Anggota Pasukan Infantri Itu Ternyata Seorang Filsuf
loading...
A
A
A
SUATU hari menjelang Perang Badar . Umat Islam yang telah hijrah ke Madinah mendapat informasi bahwa kaum kafir Quraisy akan menyerang mereka. Kala itu jumlah umat Islam masih sedikit. Maka Rasulullah SAW pun mengumpulkan kaum Muhajirin dan Anshar untuk membicarakan masalah tersebut.
Salah satu sahabat Nabi , Miqdad ibnul Aswad hadir dalam pertemuan itu. Dia membaca situasi memang gawat. Jika benar akan terjadi perang, maka itu akan menjadi perang perdana. Kekuatan jelas tidak seimbang. Selain jumlahnya yang masih sedikit, persenjataan dan pengalaman perang kaum muslimin terbilang minim.
Hanya saja, Miqdad yakin Allah akan memberi kemenangan kepada umat Islam. Miqdad berpikir, Rasulullah tampaknya sedang menguji komitmen umat Islam, terutama kaum Anshar. ( )
Di tengah keraguan pada kaum muslimin itu, Miqdad ingin menunjukkan kepada Rasulullah bahwa umat Islam kompak dan solid, siap sahid di medan Badar. Miqdad hanya khawatir saja kalau ada di antara kaum muslimin yang terlalu berhati-hati terhadap perang. Dari itu sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kalimat-kalimat yang tegas dapat menyalakan semangat perjuangan dan turut mengambil bagian dalam membentuk pendapat umum. ( )
Tetapi sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu Bakar Shiddiq telah mulai bicara, dan baik sekali buah pembicaraannya itu, hingga hati Miqdad menjadi tenteram karenanya setelah itu Umar bin Khatthab menyusul bicara, dan buah pembicaraannya juga baik. ( ).
Setelah itu tampillah Miqdad. "Ya, Rasulullah,” ujarnya. “Teruslah laksanakan apa yang dititahtan Allah, dan kami akan bersama Anda. Demi, Allah, kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa : ‘Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sedang kami akan duduk menunggu di sini’. Tetapi kami akan mengatakan kepada Anda: ‘Pergilah Anda bersama Tuhan Anda dan berperanglah, sementara kami ikut berjuang di samping Anda!” katanya berapi-api.
“Demi yang telah mengutus Anda membawa kebenaran!” lanjutnya. “Seandainya Anda membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersama Anda dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kiri Anda, di bagian depan dan di bagian belakang Anda, sampai Allah memberi Anda kemenangan!”
Baca juga: Islam Turun di Makkah, Benarkah Karena Wilayah Itu Paling Bejat?
Kata-kata Miqdad seakan menghipnotis para hadirin. Kata-katanya itu mengalir tak ubah bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Serta dari kata-kata tegas yang dilepasnya itu mengalirlah semangat kepahlawanan dalam kumpulan yang baik dari orang-orang beriman, bahkan dengan kekuatan dan ketegasannya, kata-kata itu pun menjadi contoh teladan bagi siapa yang ingin bicara, menjadi semboyan dalam perjuangan.
Wajah Rasulullah pun berseri-seri karenanya. Mulut beliau komat-kamit mengucapkan do'a yang baik untuk Miqdad.
Kalimat-kalimat yang diucapkan Miqdad mencapai sasarannya di hati orang-orang mukmin. Lalu Nabi Muhammad SAW berkata kepada kaum Anshar: "Apa yang harus saya lakukan?"
Sa'ad bin Muadz pemimpin kaum Anshar pun bangkit berdiri. "Wahai Rasulullah,” ujarnya dengan suara lantang. “Sungguh, kami telah beriman kepadaNya dan membenarkan Anda, dan kami saksikan bahwa apa yang Anda bawa itu adalah benar, serta untuk itu kami telah ikatkan janji dan padukan kesetiaan kami. Maka majulah wahai Rasulullah laksana apa yang Anda kehendaki, dan kami akan selalu bersama Anda,” lanjutnya.
