Syaikh Al-Qardhawi Kupas Pernyataan Rasyid Ridha tentang Hal-Hal Berikut Ini

Senin, 19 Desember 2022 - 18:03 WIB
Kembali ke Quran dan Hadis

Saudara penanya berkata, "Bagaimana kita bersikap toleran kepada orang yang menentang kita, yang nyata-nyata menyelisihi nash Al-Qur'an atau hadits Nabawi, sedangkan Allah berfirman:

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (QS As-Sunnah)." (QS an-Nisa': 59)

Menurut saya (Qardhawi), saudara penanya ini tidak mengetahui suatu perkara yang penting, yaitu bahwa nash-nash itu mempunyai perbedaan besar dilihat dari segi tsubut (periwayatan) dan dilalah (petunjuk)-nya, yaitu ada yang qath'i dan ada yang zhanni.

Di antara nash-nash itu ada yang qath'i tsubut seperti Al-Qur'an al-Karim dan hadits-hadits mutawatir yang sedikit jumlahnya itu. Sebagian ulama menambahkannya dengan hadits-hadits Shahihain yang telah diterima umat Islam dan disambut oleh generasi yang berbeda-beda sehingga melahirkan ilmu yang meyakinkan.

Tetapi sebagian ulama lagi menentangnya, dan masing-masing mempunyai alasan:

Di samping itu, ada nash yang zhanni tsubut. Misalnya, hadits-hadits umumnya, baik yang sahih maupun hasan yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunan, musnad, mu'jam, dan mushannaf yang bermacam-macam.

Pada taraf zhanniyyah ini derajat hadits itu bermacam-macam. Ada yang sahih, hasan, shahih lidzatihi dan hasan lidzatihi, serta ada pula yang shahih lighairihi dan hasan lighairihi, sesuai dengan sikap imam-imam dalam mensyaratkan penerimaan dan pentashihan suatu hadits, ditinjau dari segi sanad atau matan, atau keduanya. Karena itu, ada orang yang menerima hadits mursal dan menjadikannya hujjah, ada yang menerimanya dengan syarat-syarat tertentu, dan ada yang menolaknya secara mutlak.

Kadang-kadang ada yang menganggap seorang rawi itu dapat dipercaya, tetapi yang lain menganggapnya dhaif. Ada pula yang menentukan beberapa syarat khusus dalam tema-tema tertentu yang dianggap memerlukan banyak jalan periwayatannya, sehingga ia tidak menganggap cukup bila hanya diriwayatkan oleh satu orang. Hal ini menyebabkan sebagian imam menerima sebagian hadits dan melahirkan beberapa hukum daripadanya, sedangkan imam yang lain menolaknya karena dianggapnya tidak sah dan tidak memenuhi syarat sebagai hadits sahih. Atau ada alasan lain yang lebih kuat yang menentangnya, seperti praktek-praktek yang bertentangan dengannya.



Masalah di atas banyak contohnya dan sudah diketahui oleh orang-orang yang mengkaji hadits-hadits ahkam, fiqih muqaran (perbandingan), dan flqih mazhabi. Mereka menulisnya dalam kitab-kitab mereka yang disertai dengan dalil-dalil untuk memperkuat mazhabnya dan menolak mazhab/orang yang bertentangan dengannya.

Sebagaimana perbedaan nash dari segi tsubut-nya, maka perbedaan nash dari segi dilalah lebih banyak lagi.

Di antara nash-nash itu ada yang qath'i dilalahnya atas hukum, yang tidak rnengandung kemungkinan lain dalam memahami dan menafsirkannya. Contohnya, dilalah nash yang memerintahkan shalat, zakat, puasa, serta haji (yang menunjukkan wajibnya); dilalah nash yang melarang zina, riba, minum khamar, dan lain-lainnya (yang menunjukkan keharamannya), dan dilalah nash-nash al-Qur'an dalam pembagian waris. Tetapi nash yang qath'i dilalahnya ini jumlahnya sedikit sekali.

Kemudian ada pula nash-nash yang zhanni dilalahnya, yakni mengandung banyak kemungkinan pengertian dalam memahami dan menafsirkannya.

Karena itu, ada sebagian ulama yang memahami suatu nash sebagai 'aam (umum), sedangkan yang lain menganggapnya makhsus (khusus). Yang sebagian menganggapnya mutlak, yang lain muqayyad. Yang sebagian menganggapnya hakiki, yang lain majazi. Yang sebagian menganggapnya mahkam (diberlakukan hukumnya), yang lain mansukh. Yang sebagian menganggapnya wajib, yang lain tidak lebih dari mustahab. Atau yang sebagian menganggap nash itu menunjukkan hukum haram, yang lain tidak lebih dari makruh.

Tujuh Pendapat

Adapun kaidah-kaidah ushuliyyah yang kadang-kadang oleh sebagian orang dikira sudah mencukupi untuk menjadi tempat kembalinya segala persoalan, hingga setiap perbedaan dapat diselesaikan dan setiap perselisihan dapat diputuskan, ternyata dari beberapa segi masih diperselisihkan. Ada yang menetapkannya, ada yang menafikannya, dan ada yang memilih di antara yang mutlak dan muqayyad.

Misalnya saja dilalah amr (petunjuk perintah). Apakah sighat amr (perintah) itu menunjukkan wajib? Atau mustahab? Atau boleh jadi wajib dan boleh jadi mustahab? Atau tidak menunjukkan suatu hukum pun kecuali jika disertai dengan qarinah (indikasi) tertentu? Atau apakah hukum perintah dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah itu berbeda?

Kurang lebih, ada tujuh pendapat mengenai dilalah amr yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih, yang masing-masing mempunyai dalil dan argumentasi.

Misalnya mengenai hadits: "Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot." (HR Bukhari)
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id bahwa keduanya pernah menyaksikan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Tidaklah ada suatu kaum duduk sambil berdzikir kepada Allah, kecuali para Malaikat akan mengelilingi mereka, dan akan diselubungi rahmat, akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), dan Allah akan menyebut-nyebut orang-orang yang ada disisi-Nya.

(HR. Sunan Ibnu Majah No. 3781)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More