Kasus Khalid tentang Laila, Membaca Sikap Umar dengan Khalifah Abu Bakar
Selasa, 18 Agustus 2020 - 16:43 WIB
USAHA Mutammam bin Nuwairah tidak pula kurang dari usaha Abu Qatadah sejak ia tiba di Madinah . la menuntut diat (uang tebusan) atas kematian Malik itu kepada Khalifah Abu Bakar , yang kemudian dipenuhinya. (
)
Selanjutnya ia membicarakan masalah tawanan perang. Khalifah Abu Bakar menulis surat supaya tawanan itu dikembalikan. Mutammam masih tinggal agak lama di Madinah, sampai sesudah ekspedisi Yamamah .
Muhammad Husain Haekal dalam As-Siddiq Abu Bakr menyebut Umar bin Khattab menaruh simpati kepadanya karena pendiriannya mengenai Khalid bin Walid yang begitu gigih. Dalam pada itu Mutammam banyak membuat elegi — sajak-sajak meratapi kematian saudaranya itu — yang dinilai termasuk karya sastra Arab bermutu. ( )
Mengenai hubungan Mutammam dengan Umar disebutkan, bahwa ketika pada suatu pagi Umar bin Khattab usai salat subuh, ia melihat ada seorang laki-laki pendek dan bermata sebelah sedang bertelekan pada sebuah busur dengan memegang sebatang gada (tongkat besar). ( )
Setelah ditanya barulah tahu dia bahwa orang itu Mutammam bin Nuwairah. Dimintanya ia membacakan sajaknya tentang saudaranya itu. Mutammam membacakan salah satu puisinya sampai pada kata-kata:
Kami seperti menyesali Jazimah selama bertahun-tahun,
Sehingga dikatakan tak akan pernah bercerai;
Setelah kami berpisah, aku dan Malik,
Karena lama berkumpul, seolah tak pernah bermalam bersama.
"Sungguh ini suatu kenangan mengharukan," kata Umar. "Kalau aku pandai bersajak aku akan meratapi saudaraku Zaid seperti simpatimu untuk saudaramu ini."
"Tetapi kalau saudaraku mati seperti kematian saudaramu, aku tak akan meratapinya," kata Mutammam.
Zaid gugur di Yamamah sebagai syahid di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Mendengar jawaban Mutammam itu Umar berkata lagi: "Tak pernah ada orang menghibur hatiku seperti yang dilakukan oleh Mutammam ini."
Beda Abu Bakar dengan Umar
Begitulah perbedaan pendapat antara Abu Bakar dengan Umar mengenai apa yang terjadi sekitar Malik bin Nuwairah itu. Sudah tentu kedua tokoh ini menghendaki yang terbaik untuk Islam dan kaum Muslimin. ( )
Lalu, adakah perselisihan mereka itu disebabkan oleh perbedaan dalam menilai apa yang sudah dilakukan Khalid, atau karena perbedaan kebijakan yang harus berlaku dalam situasi yang begitu genting dalam sejarah kaum Muslimin serta situasi pembangkangan (riddah) dan adanya pemberontakan di kawasan Semenanjung Arab itu?
Mengenai perbedaan ini, Haekal mengatakan, “Menurut hemat saya adalah perbedaan kebijakan yang mesti terjadi dalam situasi semacam ini. Perbedaan itu sesuai dengan watak mereka masing-masing.” ( )
Umar, adalah contoh keadilan yang sangat ketat. la melihat Khalid telah berlaku tak adil terhadap seorang Muslim lalu mengawini istrinya sebelum habis masa idahnya. Tak boleh ia tetap memimpin angkatan bersenjata, agar yang serupa itu tak terulang lagi. Yang demikian ini akan merusak keadaan umat Islam, dan akan meninggalkan citra yang buruk sekali di mata orang-orang Arab. Atas perbuatannya terhadap Laila tak boleh dibiarkan tanpa mendapat hukuman. ( )
Andaikata benar bahwa ia sudah membuat pertimbangan mengenai Malik itu tapi salah — dan ini tak dapat diterima oleh Umar — maka apa yang telah diperbuatnya terhadap istrinya sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman kepadanya. Bukan alasan bahwa karena dia Saifullah, bahwa karena dia panglima yang telah memberikan kemenangan gemilang.