Sa’ad berhenti sejenak lalu menarik nafas dalam-dalam. Ia menatap tajam kea rah Rasulullah dan berkata, “Dan demi yang telah mengutus Anda membawa kebenaran, sekiranya Anda membawa kami menerjuni dan mangarungi lautan ini, akan kami terjuni dan arungi. Tidak seorang pun di antara kami yang akan berpaling dan tidak seorang pun yang akan mundur untuk menghadapi musuh!”
Suara Sa’ad ikut membakar semangan kaum muslimin. “Sungguh, kami akan tabah dalam peperangan, teguh dalam menghadapi musuh dan moga-moga Allah akan memperlihatkan kepada Anda perbuatan kami yang berkenan di hati Anda ...! Nah, kerahkanlah kami dengan berkat dari Allah!" ujar Sa’ad disambut senyum Rasulullah.
"Berangkatlah dan besarkanlah hati kalian," ujar Rasulullah kepada para sahabat itu.
Maka Miqdad pun tampil gagah di atas kuda tunggangannya. Kala itu anggota pasukan Islam yang berkuda jumlahnya tidak tebih dari tiga orang. Selain Miqdad, ada Martsad bin Abi Martsad dan Zubair bin Awwam. Sementara pejuang-pejuang lainnya terdiri atas pasukan pejalan kaki, atau pengendara-pengendara unta.
)
Dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Syu'bah dan Abu Ishaq, dari Haritsah bin Mudharrib, dari Ali ra yang berkata, "Tidak ada seorang pun dari kami dalam perang Badar yang menjadi infantry (pasukan berkuda) kecuali Miqdad".
Kalangan sahabat menyebut Miqdad adalah orang yang cerdas. Apa yang dikemukakan dalam musyawarah menjelang Perang Badar itu menggambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan logikanya yang tepat dan pemikirannya yang dalam.
la dikenal sebagai seorang-filosof dan ahli fikir. Hikmat dan filsafatnya tidak saja terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh, tulus, dan lurus sementara pengalaman-pengalamannya menjadi sumber bagi pemikiran dan penunjang bagi filsafat itu.
Penakluk An-Nadhr
Jasa besar Al-Miqdad dalam Perang Badar adalah menangkap An-Nadhr bin Harist. Ia adalah gembong kafir kaum Quraisy yang sangat jahat, licik, dan penuh tipu daya yang selalu mengganggu pada awal dakwah Nabi di Makkah.
Pengetahuan si kafir ini lumayan luas. Maklumlah, ia berniaga hingga sering bepergian ke berbagai wilayah Romawi, Persia dan sekitarnya, dan ia bertemu banyak orang cerdik-pandai. Dia juga bertemu banyak tradisi dan budaya dari berbagai suku dan bangsa. Oleh karenanya, ia sangat berbangga diri dan merasa paling unggul di antara Suku-Suku di Makkah.
Lantaran kecerdasannya itu, para pembesar suku Quraisy meminta An-Nadhr untuk menghentikan pengaruh Nabi Muhammad. An-Nadhr melakukan upaya-upaya serius menggagalkan dakwah Rasulullah.
Baca Juga: :Khalifah Umar Pecat Khalid bin Walid demi Selamatkan Tauhid Umat
Di hadapan khalayak ramai, ia selalu ingin menjatuhkan kredibilitas Rasulullah. Gerakannya yang cukup populer adalah ia menantang Nabi dengan minta diazab;
“Wahai Muhammmad, jika yang kamu dakwahkan itu benar, maka mintalah Tuhanmu untuk mengazabku, turunkanlah hujan batu!” tantangnya setelah beberapa kali gagal mempengaruhi dakwah Nabi.
Ini adalah strategi dari An-Nadhr; bila ia baik-baik saja dan hujan batu tidak juga turun, maka berarti Rasulullah berdusta.
Allah ta’ala mengabadikan omongan An-Nadhr ini untuk dijadikan pelajaran oleh Umat Islam.
