Anggota Pasukan Infantri Itu Ternyata Seorang Filsuf

Senin, 15 Juni 2020 - 15:36 WIB
loading...
A A A
Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak beroleh atau mengalami hal yang baru lagi. Perubahan atau hal baru apakah lagi setelah maut?

Pada suatu ketika ia keluar bersama rombongan tentara yang sewaktu-waktu dapat dikepung oleh musuh. Komandan mengeluarkan perintah agar tidak seorang pun mengembalakan hewan tunggangannya.



Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui larangan tersebut hingga melanggarnya dan sebagai akibatnya ia menerima hukuman yang rupanya lebih besar daripada yang seharusnya, atau mungkin tidak usah sama sekali.

Miqdad lewat di depan prajurit yang menerima hukuman itu. Prahurit itu sedang menangis berteriak-teriak. Ketika ditanya, ia mengisahkan apa yang telah terjadi. Miqdad meraih tangan orang itu, dibawanya ke hadapan amir atau komandan, lalu dibicarakan dengannya keadaan bawahannya itu hingga akhirnya tersingkaplah kesalahan dan kekeliruan amir itu. Maka kata Miqdad kepadanya: "Sekarang suruhlah ia membalas keterlanjuran Anda dan berilah ia kesempatan untuk melakukan qishas!"

Baca Juga: Kisah Mush'ab bin 'Umair, Sahabat Nabi yang Dicintai
Sang amir tunduk dan bersedia, hanya si terhukum berlapang dada dan memberinya ma'af. Penciuman Miqdad yang tajam mengenai pentingnya suasana, dan keagungan Agama yang telah memberikan kepada mereka kebesaran ini hingga seakan-akan berdendang: "biar saya mati asalkan Islam tetap jaya..!"

Memang, itulah yang menjadi cita-citanya, yaitu kejayaan Islam walau harus dibalas dengan nyawa sekalipun. Dan dengan keteguhan hati yang mena'jubkan ia berjuang bersama kawan-kawannya untuk mewujudkan cita-cita tersebut, hingga selayaknyalah ia beroleh kehormatan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menerima ucapan berikut: "Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa ia mencintaimu".



Pandangan Miqdad
Salah seorang sahabat dan teman sejawatnya bercerita:

"Pada suatu hari kami pergi duduk-luduk ke dekat Miqdad. Tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki, dan katanya kepada Miqdad: Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. Demi Allah, Andainya kami dapat melihat apa yang Anda lihat, dan menyaksikan apa yang Anda saksikan!"

Miqdad pergi_menghampirinya katanya: "Apa yang mendorong kalian untuk ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat menyaksikannya?

Demi Allah, bukankah di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya ke neraka jahanam.



Kenapa kalian tidak mengucapkan pujian kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian !"

Tidak seorangpun yang beriman kepada Allah, dan Rasul-Nya yang Anda temui, kecuali ia menginginkan dapat hidup di masa Rasulullah dan beroleh kesempatan untuk melihatnya. Tetapi penglihatan Miqdad yang tajam dan dalam, dapat menembus barang ghaib yang tidak terjangkau di balik cita-cita dan keinginan itu.

Bukankah tidak mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa-masa tersebut akan menjadi salah seorang penduduk neraka? Bukankah tidak mustahil ia akan jatuh kafir bersama orang-orang kafir lainnya?

Baca Juga: :Pesan Nabi, Teladanilah Dua Orang Ini Sepeninggalku

Maka tidakkah ia lebih baik memuji Allah yang telah menghidupkannya di masa-masa telah tercapainya kemantapan bagi Islam, hingga ia dapat menganutnya secara mudah dan bersih?

Demikianlah pandangan Miqdad, memancarkan hikmah dan filsafat dan seperti demikian pula pada setiap tindakan, pengalaman dan ucapannya. Ia adalah seorang filosof dan pemikir ulung.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3640 seconds (0.1#10.140)