Tatkala Suami Masih Kafir, Kisah Mengharukan Zainab Putri Rasulullah

Jum'at, 29 Mei 2020 - 05:00 WIB
loading...
Tatkala Suami Masih Kafir, Kisah Mengharukan Zainab Putri Rasulullah
Setahun berselang, semenjak pasangan suami istri itu kembali bertemu, kini mereka mesti berpisah. Perpisahan kali ini adalah perpisahan untuk selamanya. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
PADA suatu hari di tahun 8 hijriyah. Suasana sedih menyelimuti Kota Madinah . Hari itu adalah hari berkabung. Zainab putri Rasulullah menghadap Illahi. Kematian Zainab menjadi musibah besar bagi sang suami, Abu al-'Ash. Pria yang baru setahun dipertemukan kembali dengan kekasihnya itu mendekati jenazah Zainab seraya mengucapkan salam perpisahan. Air matanya berlinang. Semua orang yang hadir pun ikut menangis.

Begitu juga Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam (SAW). Beliau diliputi kesedihan. Matanya pun basah. Beliau mendoakan dan menyerahkan sang putri kepada Allah SWT lalu memerintahkan kepada para wanita yang ada ketika itu: "Mandikanlah jenazahnya dengan jumlah ganjil: tiga atau lima kali. Berikanlah kapur untuk perjalanannya ke akhirat."

Zainab Binti Muhammad adalah anak sulung nabi Nabi Muhammad hasil pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah binti Khuwailid. Zainab lahir 23 tahun sebelum Hijrah/600 M di Kota Mekah. Saat beliau wafat usianya baru 29 tahun.

Dr Bassam Muhammad Hamami dalam “Biografi 39 Tokoh Wanita Pengukir Sejarah Islam” menceritakan, Zainab menikah dengan Abu al-Ash ibn Rabi' sebelum Muhammad menerima wahyu kenabian. Abu al-Ash adalah saudara sepupu Zainab.

Sang suami dikenal sebagai salah seorang tokoh Makkah yang tiada tertandingi kekayaan dan kehormatannya. Ia adalah laki-laki keturunan Quraisy tulen yang nasabnya dari pihak ayah bertemu dengan Nabi pada Abdu Manaf ibn Qushay dan dari pihak ibu, nasabnya pada kakek terdekatnya, Khuwailid. Hal itu karena ibunya, Halah binti Khuwailid, adalah saudara dari Khadijah binti Khuwailid. (Baca Juga: Baca juga: Biografi Nabi Muhammad, Manusia Teragung Sepanjang Masa
Abu al-'Ash ibn Rabi' di samping merupakan keturunan orang-orang terhormat, ia juga adalah seorang yang mulia dan berkepribadian baik. Sebagaimana julukan Muhammad ibn Abdullah, ia juga mendapat julukan dari kaumnya dengan al-Amin. Sifat amanah yang ia miliki telah mendatangkan kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap dirinya.

Pada saat melamar Zainab, Abu al-'Ash ibn Rabi' mengajak beberapa saudaranya mendatangi rumah Sayidina Muhammad. Kala itu, Sayidina Muhammad bersabda, "Itu sungguh merupakan besan yang terbaik dan sekufu."

Hanya saja, beliau tidak memberikan jawaban atas lamaran Abu al-'Ash sebelum menemui putrinya dan menawarkan lamaran tersebut: "Wahai putriku, sesungguhnya sepupumu Abu al-Ash ibn Rabi' datang untuk melamar dirimu."

Zainab tidak memberi jawaban selain dengan menganggukkan kepala karena malu sementara kebahagiaan tampak bersinar di wajahnya. Kedua matanya berbinar sebelum tertutup oleh kedua pelupuknya.

Sayidina Muhammad beralih kepada istrinya, Sayyidah Khadijah, dan memberitahukan akan persetujuan Zainab. Pasalnya, diamnya Zainab menunjukkan persetujuannya untuk menikah.

Kabar menggembirakan itu segera tersebar di seantero Mekah. Binatang-binatang disembelih, hidangan disebarkan, dan para budak wanita berdiri untuk menari. Suara mereka menggemakan senandung pujian hingga kegembiraan menyelimuti seluruh Makkah karena pernikahan penuh berkah itu.

Begitu malam tiba, Abu al-'Ash ibn Rabi' memboyong Zainab ke rumahnya. Rasulullah mengawasi sementara sang ibu memandanginya dengan kedua mata yang terbalut oleh air mata. Dalam hati bersemayam kebahagiaan sementara nuraninya memanjatkan berbagai doa. Dengan segenap doa, Khadijah mengharapkan taufik dan kebahagiaan untuk sang putri.



Di rumah barunya, Zainab hidup dengan terhormat, mulia, dan bahagia. la jalani hidup di bawah naungan suami tercinta yang mulia, Abu al-'Ash. Ia merasakan kedamaian dalam hidup baru itu setelah semua yang diimpikan telah terwujud sebagaimana layaknya semua gadis yang menjalani kehidupan di dunia ini.

Pasangan ini mendapat anugerah dua orang putra, putra pertama bernama Ali ibn Abi al-'Ash dan yang kedua bernama Umamah binti Abu al-'Ash.

Masa Kenabian
Hari-hari terus berjalan. Sebagai pedagang, sang suami selalu bepergian ke negeri-negeri Syam dan negeri lainnya, meninggalkan sang istri tercinta, Zainab. Sementara itu di tempat lain, tepatnya di Gua Hira, saat Muhammad menerima wahyu. Allah memerintahkan beliau untuk melawan kerusakan yang telah merajalela di muka bumi.

Beliau menjalankan tugas kenabian didampingi istri tercinta Khadijah. Sang istri berkata, "Semoga Allah melindungi kita wahai Abu Qasim. Bergembiralah wahai suamiku dan teguhkanlah hatimu. Demi Allah, Dia tidak akan pernah menyusahkan dirimu karena engkau orang yang senang menyambung silaturahim, berbicara dengan jujur, menyampaikan amanah, menanggung segalanya, menghormati tamu, dan membantu orang-orang yang benar."

Mendengar berita itu, Zainab tertegun di tempatnya, diam bergeming. Pikirannya tidak menentu hingga ia tidak tahu dari mana pikiran itu bermula dan ke mana akan berujung. Bahkan, ia membayangkan seolah dirinya sedang dalam samudra yang dalam tanpa tahu ke mana akan berlabuh.



Rupanya sang suami juga telah mendengar desas-desus yang diceritakan para musyafir tentang kenabian ayah mertuanya itu. Kepada Zainab ia bertanya kebenaran cerita itu. Zainab membenarkan apa yang sudah didengar suaminya itu tentang turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad di Gua Hira. Zainab juga menegaskan dirinya telah mengikuti agama Rasulullah, mengikuti agama lslam bersama ibu dan para saudarinya.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1240 seconds (0.1#10.140)