وَإِذْ قَالُوا۟ ٱللَّهُمَّ إِن كَانَ هَٰذَا هُوَ ٱلْحَقَّ مِنْ عِندِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ ٱلسَّمَآءِ أَوِ ٱئْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih" (QS Al-Anfaal: 32).
Allah ta’ala tidak langsung menurunkan azab kepadanya. Allah membuatkan untuknya sebuah “skenario”, dimana ia akan dihinakan dan bertingkah memalukan terus-menerus. Hingga akhirnya, skenario Allah ta’ala akan Perang Badar menjadi kuburan bagi musuh-musuh Rasulullah, termasuk di dalamnya An-Nadhr.
Kisah An-Nadhr berakhir di tangan Al-Miqdad. Sahabat Nabi yang tak kalah jago dalam pikiran-pikiran filsafatnya. ( )
Anak Angkat
Ketika membicarakan Miqdad, para sahabat dan teman sejawatnya berkata: "Orang yang pertama memacu kudanya dalam perang sabil ialah Miqdad ibnul Aswad".
Pada awalnya Miqdad dikenal sebagai ibnul Aswad. Ini ada ceritanya. Miqdad berasal dari suku Arab, Bahra bagian dari Banu Qudha'ah atau berasal dari Hadramaut Yaman. Dia melarikan diri dari sukunya setelah melukai seseorang dan mengungsi di Makkah.
Di tempat kelahiran Rasulullah itu Miqdad menjadi milik seorang pria bernama al-Aswad Al Kindi. Aswad Alkindi tidak punya anak, jadi suatu hari ia berdiri di antara semua suku Quraisy dan berkata "saya menyatakan bahwa mulai hari ini Miqdad sebagai anak saya, dan namanya sekarang Miqdad bin Alaswad Alkindi setelah aku mati ia akan mewarisi aku".
Sejak saat itu orang-orang mulai memanggilnya Miqdad bin Aswad al-Kindi, bukan Miqdad bin Amr. Ini adalah cara orang Arab menunjukkan cinta mereka terhadap seseorang.
Miqdad menjadi muslim ketika usianya 24 tahun. Dia bertemu dengan Nabi Muhammad SAW secara diam-diam. Ketika Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk berhijarah ke Madinah, Miqdad pun ikut hijrah.
Setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak angkat dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kandungnya, maka naman Miqdad kembali dihubungkan dengan nama ayahnya yaitu Amr bin Sa'ad.
دْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Ahzab : 5)
Miqdad termasuk dalam rombongan orang-orang yang mula pertama masuk Islam, dan orang ketujuh yang menyatakan keislamannya secara terbuka dengan terus terang, dan menanggungkan penderitaan dari amarah murka dan kekejaman Quraisy yang dihadapinya dengan kejantanan para ksatria dan keperwiraan kaum Hawari!
Perjuangannya di medan Perang Badar menjadi tugu peringatan yang selalu semarak takkan pudar. Perjuangan yang mengantarkannya kepada suatu kedudukan puncak, yang dicita dan diangan-angankan oleh seseorang untuk menjadi miliknya
Berkatalah Abdullah bin Mas'ud yakni seorang sahabat Rasulullah: "Saya telah menyaksikan perjuangan Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi sahabatnya daripada segala isi bumi ini…”
Menolak Menjadi Amir
Miqdad bukanlah orang yang haus kekuasaan. Suatu kala ia diangkat oleh Rasulullah sebagai amir atau gubernur di suatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya: "Bagaimanakah pendapatmu menjadi amir?"
Maka dengan penuh kejujuran dijawabnya: "Engkau telah menjadikan daku menganggap diri di atas semua manusia sedang mereka semua di bawahku. Demi yang telah mengutus Engkau membawa kebenaran, semenjak saat ini saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya.”
Seorang laki-laki yang tak hendak tertipu oleh dirinya, tak hendak terpedaya oleh
kelemahannya. (
)
Dipegangnya jabatan sebagai amir, hingga dirinya diliputi oleh kemegahan dan puji-pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi amir lagi setelah pengalaman pahit itu.
