Halalkah Makanan Sembelihan Kaum Yahudi, Kristen, dan Budha?
Senin, 27 Juli 2020 - 15:46 WIB
Prof Dr M Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat menjelaskan Al-Quran membagi dalam dua kelompok besar makanan jenis hewani, yaitu yang berasal dari laut dan darat. (
)
Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan Allah, Al-Quran surat Al-Nahl :14 menegaskan:
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Bahkan, menurutQuraish Shihab, hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai) tetap dibolehkan berdasarkan surat Al-Ma-idah : 96:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.
( )
"Buruan laut" maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat, dan sebagainya, baik dari laut, sungai, danau, kolam, dan lain-lain. Sedang kata "makanan yang berasal dari laut" adalah ikan dan semacamnya yang diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga mengapung. Makna ini dipahami dan sejalan dengan penjelasan Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari , Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu Hurairah yang menyatakan tentang laut:
Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya
Ini menurut banyak ulama sejalan juga dengan firman Allah dalam surat Al-Ma-idah:96 tersebut.
Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di darat dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan para ulama, apalagi ia bukan datang dari Al-Quran, tetapi riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi SAW.
Hewan Darat
Adapun hewan yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan secara eksplisit al-an'am (unta, sapi, dan kambing), dan mengharamkan secara tegas babi . Namun ini bukan berarti bahwa selainnya semua halal atau haram .
Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang pengecualian dari makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan itu.
Imam Malik misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut, karena berpegang kepada surat Al-An'am (6): 145,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah ayat 173.
Imam Syafi'i --misalnya-- berpegang kepada sekian banyak hadis Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.
Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena ia rijs (kotor).
Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran) baik lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah. Di sinilah antara lain fungsi Rasul SAW sebagai penjelas kitab suci Al-Quran. Surat Al-A'raf : 157 melukiskan Nabi Muhammad SAW antara lain sebagai:
Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan mengharamkan yang khabits (buruk).
Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadis-hadis Nabi yang mengharamkan makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadis yang mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang memiliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di air, dan sebagainya.
Di samping itu, Al-Quran seperti terbaca pada ayat yang lalu, mengharamkan:
Memakan sembelihan yang disembelih selain atas nama Allah, atau dalam bahasa ayat lain:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ
Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An'am : 121).
Dari sini, lahir pembahasan panjang lebar --yang dapat ditemukan dalam buku-buku fiqih-- tentang syarat-syarat "penyembelihan" yang harus dipenuhi bagi kehalalan memakan binatang-binatang darat. Secara umum syarat tersebut berkaitan dengan (a) penyembelih, (b) cara dan tujuan penyembelihan, (c) anggota tubuh binatang yang harus disembelih, (d) alat penyembelihan.
Al-Quran secara eksplisit berbicara tentang butir a dan b di atas, dan mengisyaratkan tentang c dan d.
Dari surat Al-Ma-idah (5): 5 yang menegaskan bahwa,
لْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
Dari ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelih haruslah dilakukan oleh seorang yang beragama Islam, atau Ahl Al-Kitab (Yahudi/Nasrani).
Baca juga: Sumpah Nabi Sulaiman yang Tidak Dikabulkan Allah Ta'ala
Memang timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang siapa yang dimaksud dengan Ahl Al-Kitab, dan apakah umat Yahudi dan Nasrani masa kini, masih wajar disebut sebagai Ahl Al-Kitab. Dan apakah selain dari mereka, seperti penganut agama Budha dan Hindu, dapat dimasukkan ke dalamnya atau tidak?
Betapapun, mayoritas ulama menilai bahwa hingga kini penganut agama Yahudi dan Kristen masih wajar menyandang gelar tersebut, dan dengan demikian penyembelihan mereka masih tetap halal, jika memenuhi syarat-syarat yang lain. Salah satu syarat yang telah dikemukakan di atas adalah tidak menyembelih binatang atas nama selain Allah.
Dalam konteks ini, sekali lagi kita menemukan rincian dan perbedaan penafsiran para ulama, menyangkut wajib tidaknya menyebut nama Allah ketika menyembelih, dan bagaimana dengan Ahl Al-Kitab masa kini. Al-Quran menyatakan,
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ
Maka makanlah binatang-binatang yang halal yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatnya. Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menjelaskan kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu… (QS Al-An'am :118-119).
Apakah ayat ini berbicara tentang keharusan menyebut nama Allah ketika menyembelih atau tidak? Ibnu Taimiyah dan riwayat yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad berpendapat demikian. Pendapatnya ini didukung oleh adanya ayat yang melarang memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah serta menilainya sebagai kefasikan:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Dan janganlah kamu makan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya ang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An'am : 121).
Pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, pada hakikatnya sama dengan pendapat di atas, hanya saja mereka memberi kelonggaran sehingga menurut mereka, kalau seseorang lupa membaca nama Allah, maka hal itu dapat ditoleransi.
Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa tidak disyaratkan menyebut nama Allah ketika menyembelih. Alasannya antara lain:
1 . Ayat yang membolehkan memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, sementara mereka pada umumnya tidak menyebut nama Allah dalam penyembelihan, namun demikian dihalalkan untuk kita, ini menunjukkan bahwa perintah menyebut nama Allah pada ayat-ayat yang disebut sebelum ini hanya anjuran bukan kewajiban. Atau, dengan kata lain, penyebutan nama Allah bukan syarat sahnya penyembelihan.
2. Hadis Rasul SAW, yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui istri Nabi Aisyah r.a., bahwa sejumlah orang bertanya kepada Nabi SAW tentang daging yang mereka tidak ketahui apakah dibacakan nama Allah ketika penyembelihannya atau tidak, Nabi
menjawab,
Hendaklah kalian membaca nama Allah, lalu makanlah. Ketika itu para penanya, menurut Aisyah , baru saja melepaskan kekufuran mereka (masuk Islam) (Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud dan An-Nasa'i melalui isteri Nabi SAW, Aisyah).
Ada lagi beberapa hadis lain yang sejalan dengan ini, namun secara objektif kita dapat berkata bahwa tuntunan di atas mengundang kita untuk menyatakan perlunya membaca nama Allah ketika menyembelih, walaupun tidak harus dengan bismillah, tetapi cukup dengan menyebut salah satu nama-Nya sebagaimana pendapat mazhab Maliki dan Abu Hanifah.
Walaupun mazhab Syafi'i membolehkan penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, atau selama tidak disembelih atas nama selain Allah, dan membolehkan pula penyembelihan Ahl Al-Kitab, bahkan Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha menilai halal sembelihan penganut agama Budha, namun itu bukan serta merta menjadikan segala macam sembelihan mereka menjadi halal. Karena masih ada syarat lain yaitu "cara menyembelih", yang masalahnya diisyaratkan oleh Al-Quran dengan menyebut beberapa cara yang tidak direstuinya, seperti:
Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas --kecuali yang segera disembelih sebelum berhembus nyawanya, serta yang disembelih atas nama berhala (QS Al-Ma-idah [5]: 3).
( )
Perlu dicatat bahwa penyembelihan yang dilakukan sementara orang ketika membangun bangunan kemudian menanam kepala binatang yang disembelih itu dengan tuduan menghindari "gangguan makhluk halus" merupakan salah satu bentuk dari penyembelihan atas nama berhala. (Bersambung)
Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan Allah, Al-Quran surat Al-Nahl :14 menegaskan:
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Bahkan, menurutQuraish Shihab, hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai) tetap dibolehkan berdasarkan surat Al-Ma-idah : 96:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.
( )
"Buruan laut" maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat, dan sebagainya, baik dari laut, sungai, danau, kolam, dan lain-lain. Sedang kata "makanan yang berasal dari laut" adalah ikan dan semacamnya yang diperoleh dengan mudah karena telah mati sehingga mengapung. Makna ini dipahami dan sejalan dengan penjelasan Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari , Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu Hurairah yang menyatakan tentang laut:
Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya
Ini menurut banyak ulama sejalan juga dengan firman Allah dalam surat Al-Ma-idah:96 tersebut.
Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di darat dan di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan para ulama, apalagi ia bukan datang dari Al-Quran, tetapi riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi SAW.
Hewan Darat
Adapun hewan yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan secara eksplisit al-an'am (unta, sapi, dan kambing), dan mengharamkan secara tegas babi . Namun ini bukan berarti bahwa selainnya semua halal atau haram .
Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang pengecualian dari makanan yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat ulama tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan itu.
Imam Malik misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut, karena berpegang kepada surat Al-An'am (6): 145,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang turun sesudah ayat ini yang juga memberi pembatasan serupa seperti surat Al-Baqarah ayat 173.
Imam Syafi'i --misalnya-- berpegang kepada sekian banyak hadis Nabi yang dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat tersebut. Karena walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hashr (pembatasan atau pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.
Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas adalah karena ia rijs (kotor).
Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran) baik lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan oleh babi, namun dapat diambil kesimpulan bahwa segala macam binatang yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan Allah. Di sinilah antara lain fungsi Rasul SAW sebagai penjelas kitab suci Al-Quran. Surat Al-A'raf : 157 melukiskan Nabi Muhammad SAW antara lain sebagai:
Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan mengharamkan yang khabits (buruk).
Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadis-hadis Nabi yang mengharamkan makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi pembatasan di atas. Misalnya hadis yang mengharamkan semua binatang yang bertaring (buas), burung yang memiliki cakar (buas), binatang yang hidup di darat dan di air, dan sebagainya.
Di samping itu, Al-Quran seperti terbaca pada ayat yang lalu, mengharamkan:
Memakan sembelihan yang disembelih selain atas nama Allah, atau dalam bahasa ayat lain:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ
Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena yang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An'am : 121).
Dari sini, lahir pembahasan panjang lebar --yang dapat ditemukan dalam buku-buku fiqih-- tentang syarat-syarat "penyembelihan" yang harus dipenuhi bagi kehalalan memakan binatang-binatang darat. Secara umum syarat tersebut berkaitan dengan (a) penyembelih, (b) cara dan tujuan penyembelihan, (c) anggota tubuh binatang yang harus disembelih, (d) alat penyembelihan.
