pemilik hak satu-satunya dalam perselisihan ini.

Dan menurut keyakinannya, tak seorang pun berhak atas hal ini dewasa itu selain Imam Ali, oleh sebab itulah ia berdiri di sampingnya.

Dan Ali r. a. sendiri merasa gembira atas sokongan yang diberikannya itu, mungkin tak ada kegembiraan yang lebih besar daripada itu, hingga keyakinannya bahwa ia berada di pihak yang benar kian bertambah, yakni selama tokoh utama pencinta kebenaran Ammar datang kepadanya dan berdiri di sisinya.

Kemudian datanglah saat perang Shiffin yang mengerikan itu. Imam Ali menghadapi pekerjaan penting ini sebagai tugas memadamkan pembangkangan dan pemberontakan. Dan 'Ammar ikut bersamanya. Waktu itu usianya telah 93 tahun.



Apa dalam usia 93 tahun ia masih pergi ke medan juang? Benar. Selama menurut keyakinannya peperangan itu menjadi tugas kewajibannya. Bahkan ia melakukannya lebih semangat dan dahsyat dari yang dilakukan oleh orang-orang
muda berusia 30 tahun.

Tokoh yang pendiam dan jarang bicara ini hampir saja tidak menggerakkan kedua bibirnya, kecuali mengucapkan kata-kata mohon perlindungan berikut:

"Aku berlindung kepada Allah dari fitnah... Aku berlindung kepada Allah dari fitnah ....".

Tak lama setelah Rasulullah wafat, kata-kata ini merupakan do'a yang tak putus lekang dari bibirnya. Dan setiap hari berlalu setiap itu pula ia memperbanyak do'a dan mohon perlindungannya itu seolah-olah hatinya yang suci merasakan bahaya mengancam yang semakin dekat dan menghampir juga.

Dan tatkala bahaya itu tiba dan fitnah merajalela, Ibnu Sumayyah telah mengerti di mana ia harus berdiri. Maka di hari perang Shiffin, ia bangkit menghunus pedangnya, demi membela kebenaran yang menurut keimanannya harus dipertahankan.

Pandangan terhadap pertempuran ini telah dimaklumkannya dalam kata-kata sebagai berikut:

"Hai ummat manusia! Marilah kita berangkat menuju gerombolan yang mengaku-ngaku hendak menuntutkan bela Utsman!

Demi Allah! Maksud mereka bukanlah hendak menuntutkan belanya itu, tetapi sebenarnya mereka telah merasakan manisnya dunia dan telah ketagihan terhadapnya, dan mereka mengetahui bahwa kebenaran itu menjadi penghalang bagi pelampiasan nafsu serakah mereka.

Mereka bukan yang berlomba dan tidak termasuk barisan pendahulu memeluk Agama Islam.
Argumentasi apa sehingga mereka merasa berhak untuk ditaati oleh Kaum Muslimin dan diangkat sebagai pemimpin, dan tidak pula dijumpai dalam hati mereka perasaan takut kepada Allah, yang akan mendorong mereka untuk mengikuti kebenaran.

Mereka telah menipu orang banyak dengan mengakui hendak menuntutkan bela kematian Utsman, padahal tujuan mereka yang sesungguhnya ialah hendak menjadi raja dan penguasa adikara."

Kemudian diambilnya bendera dengan tangannya, lain dikibarkannya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berseru:

"Demi Dzat yang menguasai nyawaku .... ! Saya telah bertempur dengan mengibarkan bendera ini bersama Rasulullah SAW, dan inilah aku siap berperang pula dengan mengibarkannya sekarang ini!

Demi nyawa saya berada dalam tangan-Nya!
Seandainya mereka menggempur dan menyerbu hingga berhasil mencapai kubu pertahanan kita, saya tahu pasti bahwa kita berada di pihak yang haq, dan bahwa mereka di pihak yang bathil ....!"
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4101 seconds (0.1#10.140)