Ijab dan Kabul Pernikahan Menggunakan Kalimat Allah, Begini Penjelasannya

Jum'at, 05 Juli 2024 - 14:54 WIB
loading...
Ijab dan Kabul Pernikahan...
Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah perkawinan. Ilustrasi: Ist
A A A
Prof Quraish Shihab mengatakan ijab dan kabul pernikahan pada hakikatnya adalah ikrar dari calon istri, melalui walinya, dan dari calon suami untuk hidup bersama seia sekata, guna mewujudkan keluarga sakinah , dengan melaksanakan segala tuntunan dari kewajiban.

Dalam bukunya berjudul "Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Penerbit Mizan, 1996), Quraish menjelaskan ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat berarti: atau paling tidak "mewujudkan suatu kewajiban" yakni berusaha sekuat kemampuan untuk membangun satu rumah tangga sakinah. Penyerahan disambut dengan qabul (penerimaan) dari calon suami.

Menurut Quraish, untuk menguatkan ikrar, maka serah terima itu dalam pandangan Imam Syafi'i tidak sah kecuali jika menggunakan apa yang diistilahkan oleh Nabi SAW dengan Kalimat Allah, yaitu dengan sabdanya: " Hubungan seks kalian menjadi halal atas dasar kalimat Allah."



Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua lafaz (kata) nikah dan zawaj (kawin) yang digunakan Al-Quran. Imam Malik membolehkan juga kata "memberi" sebagai terjemahan dari kata wahabat.

Ulama-ulama ini tidak menilai sah lafaz ijab dan kabul yang mengandung "kepemilikan", "penganugerahan", dan sebagainya, karena kata-kata tersebut tidak digunakan Al-Quran sekaligus tidak mencerminkan hakikat hubungan suami istri yang dikehendaki oleh-Nya.

Hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan satu pihak atas pihak lain, bukan juga penyerahan diri seseorang kepada suami, karena itu sungguh tepat pandangan yang tidak menyetujui lafaz mahabat (penganugerahan) digunakan dalam akad pernikahan.

Hubungan tersebut adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti pasangan.

Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini memberi kesan bahwa suami sendiri belum lengkap, istri pun demikian. Persis seperti rel kereta api, bila hanya satu re1 saja kereta tak dapat berjalan, atau katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga, bila hanya sebelah maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.

Quraish mengatakan mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut dilukiskan oleh Al-Quran dengan menggunakan kata "menikah" yang pengertian kebahasaannya seperti dikemukakan pada pendahuluan adalah "menghimpun".



Bahwa Al-Quran menggunakan kata wahabat khusus kepada Nabi SAW adalah merupakan satu hal yang wajar, karena siapa pun dari umatnya wajar untuk melebur keinginannya demi kepentingan Nabi Muhammad SAW.

"Demi Allah, kalian tidak beriman (secara sempurna) sampai patuh keinginan hati kalian terhadap apa yang kusampaikan." Demikian sabda Nabi SAW dalam kesempatan yang lain Nabi
bersabda:

"Salah seorang di antara kamu tidak beriman, sehingga dia mencintai aku lebih dari cintanya terhadap orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik).

Makna ini sejalan dengan firman Allah: Nabi (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari pada diri mereka sendiri." ( QS Al-Ahzab [33] : 6).

Itulah Kalimat Allah dalam hal sahnya perkawinan; kalimat itu sendiri menurut Al-Quran:

"Te1ah sempurna sebagai kalimat yang benar dan adil, dan tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya" ( QS Al-An'am [6] : 115).

"Dia penuh kebajikan" ( QS Al-A'raf [7] : 137), lagi "Dan kalimat Allah itulah yang Mahatinggi" ( QS Al-Tawbah [9) : 40). Dengan kalimat itulah Allah menganugerahkan kepada Nabi Zakaria yang telah berusia lanjut, lagi istrinya mandul, "seorang anak bernama Yahya yang menjadi panutan, pandai menjaga diri, serta menjadi Nabi" ( QS Ali 'Imran [3] : 39). Dengan kalimat itu Allah menciptakan Isa a.s. tanpa ayah, dan diakuinya sebagai "seorang terkemuka di dunia dan di akherat, serta termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah" (QS Ali 'Imran [3]: 45).



Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang sifatnya demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa suci peristiwa yang sedang mereka alami.

Dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan kehidupan rumah tangga mereka dinaungi oleh makna-makna kalimat itu: kebenaran, keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan dikaruniai anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2817 seconds (0.1#10.140)