Miqdad menepati janji akan sumpahnya itu. Semenjak itu ia tak pernah mau menerima jabatan amir.
Miqdad selalu mendendangkan Hadis yang didengarnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam, yakni : "Orang yang berbahagia , ialah orang yang dijauhkan dari fitnah!"
Oleh karena jabatan sebagai amir (pemimpin) itu dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan fitnah bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya, ialah menjauhinya. (Baca juga: Membakar Masjid Kaum Munafik, Matinya Abdullah Bin Ubay )
Hati-Hati
Di antara madhhar atau manifestasi filsafatnya ialah tidak tergesa-gesa dan sangat hati-hati menjatuhkan putusan atas seseorang. Dan ini juga dipelajarinya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam yang telah menyampaikan kepada ummatnya: "bahwa hati manusia lebih cepat berputarnya daripada isi periuk di kala menggelegak "
Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak beroleh atau mengalami hal yang baru lagi. Perubahan atau hal baru apakah lagi setelah maut?
Pada suatu ketika ia keluar bersama rombongan tentara yang sewaktu-waktu dapat dikepung oleh musuh. Komandan mengeluarkan perintah agar tidak seorang pun mengembalakan hewan tunggangannya.
Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui larangan tersebut hingga melanggarnya dan sebagai akibatnya ia menerima hukuman yang rupanya lebih besar daripada yang seharusnya, atau mungkin tidak usah sama sekali.
Miqdad lewat di depan prajurit yang menerima hukuman itu. Prahurit itu sedang menangis berteriak-teriak. Ketika ditanya, ia mengisahkan apa yang telah terjadi. Miqdad meraih tangan orang itu, dibawanya ke hadapan amir atau komandan, lalu dibicarakan dengannya keadaan bawahannya itu hingga akhirnya tersingkaplah kesalahan dan kekeliruan amir itu. Maka kata Miqdad kepadanya: "Sekarang suruhlah ia membalas keterlanjuran Anda dan berilah ia kesempatan untuk melakukan qishas!"
Baca Juga: Kisah Mush'ab bin 'Umair, Sahabat Nabi yang Dicintai
Sang amir tunduk dan bersedia, hanya si terhukum berlapang dada dan memberinya ma'af. Penciuman Miqdad yang tajam mengenai pentingnya suasana, dan keagungan Agama yang telah memberikan kepada mereka kebesaran ini hingga seakan-akan berdendang: "biar saya mati asalkan Islam tetap jaya..!"
Memang, itulah yang menjadi cita-citanya, yaitu kejayaan Islam walau harus dibalas dengan nyawa sekalipun. Dan dengan keteguhan hati yang mena'jubkan ia berjuang bersama kawan-kawannya untuk mewujudkan cita-cita tersebut, hingga selayaknyalah ia beroleh kehormatan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menerima ucapan berikut: "Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa ia mencintaimu".
Pandangan Miqdad
Salah seorang sahabat dan teman sejawatnya bercerita:
"Pada suatu hari kami pergi duduk-luduk ke dekat Miqdad. Tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki, dan katanya kepada Miqdad: Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. Demi Allah, Andainya kami dapat melihat apa yang Anda lihat, dan menyaksikan apa yang Anda saksikan!"
Miqdad pergi_menghampirinya katanya: "Apa yang mendorong kalian untuk ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat menyaksikannya?
Demi Allah, bukankah di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya ke neraka jahanam.
Kenapa kalian tidak mengucapkan pujian kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian !"
Tidak seorangpun yang beriman kepada Allah, dan Rasul-Nya yang Anda temui, kecuali ia menginginkan dapat hidup di masa Rasulullah dan beroleh kesempatan untuk melihatnya. Tetapi penglihatan Miqdad yang tajam dan dalam, dapat menembus barang ghaib yang tidak terjangkau di balik cita-cita dan keinginan itu.
