Syaikh Al-Qardhawi Kupas Pernyataan Rasyid Ridha tentang Hal-Hal Berikut Ini

Senin, 19 Desember 2022 - 18:03 WIB
sebagai urusan dunia, sementara oleh yang lain dianggapnya sebagai urusan agama dan syara' yang wajib dipatuhi.

Ada pula sebab terpenting yang memicu terjadinya perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan memahami nash, yaitu perbedaan antara madrasah "azh-Zhawahir" dan madrasah "al-Maqashid," yakni lembaga pendidikan yang berpegang pada zhahir nash dan terikat dengan bunyi teks dalam memahaminya, serta lembaga pendidikan yang mementingkan kandungan nash, jiwa, dan maksud/tujuannya. Begitu pentingnya maka sehingga kadang-kadang ia keluar dari zhahir dan harfiyah nash, demi mewujudkan apa yang dipandangnya sebagai maksud dan tujuan nash.

Kedua madrasah (lembaga pendidikan) ini senantiasa ada di dalam kehidupan dalam segala urusan. Bahkan dalam hukum atau undang-undang wadh'iyyah (buatan manusia) juga kita dapati para pemberi penjelasan berbeda pendapat antara yang satu dan yang lain. Ada yang menekankan bunyi teks dan ada yang menitikberatkan pada kandungannya, atau antara pihak yang mempersempit dan memperluas.

Islam - sebagai agama waqi'i (realistis) - memberi kelapangan kepada kedua madrasah itu dan tidak menganggap salah satunya keluar dari Islam, meskipun Madrasah "al-Maqashid" itulah menurut pendapat kami yang mengungkapkan hakikat Islam, dengan syarat tidak mengabaikan nash-nash juz'iyyah secara keseluruhan.



Dalam sunnah Rasul SAW sendiri terdapat sesuatu yang mendukung diterimanya perbedaan pendapat semacam ini dalam suatu peristiwa yang terkenal, yaitu peristiwa shalat asar di Bani Quraizhah, setelah usai perang Ahzab.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda pada hari perang Ahzab: "Jangan sekali-kali seseorang melakukan sholat asar kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah."

Sebagian mereka mendapatkan waktu ashar ditengah perjalanan. Lalu mereka berkata, "Kami tidak akan sholat asar kecuali setelah kami datang di Bani Quraizhah." Dan sebagian lagi berkata, "Kami akan melakukan sholat asar, karena bukan itu yang dimaksudkan Rasulullah SAW terhadap kita." Kemudian peristiwa itu dilaporkan kepada Rasulullah SAW, maka beliau tidak mencela salah satunya."

Al-Allamah Ibnul Qayyim berkata di dalam kitabnya Zadul Ma'ad sebagai berikut:

"Para fuqaha berbeda pendapat: manakah yang benar. Satu golongan mengatakan, 'Orang yang mengakhirkan (menunda) sholatnya itulah yang benar. Seandainya kami bersama mereka, niscaya kami juga mengakhirkannya sebagaimana yang mereka lakukan, dan tidaklah kami melakukan sholat kecuali di kampung Bani Quraizhah demi melaksanakan perintahnya (Rasul), dan meninggalkan takwil yang bertentangan dengan zhahir.'

Golongan lain berkata, 'Bahkan orang-orang yang melakukan sholat di tengah perjalanan pada waktunya itulah yang mendapatkan keunggulan. Mereka berbahagia mendapatkan tiga keutamaan sekaligus, yakni bersegera melaksanakan perintah Rasul untuk keluar, bersegera mendapatkan keridhaan Allah dengan melakukan shalat pada waktunya, dan bersegera menjumpai kaum yang dituju.'

Dengan demikian, mereka memperoleh keutamaan jihad, keutamaan sholat pada waktunya, mengerti apa yang dikehendaki, dan mereka lebih pandai daripada yang lain.

Apalagi sholatnya itu adalah shalat asar yang merupakan shalat wustha berdasarkan nash Rasulullah saw. yang sahih dan sharih (jelas). Nash seperti itu tidak dapat ditolak dan disangkal lagi.

Ia merupakan sunnah yang datang menyuruh manusia untuk memeliharanya, bersegera kepadanya, dan melaksanakan pada awal waktunya.

Barangsiapa meninggalkannya, ia akan rugi seperti ia kehilangan anak istrinya (keluarganya) dan hartanya.

Jadi, hal ini merupakan perintah yang tidak diterapkan pada amalan lain.



Adapun orang-orang yang mengakhirkannya, mungkin saja dimaafkan atau diberi satu pahala karena berpegang teguh pada zhahir nash dan bermaksud mejalankan perintah. Namun, tidak bisa dikatakan mereka benar dan orang yang bersegera melakukan shalat serta jihad itu salah.

Mereka yang melaksanakan shalat di tengah jalan, berarti telah menghimpun antara beberapa dalil dan mendapatkan dua keutamaan. Kalau mereka mendapatkan dua pahala, maka yang lain pun mendapatkan pahala. Mudah-mudahan Allah meridhai mereka."

Maksud dari semua penjelasan itu ialah: bahwa orang yang menentang kita dalam masalah yang ada nashnya (yang qath'i tsubut dan dilalah-nya), maka ia tidak boleh kita tolerir sama sekali. Sebab, masalah-masalah qath'iyyah (yang didasarkan pada dalil-dalil qath' tsubut dan dilalah-nya) bukanlah lapangan ijtihad, karena sesungguhnya lapangan ijtihad hanyalah dalam masalah-masalah zhanniyyah (yang didasarkan pada dalil zhanni).
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari 'Urwah bahwa Aisyah telah mengabarkan kepadanya bahwa dalam shalatnya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sering berdoa: ALLAHUMMA INNI 'AUUDZUBIKA MIN 'ADZAABIL QABRI WA A'UUDZUBIKA MIN FITNATIL MASIIHID DAJJAL WA A'UUDZUBIKA MIN FITNATIL MAHYA WAL MAMAATI, ALLAHUMMA INNI A'UUDZUBIKA MINAL MA'TSMI WAL MAGHRAMI (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, aku berlindung dari fitnah Dajjal, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian, ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan dosa dan lilitan hutang). Maka seseorang bertanya kepada beliau, Alangkah seringnya anda memohon perlindungan diri dari lilitan hutang. Beliau bersabda: Sesungguhnya apabila seseorang sudah sering berhutang, maka dia akan berbicara dan berbohong, dan apabila berjanji, maka dia akan mengingkari.

(HR. Sunan Abu Dawud No. 746)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More