Sekiranya alasan semacam ini dibenarkan tentu Khalid dan yang semacamnya akan dibolehkan melakukan segala pelanggaran, dan niscaya ini pulalah contoh yang buruk sekali diberikan kaum Muslimin dalam menghormati Qur'an. Itulah sebabnya Umar tak henti-hentinya mengingatkan Khalifah Abu Bakar dan terus mendesak supaya Khalid dipanggil dan diberi teguran keras atas perbuatannya itu.( )
Selanjutnya ia membicarakan masalah tawanan perang. Khalifah Abu Bakar menulis surat supaya tawanan itu dikembalikan. Mutammam masih tinggal agak lama di Madinah, sampai sesudah ekspedisi Yamamah .
Muhammad Husain Haekal dalam As-Siddiq Abu Bakr menyebut Umar bin Khattab menaruh simpati kepadanya karena pendiriannya mengenai Khalid bin Walid yang begitu gigih. Dalam pada itu Mutammam banyak membuat elegi — sajak-sajak meratapi kematian saudaranya itu — yang dinilai termasuk karya sastra Arab bermutu. ( )
Mengenai hubungan Mutammam dengan Umar disebutkan, bahwa ketika pada suatu pagi Umar bin Khattab usai salat subuh, ia melihat ada seorang laki-laki pendek dan bermata sebelah sedang bertelekan pada sebuah busur dengan memegang sebatang gada (tongkat besar). ( )
Setelah ditanya barulah tahu dia bahwa orang itu Mutammam bin Nuwairah. Dimintanya ia membacakan sajaknya tentang saudaranya itu. Mutammam membacakan salah satu puisinya sampai pada kata-kata:
Kami seperti menyesali Jazimah selama bertahun-tahun,
Sehingga dikatakan tak akan pernah bercerai;
Setelah kami berpisah, aku dan Malik,
Karena lama berkumpul, seolah tak pernah bermalam bersama.
"Sungguh ini suatu kenangan mengharukan," kata Umar. "Kalau aku pandai bersajak aku akan meratapi saudaraku Zaid seperti simpatimu untuk saudaramu ini."
"Tetapi kalau saudaraku mati seperti kematian saudaramu, aku tak akan meratapinya," kata Mutammam.
Zaid gugur di Yamamah sebagai syahid di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Mendengar jawaban Mutammam itu Umar berkata lagi: "Tak pernah ada orang menghibur hatiku seperti yang dilakukan oleh Mutammam ini."
Beda Abu Bakar dengan Umar
Begitulah perbedaan pendapat antara Abu Bakar dengan Umar mengenai apa yang terjadi sekitar Malik bin Nuwairah itu. Sudah tentu kedua tokoh ini menghendaki yang terbaik untuk Islam dan kaum Muslimin. ( )
Lalu, adakah perselisihan mereka itu disebabkan oleh perbedaan dalam menilai apa yang sudah dilakukan Khalid, atau karena perbedaan kebijakan yang harus berlaku dalam situasi yang begitu genting dalam sejarah kaum Muslimin serta situasi pembangkangan (riddah) dan adanya pemberontakan di kawasan Semenanjung Arab itu?
Mengenai perbedaan ini, Haekal mengatakan, “Menurut hemat saya adalah perbedaan kebijakan yang mesti terjadi dalam situasi semacam ini. Perbedaan itu sesuai dengan watak mereka masing-masing.” ( )
Umar, adalah contoh keadilan yang sangat ketat. la melihat Khalid telah berlaku tak adil terhadap seorang Muslim lalu mengawini istrinya sebelum habis masa idahnya. Tak boleh ia tetap memimpin angkatan bersenjata, agar yang serupa itu tak terulang lagi. Yang demikian ini akan merusak keadaan umat Islam, dan akan meninggalkan citra yang buruk sekali di mata orang-orang Arab. Atas perbuatannya terhadap Laila tak boleh dibiarkan tanpa mendapat hukuman. ( )
Andaikata benar bahwa ia sudah membuat pertimbangan mengenai Malik itu tapi salah — dan ini tak dapat diterima oleh Umar — maka apa yang telah diperbuatnya terhadap istrinya sudah cukup untuk menjatuhkan hukuman kepadanya. Bukan alasan bahwa karena dia Saifullah, bahwa karena dia panglima yang telah memberikan kemenangan gemilang.
Sekiranya alasan semacam ini dibenarkan tentu Khalid dan yang semacamnya akan dibolehkan melakukan segala pelanggaran, dan niscaya ini pulalah contoh yang buruk sekali diberikan kaum Muslimin dalam menghormati Qur'an. Itulah sebabnya Umar tak henti-hentinya mengingatkan Khalifah Abu Bakar dan terus mendesak supaya Khalid dipanggil dan diberi teguran keras atas perbuatannya itu.( )