Bukankah tidak mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa-masa tersebut akan menjadi salah seorang penduduk neraka? Bukankah tidak mustahil ia akan jatuh kafir bersama orang-orang kafir lainnya?
Baca Juga: :Pesan Nabi, Teladanilah Dua Orang Ini Sepeninggalku
Maka tidakkah ia lebih baik memuji Allah yang telah menghidupkannya di masa-masa telah tercapainya kemantapan bagi Islam, hingga ia dapat menganutnya secara mudah dan bersih?
Demikianlah pandangan Miqdad, memancarkan hikmah dan filsafat dan seperti demikian pula pada setiap tindakan, pengalaman dan ucapannya. Ia adalah seorang filosof dan pemikir ulung.
Kecintaan Miqdad kepada Islam tidak terkira besarnya. Dan cinta, bila ia tumbuh dan membesar serta didampingi oleh hikmat maka akan menjadikan pemiliknya manusia tinggi, yang tidak merasa puas hanya, dengan kecintaan belaka, tapi dengan menunaikan kewajiban dan memikul tanggung jawabnya. Dan Miqdad bin Amr dari tipe manusia seperti ini. ( )
Salah satu sahabat Nabi , Miqdad ibnul Aswad hadir dalam pertemuan itu. Dia membaca situasi memang gawat. Jika benar akan terjadi perang, maka itu akan menjadi perang perdana. Kekuatan jelas tidak seimbang. Selain jumlahnya yang masih sedikit, persenjataan dan pengalaman perang kaum muslimin terbilang minim.
Hanya saja, Miqdad yakin Allah akan memberi kemenangan kepada umat Islam. Miqdad berpikir, Rasulullah tampaknya sedang menguji komitmen umat Islam, terutama kaum Anshar. ( )
Di tengah keraguan pada kaum muslimin itu, Miqdad ingin menunjukkan kepada Rasulullah bahwa umat Islam kompak dan solid, siap sahid di medan Badar. Miqdad hanya khawatir saja kalau ada di antara kaum muslimin yang terlalu berhati-hati terhadap perang. Dari itu sebelum ada yang angkat bicara, Miqdad ingin mendahului mereka, agar dengan kalimat-kalimat yang tegas dapat menyalakan semangat perjuangan dan turut mengambil bagian dalam membentuk pendapat umum. ( )
Tetapi sebelum ia menggerakkan kedua bibirnya, Abu Bakar Shiddiq telah mulai bicara, dan baik sekali buah pembicaraannya itu, hingga hati Miqdad menjadi tenteram karenanya setelah itu Umar bin Khatthab menyusul bicara, dan buah pembicaraannya juga baik. ( ).
Setelah itu tampillah Miqdad. "Ya, Rasulullah,” ujarnya. “Teruslah laksanakan apa yang dititahtan Allah, dan kami akan bersama Anda. Demi, Allah, kami tidak akan berkata seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa : ‘Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah, sedang kami akan duduk menunggu di sini’. Tetapi kami akan mengatakan kepada Anda: ‘Pergilah Anda bersama Tuhan Anda dan berperanglah, sementara kami ikut berjuang di samping Anda!” katanya berapi-api.
“Demi yang telah mengutus Anda membawa kebenaran!” lanjutnya. “Seandainya Anda membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersama Anda dengan tabah hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kiri Anda, di bagian depan dan di bagian belakang Anda, sampai Allah memberi Anda kemenangan!”
Baca juga: Islam Turun di Makkah, Benarkah Karena Wilayah Itu Paling Bejat?
Kata-kata Miqdad seakan menghipnotis para hadirin. Kata-katanya itu mengalir tak ubah bagai anak panah yang lepas dari busurnya. Serta dari kata-kata tegas yang dilepasnya itu mengalirlah semangat kepahlawanan dalam kumpulan yang baik dari orang-orang beriman, bahkan dengan kekuatan dan ketegasannya, kata-kata itu pun menjadi contoh teladan bagi siapa yang ingin bicara, menjadi semboyan dalam perjuangan.