Al-Quran secara eksplisit berbicara tentang butir a dan b di atas, dan mengisyaratkan tentang c dan d.
Dari surat Al-Ma-idah (5): 5 yang menegaskan bahwa,
لْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
Dari ayat ini, para ulama menyimpulkan bahwa penyembelih haruslah dilakukan oleh seorang yang beragama Islam, atau Ahl Al-Kitab (Yahudi/Nasrani).
Baca juga: Sumpah Nabi Sulaiman yang Tidak Dikabulkan Allah Ta'ala
Memang timbul perselisihan pendapat di kalangan ulama tentang siapa yang dimaksud dengan Ahl Al-Kitab, dan apakah umat Yahudi dan Nasrani masa kini, masih wajar disebut sebagai Ahl Al-Kitab. Dan apakah selain dari mereka, seperti penganut agama Budha dan Hindu, dapat dimasukkan ke dalamnya atau tidak?
Betapapun, mayoritas ulama menilai bahwa hingga kini penganut agama Yahudi dan Kristen masih wajar menyandang gelar tersebut, dan dengan demikian penyembelihan mereka masih tetap halal, jika memenuhi syarat-syarat yang lain. Salah satu syarat yang telah dikemukakan di atas adalah tidak menyembelih binatang atas nama selain Allah.
Dalam konteks ini, sekali lagi kita menemukan rincian dan perbedaan penafsiran para ulama, menyangkut wajib tidaknya menyebut nama Allah ketika menyembelih, dan bagaimana dengan Ahl Al-Kitab masa kini. Al-Quran menyatakan,
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ
Maka makanlah binatang-binatang yang halal yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayatnya. Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menjelaskan kepada kamu apa-apa yang diharamkan-Nya atas kamu… (QS Al-An'am :118-119).
Apakah ayat ini berbicara tentang keharusan menyebut nama Allah ketika menyembelih atau tidak? Ibnu Taimiyah dan riwayat yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad berpendapat demikian. Pendapatnya ini didukung oleh adanya ayat yang melarang memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah serta menilainya sebagai kefasikan:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Dan janganlah kamu makan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya ang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An'am : 121).
Pendapat mazhab Maliki dan Hanafi, pada hakikatnya sama dengan pendapat di atas, hanya saja mereka memberi kelonggaran sehingga menurut mereka, kalau seseorang lupa membaca nama Allah, maka hal itu dapat ditoleransi.
Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa tidak disyaratkan menyebut nama Allah ketika menyembelih. Alasannya antara lain:
1 . Ayat yang membolehkan memakan sembelihan Ahl Al-Kitab, sementara mereka pada umumnya tidak menyebut nama Allah dalam penyembelihan, namun demikian dihalalkan untuk kita, ini menunjukkan bahwa perintah menyebut nama Allah pada ayat-ayat yang disebut sebelum ini hanya anjuran bukan kewajiban. Atau, dengan kata lain, penyebutan nama Allah bukan syarat sahnya penyembelihan.
2. Hadis Rasul SAW, yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui istri Nabi Aisyah r.a., bahwa sejumlah orang bertanya kepada Nabi SAW tentang daging yang mereka tidak ketahui apakah dibacakan nama Allah ketika penyembelihannya atau tidak, Nabi
menjawab,
Hendaklah kalian membaca nama Allah, lalu makanlah. Ketika itu para penanya, menurut Aisyah , baru saja melepaskan kekufuran mereka (masuk Islam) (Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Daud dan An-Nasa'i melalui isteri Nabi SAW, Aisyah).
Ada lagi beberapa hadis lain yang sejalan dengan ini, namun secara objektif kita dapat berkata bahwa tuntunan di atas mengundang kita untuk menyatakan perlunya membaca nama Allah ketika menyembelih, walaupun tidak harus dengan bismillah, tetapi cukup dengan menyebut salah satu nama-Nya sebagaimana pendapat mazhab Maliki dan Abu Hanifah.
Walaupun mazhab Syafi'i membolehkan penyembelihan tanpa menyebut nama Allah, atau selama tidak disembelih atas nama selain Allah, dan membolehkan pula penyembelihan Ahl Al-Kitab, bahkan Syaikh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha menilai halal sembelihan penganut agama Budha, namun itu bukan serta merta menjadikan segala macam sembelihan mereka menjadi halal. Karena masih ada syarat lain yaitu "cara menyembelih", yang masalahnya diisyaratkan oleh Al-Quran dengan menyebut beberapa cara yang tidak direstuinya, seperti:
Yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas --kecuali yang segera disembelih sebelum berhembus nyawanya, serta yang disembelih atas nama berhala (QS Al-Ma-idah [5]: 3).
( )
Perlu dicatat bahwa penyembelihan yang dilakukan sementara orang ketika membangun bangunan kemudian menanam kepala binatang yang disembelih itu dengan tuduan menghindari "gangguan makhluk halus" merupakan salah satu bentuk dari penyembelihan atas nama berhala. (Bersambung)
(mhy)