Konsep Istihsan, Istishlah, dan Mashlahat Al-Ammah Menurut KH Ali Yafie
loading...
A
A
A
Profesor Kiai Haji Ali Yafie (wafat: 25 Februari 2023) berpendapat dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa sunnah).
Dengan demikian, kata Kiai Ali Yafie, sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an , Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
Istihsan
Pada saat-saat awal terbentuknya pemikiran hukum Islam yang metodis (ilmu fiqh), dikenal adanya dua kubu pengembangan pemikiran hukum Islam; yaitu kubu Irak dan kubu Hijaz. Tokoh utama kubu Irak ialah Imam Abu Hanifah, dan tokoh utama kubu Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para ulama pendukung kubu Irak dikenal sebagai ahl al-ra'y, dan para ulama pendukung kubu Hijaz dikenal sebagai ahl al-hadits.
Berikut selengkapnya tulisan Kiai Ali Yafie:
Ahl al-ra'y sesuai dengan situasi lingkungannya, dalam pengembangan pemikiran hukumnya (metoda ijtihadnya) volume penggunaan rasio lebih besar dari volume penggunaan hadit (sebagai salah satu sumber syari'ah).
Ini tidak berarti, mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau sama sekali tidak menggunakan sumber hukum itu. Tapi penggunaannya sangat terbatas.
Di pihak lain kita dapat mengamati, ahl al-hadits sesuai dengan situasi lingkungannya, mereka dalam pengembangan pemikiran hukum (metode ijtihadnya) volume penggunaan sumber hukum hadits lebih besar dari volume penggunaan sumber rasio (dalam hal ini qias).
Ini tidak berarti mereka menolak penggunaan sumber rasio itu. Kedua kubu tersebut mengakui keabsahan sumber hukum qias.
Ahl al-ra'y yang volume penggunaan rasionya lebih besar, ternyata tidak saja menggunakan qias yang merupakan bentuk penggunaan rasio dengan cara analogis ilmiah ketat, tapi mereka juga menggunakan analogi yang longgar dan lebih luas. Dalam hubungan inilah lahir konsep Istihsan.
Istilah "Istihsan" sebagai technische-term banyak beredar di kalangan tokoh-tokoh (ulama) dari aliran pemikiran hukum (mazhab) Hanafiyah. Mereka menggunakannya secara tersendiri atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka sering mengatakan, hukum dalam masalah ini bersumber dari Istihsan.
Dengan kata lain mereka mengatakan, dalam masalah ini, menurut qias hukumnya begini, dan menurut Istihsan hukumnya begini. Kita menggunakan qias dalam masalah ini, atau kita menggunakan istihsan dalam masalah ini.
Sepanjang penelitian guru besar ilmu-ilmu Syari'ah pada Fakultas Hukum Universitas Kairo, Syekh Muhammad Zakariya al-Bardisi, mereka yang menggunakan Istihsan sebagai sumber hukum tidak mempunyai kesepakatan atas suatu definisi tentang Istihsan itu, bahkan kita menemukan dari mereka beberapa definisi yang kontradiktif, di antaranya adalah:
Istihsan itu, ialah peralihan dari hasil sesuatu qias kepada qias yang lain yang lebih kuat. Menurut al-Bardisi definisi ini tidak mencakup (ghair jami'), karena tidak dapat menampung Istihsan yang ditegakkan di luar landasan qias, seperti Istihsan yang ditegakkan di atas landasan nas, atau ijma' atau dharurah.
Definisi yang lain, menyebutkan Istihsan itu suatu qias yang lebih dalam (khafi), tidak segera dapat ditangkap, dibandingkan dengan qias yang jelas (jali).
Definisi ini menurutnya, bukan saja tidak mencakup, tapi apa yang dia maksud dengan qias di sini tidak begitu jelas, apakah itu qias dalam arti technische-term, atau dalam arti yang mencakup qias yang lebih luas yang dikaitkan dengan suatu ketentuan umum atau suatu kaidah-kaidah hukum yang baku.
Sebagian lagi memberikan definisi, istihsan itu ialah semua ketentuan syar'i (baik yang bersifat nash, atau ijma', atau dharurah, atau qias yang lebih dalam) dibandingkan dengan qias yang jelas. Definisi ini pun belum mencakup, karena ada juga istihsan yang ditegakkan atas landasan 'urf atau mashlahah
Secara harfiah Istihsan itu berarti menganggap baik akan sesuatu baik itu fisik maupun nilai. Kata ini kemudian digunakan sebagai suatu technische-term yang membentuk pengertian baru menggambarkan suatu konsep penalaran dalam rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum dari sumber syari'ah yang tersurat, atau sumber hukum yang dipersamakan dengan itu, yakni kesepakatan para ahli yang berwenang (ahl al-ijtihad) di kalangan umat Islam.
Dalam analogi qias, dibutuhkan adanya suatu ketentuan pokok yang bersifat terinci (tafshili) untuk dijadikan landasan mengaitkan sesuatu yang ada persamaannya, dalam hal tujuan dan sasaran ditetapkannya ketentuan tersebut. Dalam bahasa tekniknya harus ada ashl dan harus ada 'illah, untuk menghasilkan suatu hukum bagi kejadian baru.
Dari uraian ini dapat ditangkap, ada empat elemen dari analogi qias itu, yakni ketentuan pokok (ashl), landasan penyamaan ('illah), kejadian baru (far), ketentuan yang dihasilkan dari pengaitan (ilhaq) tersebut di atas dan inilah yang disebut hukum qias.
Sebagian ahl al-ijtihad menganggap qias ini merupakan upaya final dalam penggalian dan penemuan hukum-hukum dari sumber syari'ah atau sumber yang dipersamakan (ijma'), tapi sebagian yang lain beranggapan, masih ada upaya penalaran yang lain seperti Istihsan dan istislah dan seterusnya.
Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi qias karena dimungkinkan adanya qias alternatif (qias kahfi) yang terlepas dari elemen 'illah (dalam analogi qias biasa), atas pertimbangan sesuatu alasan yang lebih kuat. Alasan itulah menjadikan qias jali (biasa) dialihkan kepada qias khafi (alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan. Termasuk pula dalam kategori Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari suatu ketentuan pokok yang bersifat umum, atau dari suatu kaidah hukum, karena pengecualian itu didukung oleh suatu nash, atau ijma', atau 'urf atau dharurah, atau mashlahah.
Dengan kata lain pertimbangan adanya ketentuan lain atau kesepakatan, atau kebiasaan, atau keadaan darurat atau suatu kepentingan nyata, semua itu merupakan elemen-elemen dalam
hukum Istihsan.
Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, Istihsan ini ditempatkan sebagai sumber hukum sekunder, di kalangan penganut aliran pemikiran hukum (madzhab) Hanafiyah. Kemudian berkembang pula secara terbatas dalam aliran Malikiyah dan Hambaliyah, sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda.
Yang dicatat sebagai seorang tokoh yang menolak menempatkan Istihsan itu sebagai suatu sumber hukum sekunder, adalah Imam Syafi'i, karena beliau berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi atas ketentuan-ketentuan syari'ah (al-Qur'an dan Sunnah) ditambah dengan analogi qias, sudah cukup, untuk menampung segala perkembangan yang terjadi, yang perlu ditata dalam hukum Islam.
Istishlah
Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan mashlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu sumber hukum sekunder. Karenanya juga konsep ini lebih dikenal dengan sebutan, al-mashlah al-mursalah atau al-mashalih al-mursalah.
Konsep penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran pemikiran hukum Islam (madzhab) Malikiyah. Tapi dapat kita catat, pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di kalangan sahabat dan tabi'in. Dan ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam al-Ghazali dari aliran Syafi'iyah dengan beberapa penyempurnaan. Tapi perlu dicatat, konsep ini ditolak oleh aliran Zhahiriyyah dan Syi'ah.
Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini ialah, kenyataan bahwa, syari'ah Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah kepada terwujudnya mashlahah (apa yang menjadi kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya di permukaan bumi). Maka tidak dituntut untuk dilakukan manusia untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak dicegah melakukan sesuatu, kecuali hal-hal yang pada galibnya membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan mashlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak) adalah sesuatu yang sangat nyata dibutuhkan setiap orang dan jelas dalam syari'ah yang diturunkan Allah kepada semua rasul-Nya. Dan itulah sasaran utama dari hukum Islam.
Dalam kajian para ahl-ijtihad ada tiga jenis mashlahah, yaitu:
1. Mashlahah yang diakui ajaran syari'ah, yang terdiri dari tiga tingkat kebutuhan manusia, yaitu:
a. Dharuriyyah (bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga dan kehormatannya) akal pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan keagamaannya. Kelima tersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar mashlahah (kepentingan dan kebutuhan manusia).
a. Hajiyyah (kebutuhan pokok) untuk menghindarkan kesulitan dan kemelaratan dalam kehidupannya.
b. Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun dan tata krama dalam kehidupan.
2. Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari'ah, yaitu kepentingan yang bertentangan dengan maslahah yang diakui terutama pada tingkat pertama.
3. Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua.
Penempatan masalah ini sebagai suatu sumber hukum sekunder, menjadikan hukum Islam itu luwes dan dapat diterapkan pada setiap kurun waktu di segala lingkungan sosial. Namun perlu dicatat ruang lingkup penerapan hukum mashlahah ini adalah bidang mu'amalat, dan tidak menjangkau bidang ibadat, karena ibadat itu adalah hak prerogatif Allah sendiri.
Para ahli yang mendukung konsep penalaran ini mencatat tiga persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
1. Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau kemelaratan).
2. Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau segolongan kecil masyarakat, tapi harus bersifat umum dan menjadi kebutuhan umum.
3. Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan oleh nash syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma').
Al-Mashlahah al-Ammah
Hukum Islam mengenal mashlahah 'ainiyah (kepentingan perorang) dari setiap manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-kulliyyat al-khams.
Hal-hal ini terkait dengan taklif yang berbentuk fardhu 'ain. Seperti misalnya yang menyangkut mashlahah harta benda/kepentingan seorang manusia memiliki harta benda (untuk makan, pakaian dan tempat tinggalnya) hal ini bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam tuntunan Rasulullah saw (thalab-u 'l-halal faridhatun 'ala kulli muslim) yaitu kewajiban bekerja mencari rizki memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Seterusnya yang menyangkut mashlahah akal pikiran, bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam hadits lain yang berbunyi (thalb-u 'l-'ilmi faridhatun 'ala kulli muslim).
Begitu seterusnya menyangkut tiap mashlahah yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan keterkaitannya dengan kewajiban perorangan sebagai imbalan adanya pengakuan atas mashlahah dharuriyyah yang menimbulkan hak-hak mutlak perorangan bagi setiap manusia.
Di samping mashlahah tersebut di atas, hukum Islam juga mengenal mashlahah 'ammah yang menjadi kepentingan bersama masyarakat atau kepentingan umum (algemeen blang). Ini menyangkut hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.
Imam Rafi'i menjelaskan, fardhu kifayah itu adalah urusan umum yang menyangkut kepentingan-kepentingan (mashalih) tegaknya urusan agama dan dunia dalam kehidupan kita, di antaranya adalah mencegah kemelaratan orang banyak (kaum Muslim), menciptakan lapangan kerja untuk mewujudkan mata pencaharian bagi anggota-anggota masyarakat, menegakkan kontrol sosial melalui amar ma'ruf nahi mungkar, mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui pendidikan, bimbingan keagamaan (fatwa) dan penyebaran buku-buku.
Lihat Juga: Sudah Lama Memeluk Islam tapi Jennifer Coppen Belum Bisa Baca Al-Quran: Aku Gak Ada yang Ngajarin
Dengan demikian, kata Kiai Ali Yafie, sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an , Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
Istihsan
Pada saat-saat awal terbentuknya pemikiran hukum Islam yang metodis (ilmu fiqh), dikenal adanya dua kubu pengembangan pemikiran hukum Islam; yaitu kubu Irak dan kubu Hijaz. Tokoh utama kubu Irak ialah Imam Abu Hanifah, dan tokoh utama kubu Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para ulama pendukung kubu Irak dikenal sebagai ahl al-ra'y, dan para ulama pendukung kubu Hijaz dikenal sebagai ahl al-hadits.
Berikut selengkapnya tulisan Kiai Ali Yafie:
Ahl al-ra'y sesuai dengan situasi lingkungannya, dalam pengembangan pemikiran hukumnya (metoda ijtihadnya) volume penggunaan rasio lebih besar dari volume penggunaan hadit (sebagai salah satu sumber syari'ah).
Ini tidak berarti, mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau sama sekali tidak menggunakan sumber hukum itu. Tapi penggunaannya sangat terbatas.
Di pihak lain kita dapat mengamati, ahl al-hadits sesuai dengan situasi lingkungannya, mereka dalam pengembangan pemikiran hukum (metode ijtihadnya) volume penggunaan sumber hukum hadits lebih besar dari volume penggunaan sumber rasio (dalam hal ini qias).
Ini tidak berarti mereka menolak penggunaan sumber rasio itu. Kedua kubu tersebut mengakui keabsahan sumber hukum qias.
Ahl al-ra'y yang volume penggunaan rasionya lebih besar, ternyata tidak saja menggunakan qias yang merupakan bentuk penggunaan rasio dengan cara analogis ilmiah ketat, tapi mereka juga menggunakan analogi yang longgar dan lebih luas. Dalam hubungan inilah lahir konsep Istihsan.
Istilah "Istihsan" sebagai technische-term banyak beredar di kalangan tokoh-tokoh (ulama) dari aliran pemikiran hukum (mazhab) Hanafiyah. Mereka menggunakannya secara tersendiri atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka sering mengatakan, hukum dalam masalah ini bersumber dari Istihsan.
Dengan kata lain mereka mengatakan, dalam masalah ini, menurut qias hukumnya begini, dan menurut Istihsan hukumnya begini. Kita menggunakan qias dalam masalah ini, atau kita menggunakan istihsan dalam masalah ini.
Sepanjang penelitian guru besar ilmu-ilmu Syari'ah pada Fakultas Hukum Universitas Kairo, Syekh Muhammad Zakariya al-Bardisi, mereka yang menggunakan Istihsan sebagai sumber hukum tidak mempunyai kesepakatan atas suatu definisi tentang Istihsan itu, bahkan kita menemukan dari mereka beberapa definisi yang kontradiktif, di antaranya adalah:
Istihsan itu, ialah peralihan dari hasil sesuatu qias kepada qias yang lain yang lebih kuat. Menurut al-Bardisi definisi ini tidak mencakup (ghair jami'), karena tidak dapat menampung Istihsan yang ditegakkan di luar landasan qias, seperti Istihsan yang ditegakkan di atas landasan nas, atau ijma' atau dharurah.
Definisi yang lain, menyebutkan Istihsan itu suatu qias yang lebih dalam (khafi), tidak segera dapat ditangkap, dibandingkan dengan qias yang jelas (jali).
Definisi ini menurutnya, bukan saja tidak mencakup, tapi apa yang dia maksud dengan qias di sini tidak begitu jelas, apakah itu qias dalam arti technische-term, atau dalam arti yang mencakup qias yang lebih luas yang dikaitkan dengan suatu ketentuan umum atau suatu kaidah-kaidah hukum yang baku.
Baca Juga
Sebagian lagi memberikan definisi, istihsan itu ialah semua ketentuan syar'i (baik yang bersifat nash, atau ijma', atau dharurah, atau qias yang lebih dalam) dibandingkan dengan qias yang jelas. Definisi ini pun belum mencakup, karena ada juga istihsan yang ditegakkan atas landasan 'urf atau mashlahah
Secara harfiah Istihsan itu berarti menganggap baik akan sesuatu baik itu fisik maupun nilai. Kata ini kemudian digunakan sebagai suatu technische-term yang membentuk pengertian baru menggambarkan suatu konsep penalaran dalam rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum dari sumber syari'ah yang tersurat, atau sumber hukum yang dipersamakan dengan itu, yakni kesepakatan para ahli yang berwenang (ahl al-ijtihad) di kalangan umat Islam.
Dalam analogi qias, dibutuhkan adanya suatu ketentuan pokok yang bersifat terinci (tafshili) untuk dijadikan landasan mengaitkan sesuatu yang ada persamaannya, dalam hal tujuan dan sasaran ditetapkannya ketentuan tersebut. Dalam bahasa tekniknya harus ada ashl dan harus ada 'illah, untuk menghasilkan suatu hukum bagi kejadian baru.
Dari uraian ini dapat ditangkap, ada empat elemen dari analogi qias itu, yakni ketentuan pokok (ashl), landasan penyamaan ('illah), kejadian baru (far), ketentuan yang dihasilkan dari pengaitan (ilhaq) tersebut di atas dan inilah yang disebut hukum qias.
Sebagian ahl al-ijtihad menganggap qias ini merupakan upaya final dalam penggalian dan penemuan hukum-hukum dari sumber syari'ah atau sumber yang dipersamakan (ijma'), tapi sebagian yang lain beranggapan, masih ada upaya penalaran yang lain seperti Istihsan dan istislah dan seterusnya.
Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi qias karena dimungkinkan adanya qias alternatif (qias kahfi) yang terlepas dari elemen 'illah (dalam analogi qias biasa), atas pertimbangan sesuatu alasan yang lebih kuat. Alasan itulah menjadikan qias jali (biasa) dialihkan kepada qias khafi (alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan. Termasuk pula dalam kategori Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari suatu ketentuan pokok yang bersifat umum, atau dari suatu kaidah hukum, karena pengecualian itu didukung oleh suatu nash, atau ijma', atau 'urf atau dharurah, atau mashlahah.
Dengan kata lain pertimbangan adanya ketentuan lain atau kesepakatan, atau kebiasaan, atau keadaan darurat atau suatu kepentingan nyata, semua itu merupakan elemen-elemen dalam
hukum Istihsan.
Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, Istihsan ini ditempatkan sebagai sumber hukum sekunder, di kalangan penganut aliran pemikiran hukum (madzhab) Hanafiyah. Kemudian berkembang pula secara terbatas dalam aliran Malikiyah dan Hambaliyah, sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda.
Yang dicatat sebagai seorang tokoh yang menolak menempatkan Istihsan itu sebagai suatu sumber hukum sekunder, adalah Imam Syafi'i, karena beliau berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi atas ketentuan-ketentuan syari'ah (al-Qur'an dan Sunnah) ditambah dengan analogi qias, sudah cukup, untuk menampung segala perkembangan yang terjadi, yang perlu ditata dalam hukum Islam.
Istishlah
Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan mashlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu sumber hukum sekunder. Karenanya juga konsep ini lebih dikenal dengan sebutan, al-mashlah al-mursalah atau al-mashalih al-mursalah.
Konsep penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran pemikiran hukum Islam (madzhab) Malikiyah. Tapi dapat kita catat, pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di kalangan sahabat dan tabi'in. Dan ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam al-Ghazali dari aliran Syafi'iyah dengan beberapa penyempurnaan. Tapi perlu dicatat, konsep ini ditolak oleh aliran Zhahiriyyah dan Syi'ah.
Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini ialah, kenyataan bahwa, syari'ah Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah kepada terwujudnya mashlahah (apa yang menjadi kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya di permukaan bumi). Maka tidak dituntut untuk dilakukan manusia untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak dicegah melakukan sesuatu, kecuali hal-hal yang pada galibnya membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan mashlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak) adalah sesuatu yang sangat nyata dibutuhkan setiap orang dan jelas dalam syari'ah yang diturunkan Allah kepada semua rasul-Nya. Dan itulah sasaran utama dari hukum Islam.