Wajah Rasulullah pun berseri-seri karenanya. Mulut beliau komat-kamit mengucapkan do'a yang baik untuk Miqdad.
Kalimat-kalimat yang diucapkan Miqdad mencapai sasarannya di hati orang-orang mukmin. Lalu Nabi Muhammad SAW berkata kepada kaum Anshar: "Apa yang harus saya lakukan?"
Sa'ad bin Muadz pemimpin kaum Anshar pun bangkit berdiri. "Wahai Rasulullah,” ujarnya dengan suara lantang. “Sungguh, kami telah beriman kepadaNya dan membenarkan Anda, dan kami saksikan bahwa apa yang Anda bawa itu adalah benar, serta untuk itu kami telah ikatkan janji dan padukan kesetiaan kami. Maka majulah wahai Rasulullah laksana apa yang Anda kehendaki, dan kami akan selalu bersama Anda,” lanjutnya.
Sa’ad berhenti sejenak lalu menarik nafas dalam-dalam. Ia menatap tajam kea rah Rasulullah dan berkata, “Dan demi yang telah mengutus Anda membawa kebenaran, sekiranya Anda membawa kami menerjuni dan mangarungi lautan ini, akan kami terjuni dan arungi. Tidak seorang pun di antara kami yang akan berpaling dan tidak seorang pun yang akan mundur untuk menghadapi musuh!”
Suara Sa’ad ikut membakar semangan kaum muslimin. “Sungguh, kami akan tabah dalam peperangan, teguh dalam menghadapi musuh dan moga-moga Allah akan memperlihatkan kepada Anda perbuatan kami yang berkenan di hati Anda ...! Nah, kerahkanlah kami dengan berkat dari Allah!" ujar Sa’ad disambut senyum Rasulullah.
"Berangkatlah dan besarkanlah hati kalian," ujar Rasulullah kepada para sahabat itu.
Maka Miqdad pun tampil gagah di atas kuda tunggangannya. Kala itu anggota pasukan Islam yang berkuda jumlahnya tidak tebih dari tiga orang. Selain Miqdad, ada Martsad bin Abi Martsad dan Zubair bin Awwam. Sementara pejuang-pejuang lainnya terdiri atas pasukan pejalan kaki, atau pengendara-pengendara unta.
)
Dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Syu'bah dan Abu Ishaq, dari Haritsah bin Mudharrib, dari Ali ra yang berkata, "Tidak ada seorang pun dari kami dalam perang Badar yang menjadi infantry (pasukan berkuda) kecuali Miqdad".
Kalangan sahabat menyebut Miqdad adalah orang yang cerdas. Apa yang dikemukakan dalam musyawarah menjelang Perang Badar itu menggambarkan keperwiraannya semata, tetapi juga melukiskan logikanya yang tepat dan pemikirannya yang dalam.
la dikenal sebagai seorang-filosof dan ahli fikir. Hikmat dan filsafatnya tidak saja terkesan pada ucapan semata, tapi terutama pada prinsip-prinsip hidup yang kukuh dan perjalanan hidup yang teguh, tulus, dan lurus sementara pengalaman-pengalamannya menjadi sumber bagi pemikiran dan penunjang bagi filsafat itu.
Penakluk An-Nadhr
Jasa besar Al-Miqdad dalam Perang Badar adalah menangkap An-Nadhr bin Harist. Ia adalah gembong kafir kaum Quraisy yang sangat jahat, licik, dan penuh tipu daya yang selalu mengganggu pada awal dakwah Nabi di Makkah.
Pengetahuan si kafir ini lumayan luas. Maklumlah, ia berniaga hingga sering bepergian ke berbagai wilayah Romawi, Persia dan sekitarnya, dan ia bertemu banyak orang cerdik-pandai. Dia juga bertemu banyak tradisi dan budaya dari berbagai suku dan bangsa. Oleh karenanya, ia sangat berbangga diri dan merasa paling unggul di antara Suku-Suku di Makkah.
