Wasiat Al-Fatih kepada Putranya (2): Berperang di Jalan Allah atau Mati Syahid

Kamis, 23 Juli 2020 - 11:58 WIB
loading...
Wasiat Al-Fatih kepada Putranya (2): Berperang di Jalan Allah atau Mati Syahid
Pasukan Usmaniyah. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
SULTAN Muhammad Al-Fatih menyampaikan wasiat kepada putranya, menjelang beliau wafat. Wasiat ini melukiskan gambaran tentang jalan hidup, nilai- nilai, dan prinsip-prinsip keyakinan, serta impian-impiannya kepada pemimpin penggantinya. “Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyat tanpa perbedaan," demikian salah satu kalimat wasiat Al-Fatih itu. ( )

Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah , berpendapat Sultan Muhammad Al-Fatih telah melakukan apa yang diwasiatkan itu. Ia memiliki perhatian besar kepada rakyatnya, baik kepada kaum muslimin atau nonmuslim.

Salah satu kisah yang sangat menarik dan indah dalam masalah ini adalah, bahwa penduduk Pulau Khabus memiliki utang sebanyak 1000 Duqa kepada salah seorang pedagang dari negeri Galata, yang bernama Fransisco De Rapeyur.



Tatkala penduduk pulau di bawah Utsmani itu tak mau membayar utangnya, Sultan mengirim beberapa kapal yang dipimpin langsung oleh Hamzah Pasya untuk membantu menagih utang tersebut.

Sayangnya penduduk pulau Khabus tetap menolak membayar utang, bahkan membunuh beberapa tentara yang datang. Maka berkatalah Sultan Muhammad Al-Fatih kepada Fransisco, “Sayalah yang akan menanggung semua utang mereka terhadapmu, dan saya akan menuntut tebusan berlipat terhadap mereka atas darah tentara yang meninggal."



Kemudian Sultan memberangkatkan satu armada ke pulau itu. Dia sendiri yang memimpin pasukan ke pulau-pulau yang berdekatan dengan pulau Khabus. Pasukan tadi mampu menaklukkan pulau tersebut, tanpa melalui peperangan dan pertempuran.

Dengan segera, dua pulau lmbarus dan Samutras menyerah dan membuka pintunya untuk pasukan Utsmani. Maka terpaksa penduduk pulau Khabus membayar utang kepada pedagang asal Hungaria tadi dan membayar upeti tahunan kepada pemerintahan Utsmani sebanyak 6000 Duqa per tahun. Mereka juga harus membayar uang tebusan terhadap kapal Utsmani yang tenggelam. ( )

Di sini Sultan menunjukkan sikap pembelaannya, sekalipun kepada seorang pedagang Hungaria yang nonmuslim. Hal itu layak diterima, karena dia masuk dalam lingkungan perlindungan wilayah kekuasaan Sultan. “Dari sisi lain, Sultan sebenarnya tak akan menghukum warga pulau itu kalau mereka tidak menyerang armada laut pasukan Utsmani. Kalau menyerang, berarti menantang perang,” tutur Ash-Shalabi.

Kewajiban Raja
Wasiat Sultan berikutnya, “Bekerjalah kamu untuk menyebarkan agama Islam, sebab ini merupakan kewajiban raja-raja di muka bumi.”

Menurut Ash-Shalabi, Sultan Muhammad Al-Fatih dalam setiap peperangan, tidak melupakan dirinya sebagai seorang dai yang menyeru manusia ke jalan Islam. Dia selalu mendorong para komandan perang dan pasukannya untuk menyebarkan ajaran Islam.



Dia akan memberikan pujian terhadap setiap komandan yang mampu menaklukkan kota-kota dengan senjata mereka. Dia pernah memerintahkan komandan perangnya Umar bin Tharhan untuk memberangkan pasukan ke Athena, lalu dia mampu menguasainya, serta menjadikan wilayah itu sebagai bagian dari pemerintahan Utsmani.

Saat Sultan mengadakan lawatan ke kota itu dua tahun setelah penaklukkan, dia berkata, “Betapa besar utang Islam kepada Ibnu Tharhan."

Pemerintahan Utsmani begitu peduli terhadap penyebaran dakwah di Eropa. Seiring berlalunya waktu dan perkembangan zaman, jamaah-jamaah Islam mampu melakukan perlawanan terhadap semua bentuk usaha-usaha Nasranisasi yang dilakukan orang-orang Eropa. ( )

Kelompok minoritas muslim sampai saat ini tetap eksis di Bulgaria, Rumania, Albania, Yunani, Yugoslavia yang jumlahnya mencapai jutaan manusia. Semua ini merupakan karunia Allah dan sebagai buah dari perjuangan Khilafah Turki Utsmani menyebarkan hidayah Islam ke Eropa.

Kepentingan Agama
“Kedepankan kepentingan agama atas kepentingan apa pun yang lain. Janganlah kamu lemah dan lalai dalam menegakkan agama," begitu wasiat keempat Sultan.



Ash-Shalabi mengatakan sesungguhnya para Sultan pemerintahan Utsmani sebelum dan sesudah Sultan Muhammad Al-Fatih, mereka tumbuh dan dididik dalam suasana keislaman yang kental dan murni. Keimanan mereka dibina dengan dasar-dasar akidah yang jelas dan tegas. Berangkat dari sinilah mereka memiliki ambisi dan kehormatan agama yang sangat tinggi.

Ungkapan paling populer ketika orang-orang Utsmani mulai keluar untuk melancarkan jihad fi sabilillah ialah; “Ghazi au syahid” (berperang di jalan Allah atau mendapatkan mati syahid),



Sejak berdirinya, pemimpin Utsmani diberi gelar Al-Ghazi. Gelar ini merupakan gelar utama yang diberikan kepada sultan-sultan yang mulia, Sedangkan tujuan dari berdirinya pemerintahan Utsmani sendiri adalah untuk “membela Islam dan mengibarkan panji Islam di tengah manusia.”

Pemerintahan Utsmani direkonstruksi berdasarkan ajaran Islam . Hal ini berlaku di hadapan rakyat, Sultan, pemerintahan dan tentara, budaya dan hukum, manhaj dan rasa, tujuan dan misi. Semua ini berlangsung selama kurang lebih 700 tahun.

Perhatian para Sultan Utsmani kepada agama begitu kuat, mereka mendahulukan agama daripada hal-hal lain. Mereka berusaha komitmen dengan ajaran-ajaran Islam dan tidak menyandarkan diri kepada urusan-urusan di luar Islam, dari sisi khazanah pemikiran maupun peradaban. ( )

Sedangkan tanah air dalam pandangan mereka, adalah semua bumi yang di dalamnya orang-orang muslim berada. Sedangkan kata ”millat” dalam pandangan mereka berarti umat dan agama sekaligus. Ini menjadi tujuan pendidikan di semua sekolah, akademi-akademi, serta universitas-universitas. Nilai-nilai inilah yang sengaja diciptakan sejak masa-masa pendidikan awal mereka.



Menurut Ash-Shalabi, semua kaum muslimin mendaftarkan diri di tempat sensus di kantor-kantor Utsmani dengan menyebutkan identitas diri. Apa yang disebutkan dalam kartu identitas diri mereka, hanyalah bahwa mereka beragama Islam. Tidak pernah disebutkan bahwa mereka berasal dari Turki, Arab, Sirakus. Albania, atau Kurdi. Yang menjadi perhatian pemerintah hanyalah agama mereka. Maka dengan menyebutkan, bahwa mereka adalah seorang muslim, hal itu sudah cukup.



Pemimpin Utsmani selalu memperhatikan siapa saja yang berperang di jalan Allah, tanpa membedakan latar sejarahnya. Di antara mujahid itu ialah Abdullah Al-Baththal yang syahid dalam peperangan Ukrania di Asia Kecil pada tahun 122 H, pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Seperti disebutkan oleh Imam At-Thabari dalam Tarikh-nya: “Di dalam peperangan itu meninggal Abdullah Al-Baththal dari kalangan muslimin di tanah Romawi."

Mujahid ini dianggap sebagai pahlawan negara. Padahal kita tahu, jarak zaman antara meninggalnya Abdullah Al-Baththal yang berasal dari Arab dengan berdirinya pemerintahan Utsmani, adalah berkisar kurang lebih 700 tahun.

Ash-Shalabi menyebutkan sejarah orang-orang Utsmani syarat dengan nasab Islam, sejarah Islam, dan mujahid-mujahid Islam. (Baca juga: Sujud Syukur Dunia Islam Sambut Kemenangan Al-Fatih, Hagia Sophia Jadi Masjid )

Sesungguhnya para Sultan Utsmani digelari dengan berbagai gelar yang semua itu menunjukkan keutamaan mereka dalam mengabdi kepada agama Allah. Sehingga mereka diberi gelar dengan Sultan Al-Ghuzat, Mujahidin, Khadimul Haramain Asy-Syarifain dan Khalifatul Muslimin. (Bersambung)
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1530 seconds (0.1#10.140)