Dalam kajian para ahl-ijtihad ada tiga jenis mashlahah, yaitu:
1. Mashlahah yang diakui ajaran syari'ah, yang terdiri dari tiga tingkat kebutuhan manusia, yaitu:
a. Dharuriyyah (bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga dan kehormatannya) akal pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan keagamaannya. Kelima tersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar mashlahah (kepentingan dan kebutuhan manusia).
a. Hajiyyah (kebutuhan pokok) untuk menghindarkan kesulitan dan kemelaratan dalam kehidupannya.
b. Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun dan tata krama dalam kehidupan.
2. Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari'ah, yaitu kepentingan yang bertentangan dengan maslahah yang diakui terutama pada tingkat pertama.
3. Mashlahah yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua.
Penempatan masalah ini sebagai suatu sumber hukum sekunder, menjadikan hukum Islam itu luwes dan dapat diterapkan pada setiap kurun waktu di segala lingkungan sosial. Namun perlu dicatat ruang lingkup penerapan hukum mashlahah ini adalah bidang mu'amalat, dan tidak menjangkau bidang ibadat, karena ibadat itu adalah hak prerogatif Allah sendiri.
Para ahli yang mendukung konsep penalaran ini mencatat tiga persyaratan dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
1. Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan, bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya madharrah (bahaya atau kemelaratan).
2. Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau segolongan kecil masyarakat, tapi harus bersifat umum dan menjadi kebutuhan umum.
3. Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada terabaikannya sesuatu prinsip yang ditetapkan oleh nash syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan (ijma').
Al-Mashlahah al-Ammah
Hukum Islam mengenal mashlahah 'ainiyah (kepentingan perorang) dari setiap manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan kepentingan setiap manusia dalam hidupnya, seperti yang digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-kulliyyat al-khams.
Hal-hal ini terkait dengan taklif yang berbentuk fardhu 'ain. Seperti misalnya yang menyangkut mashlahah harta benda/kepentingan seorang manusia memiliki harta benda (untuk makan, pakaian dan tempat tinggalnya) hal ini bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam tuntunan Rasulullah saw (thalab-u 'l-halal faridhatun 'ala kulli muslim) yaitu kewajiban bekerja mencari rizki memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Seterusnya yang menyangkut mashlahah akal pikiran, bersangkutan dengan fardhu 'ain yang dijelaskan dalam hadits lain yang berbunyi (thalb-u 'l-'ilmi faridhatun 'ala kulli muslim).
Begitu seterusnya menyangkut tiap mashlahah yang sifatnya dharuriyyah, jelas memperlihatkan keterkaitannya dengan kewajiban perorangan sebagai imbalan adanya pengakuan atas mashlahah dharuriyyah yang menimbulkan hak-hak mutlak perorangan bagi setiap manusia.
Di samping mashlahah tersebut di atas, hukum Islam juga mengenal mashlahah 'ammah yang menjadi kepentingan bersama masyarakat atau kepentingan umum (algemeen blang). Ini menyangkut hak publik dan berkaitan dengan fardhu kifayah.
Imam Rafi'i menjelaskan, fardhu kifayah itu adalah urusan umum yang menyangkut kepentingan-kepentingan (mashalih) tegaknya urusan agama dan dunia dalam kehidupan kita, di antaranya adalah mencegah kemelaratan orang banyak (kaum Muslim), menciptakan lapangan kerja untuk mewujudkan mata pencaharian bagi anggota-anggota masyarakat, menegakkan kontrol sosial melalui amar ma'ruf nahi mungkar, mencerdaskan kehidupan masyarakat melalui pendidikan, bimbingan keagamaan (fatwa) dan penyebaran buku-buku.
Lihat Juga: Sudah Lama Memeluk Islam tapi Jennifer Coppen Belum Bisa Baca Al-Quran: Aku Gak Ada yang Ngajarin
(mhy)