Lantaran kecerdasannya itu, para pembesar suku Quraisy meminta An-Nadhr untuk menghentikan pengaruh Nabi Muhammad. An-Nadhr melakukan upaya-upaya serius menggagalkan dakwah Rasulullah.
Baca Juga: :Khalifah Umar Pecat Khalid bin Walid demi Selamatkan Tauhid Umat
Di hadapan khalayak ramai, ia selalu ingin menjatuhkan kredibilitas Rasulullah. Gerakannya yang cukup populer adalah ia menantang Nabi dengan minta diazab;
“Wahai Muhammmad, jika yang kamu dakwahkan itu benar, maka mintalah Tuhanmu untuk mengazabku, turunkanlah hujan batu!” tantangnya setelah beberapa kali gagal mempengaruhi dakwah Nabi.
Ini adalah strategi dari An-Nadhr; bila ia baik-baik saja dan hujan batu tidak juga turun, maka berarti Rasulullah berdusta.
Allah ta’ala mengabadikan omongan An-Nadhr ini untuk dijadikan pelajaran oleh Umat Islam.
وَإِذْ قَالُوا۟ ٱللَّهُمَّ إِن كَانَ هَٰذَا هُوَ ٱلْحَقَّ مِنْ عِندِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ ٱلسَّمَآءِ أَوِ ٱئْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih" (QS Al-Anfaal: 32).
Allah ta’ala tidak langsung menurunkan azab kepadanya. Allah membuatkan untuknya sebuah “skenario”, dimana ia akan dihinakan dan bertingkah memalukan terus-menerus. Hingga akhirnya, skenario Allah ta’ala akan Perang Badar menjadi kuburan bagi musuh-musuh Rasulullah, termasuk di dalamnya An-Nadhr.
Kisah An-Nadhr berakhir di tangan Al-Miqdad. Sahabat Nabi yang tak kalah jago dalam pikiran-pikiran filsafatnya. ( )
Anak Angkat
Ketika membicarakan Miqdad, para sahabat dan teman sejawatnya berkata: "Orang yang pertama memacu kudanya dalam perang sabil ialah Miqdad ibnul Aswad".
Pada awalnya Miqdad dikenal sebagai ibnul Aswad. Ini ada ceritanya. Miqdad berasal dari suku Arab, Bahra bagian dari Banu Qudha'ah atau berasal dari Hadramaut Yaman. Dia melarikan diri dari sukunya setelah melukai seseorang dan mengungsi di Makkah.
Di tempat kelahiran Rasulullah itu Miqdad menjadi milik seorang pria bernama al-Aswad Al Kindi. Aswad Alkindi tidak punya anak, jadi suatu hari ia berdiri di antara semua suku Quraisy dan berkata "saya menyatakan bahwa mulai hari ini Miqdad sebagai anak saya, dan namanya sekarang Miqdad bin Alaswad Alkindi setelah aku mati ia akan mewarisi aku".
Sejak saat itu orang-orang mulai memanggilnya Miqdad bin Aswad al-Kindi, bukan Miqdad bin Amr. Ini adalah cara orang Arab menunjukkan cinta mereka terhadap seseorang.
Miqdad menjadi muslim ketika usianya 24 tahun. Dia bertemu dengan Nabi Muhammad SAW secara diam-diam. Ketika Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk berhijarah ke Madinah, Miqdad pun ikut hijrah.
Setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak angkat dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kandungnya, maka naman Miqdad kembali dihubungkan dengan nama ayahnya yaitu Amr bin Sa'ad.
دْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Ahzab : 5)
Miqdad termasuk dalam rombongan orang-orang yang mula pertama masuk Islam, dan orang ketujuh yang menyatakan keislamannya secara terbuka dengan terus terang, dan menanggungkan penderitaan dari amarah murka dan kekejaman Quraisy yang dihadapinya dengan kejantanan para ksatria dan keperwiraan kaum Hawari!
Perjuangannya di medan Perang Badar menjadi tugu peringatan yang selalu semarak takkan pudar. Perjuangan yang mengantarkannya kepada suatu kedudukan puncak, yang dicita dan diangan-angankan oleh seseorang untuk menjadi miliknya
Berkatalah Abdullah bin Mas'ud yakni seorang sahabat Rasulullah: "Saya telah menyaksikan perjuangan Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi sahabatnya daripada segala isi bumi ini…”
Menolak Menjadi Amir
Miqdad bukanlah orang yang haus kekuasaan. Suatu kala ia diangkat oleh Rasulullah sebagai amir atau gubernur di suatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya: "Bagaimanakah pendapatmu menjadi amir?"
Maka dengan penuh kejujuran dijawabnya: "Engkau telah menjadikan daku menganggap diri di atas semua manusia sedang mereka semua di bawahku. Demi yang telah mengutus Engkau membawa kebenaran, semenjak saat ini saya tak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untuk selama-lamanya.”
Seorang laki-laki yang tak hendak tertipu oleh dirinya, tak hendak terpedaya oleh
kelemahannya. (
Baca Juga
Dipegangnya jabatan sebagai amir, hingga dirinya diliputi oleh kemegahan dan puji-pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi amir lagi setelah pengalaman pahit itu.
Miqdad menepati janji akan sumpahnya itu. Semenjak itu ia tak pernah mau menerima jabatan amir.
Miqdad selalu mendendangkan Hadis yang didengarnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam, yakni : "Orang yang berbahagia , ialah orang yang dijauhkan dari fitnah!"
Oleh karena jabatan sebagai amir (pemimpin) itu dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan fitnah bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya, ialah menjauhinya. (Baca juga: Membakar Masjid Kaum Munafik, Matinya Abdullah Bin Ubay )
Hati-Hati
Di antara madhhar atau manifestasi filsafatnya ialah tidak tergesa-gesa dan sangat hati-hati menjatuhkan putusan atas seseorang. Dan ini juga dipelajarinya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam yang telah menyampaikan kepada ummatnya: "bahwa hati manusia lebih cepat berputarnya daripada isi periuk di kala menggelegak "
Miqdad sering menangguhkan penilaian terakhir terhadap seseorang sampai dekat saat kematian mereka. Tujuannya ialah agar orang yang akan dinilainya tidak beroleh atau mengalami hal yang baru lagi. Perubahan atau hal baru apakah lagi setelah maut?
Pada suatu ketika ia keluar bersama rombongan tentara yang sewaktu-waktu dapat dikepung oleh musuh. Komandan mengeluarkan perintah agar tidak seorang pun mengembalakan hewan tunggangannya.
Tetapi salah seorang anggota pasukan tidak mengetahui larangan tersebut hingga melanggarnya dan sebagai akibatnya ia menerima hukuman yang rupanya lebih besar daripada yang seharusnya, atau mungkin tidak usah sama sekali.
Miqdad lewat di depan prajurit yang menerima hukuman itu. Prahurit itu sedang menangis berteriak-teriak. Ketika ditanya, ia mengisahkan apa yang telah terjadi. Miqdad meraih tangan orang itu, dibawanya ke hadapan amir atau komandan, lalu dibicarakan dengannya keadaan bawahannya itu hingga akhirnya tersingkaplah kesalahan dan kekeliruan amir itu. Maka kata Miqdad kepadanya: "Sekarang suruhlah ia membalas keterlanjuran Anda dan berilah ia kesempatan untuk melakukan qishas!"
Baca Juga: Kisah Mush'ab bin 'Umair, Sahabat Nabi yang Dicintai
Sang amir tunduk dan bersedia, hanya si terhukum berlapang dada dan memberinya ma'af. Penciuman Miqdad yang tajam mengenai pentingnya suasana, dan keagungan Agama yang telah memberikan kepada mereka kebesaran ini hingga seakan-akan berdendang: "biar saya mati asalkan Islam tetap jaya..!"
Memang, itulah yang menjadi cita-citanya, yaitu kejayaan Islam walau harus dibalas dengan nyawa sekalipun. