Proyek Kereta Cepat dan Awal Penghancuran Khilafah Utsmaniyah

Senin, 27 Juli 2020 - 14:22 WIB
loading...
A A A
Walaupun proyek ini membutuhkan demikian banyak arsitek asing dalam membangun jembatan dan terowongan, namun Sultan tidak akan menggunakan mereka kecuali memang sudah sangat mendesak.



Perlu diketahui, bahwa orang-orang asing itu sama sekali tidak ikut serta secara mutlak dalam proyek ini sejak dimulainya stasiun Al-Akhdhar yang berjarak 760 kilometer di selatan Damaskus hingga proyek selesai. Sebab panitia proyek tidak membutuhkan tenaga asing dan mereka diganti oleh arsitek-arsitek Mesir.

Para pekerja yang bukan pakar pada tahun 1907 M berjumlah 7500 pekeria. Sedangkan total biaya proyek ini mencapai 4.283.000 lira Utsmani.

Proyek ini selesai dalam jangka waktu yang lebih cepat dan biaya yang lebih rendah dibanding jika dikerjakan oleh perusahaan asing di wilayah Utsmani.

Baca juga
: Ini Dia Tokoh yang Ubah Hagia Sophia dari Masjid Menjadi Museum

Dirusak
Pada bulan Agustus tahun 1908 M, rel kereta itu telah sampai ke Madinah Al-Munawwarah. Seharusnya rel itu sampai ke Makkah, namun pekerjaan itu terhenti, sebab penguasa Makkah, Husein bin Ali, sangat khawatir pemerintahan Utsmani akan mengancam kekuasaanya di Hijaz. Maka dia segera bangkit melakukan upaya untuk mencegah pekerjaan pembangunan rel kereta itu ke Makkah yang merupakan tempat dia berkuasa. Maka jadilah akhir rel itu hanya sampai di Madinah.

Hingga tatkala terjadi Perang Dunia 1, Inggris membangun koalisi dengan kekuatan Arab yang dipimpin oleh Faishal bin Al-Husein bin Ali untuk menghancurkan rel kereta Hijaz ini. Sehingga rel itu tidak bisa dipergunakan.



Duta besar Inggris yang ada di Konstantinopel dalam laporan tahunannya pada tahun 1907 M, menyatakan tentang pentingnya rel kereta Hijaz ini.

Dia berkata, “Sesungguhnya di antara kejadian pada sepuluh tahun terakhir ada suatu sikap politik yang sangat menonjol. Yang paling penting adalah rencana Sultan Abdul Hamid yang demikian cemerlang, di mana dia mampu menampilkan dirinya sebagai khalifah di depan 300 juta kaum muslimin. Seorang khalifah yang menjadi pemimpin ruhani kaum muslimin. Dia mampu menampakkan bukti pada mereka, tentang komitmen, spirit, serta semangat keagamaannya dengan cara membangun rel kereta api Hijaz yang akan menjadi jalan utama dalam waktu tidak lama lagi, bagi kaum muslimin yang akan menunaikan ibadah haji ke tempat-tempat suci di Makkah dan Madinah.



Tidak heran, jika kita dapatkan Inggris merasa tercekik dengan rencana Sultan yang keras ini. Dan mereka berusaha dengan segala upaya untuk mencegah jangan sampai hal ini terjadi. Mereka akan mencari momen yang tepat untuk menggagalkan rencana besar ini, untuk memotong jalan kekuatan-kekuatan Utsmani”.

Menurut Ash-Shalabi, kereta pertama yang sampai ke stasiun Madinah dari Damaskus di Syam terjadi pada tanggal 22 Agustus tahun 1908 M. Peristiwa ini bagi jutaan kaum muslimin di seantero dunia, dianggap sebagai realisasi dari mimpi panjang. Perjalanan kereta itu hanya memakan waktu selama tiga hari dengan menempuh jarak sekitar 814 kilometer.



Padahal sebelumnya perjalanan dari Damaskus ke Madinah harus ditempuh dalam jangka waktu lima minggu. Pada saat itu, hati orang-orang yang demikian merindukan untuk menunaikan ibadah haji yang suci demikian gembira dengan peristiwa yang sangat bersejarah ini.

Politik Islam Sultan Abdul Hamid demikian rapi dan terjaga. Dia menginginkan untuk menyatukan hati kaum muslimin berada bersamanya dalam posisinya sebagai khalifah kaum muslimin secara keseluruhan. Maka dibangunnya rel kereta antara Syam dan Hijaz ini, merupakan salah satu sarana yang demikian indah untuk merealisasikan tujuan itu.



Ash-Shalabi menyatakan Sultan Abdul Hamid sangat memperhatikan rel-rel kereta di semua wilayah pemerintahan Utsmani. Pembangunan ini memiliki tiga tujuan pokok:

Pertama, menghubungkan antara wilayah-wilayah Utsmani yang saling berjauhan sehingga akan sangat membantu untuk menebarkan pemikiran kesatuan pemerintahan Utsmani dan pemikiran Pan-lslamisme, serta agar mampu mengontrol semua wilayah yang membutuhkan pengawasan ketat dari pemerintah.

Kedua, memaksa wilayah-wilayah itu untuk masuk ke dalam naungan pemerintahan Ustmani, serta taat pada hukum dan undang-undang militer yang mewajibkan setiap wilayah untuk ikut serta membela pemerintahan khilafah dengan cara memberikan bayaran berupa harta dan mengirimkan pasukan.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1605 seconds (0.1#10.140)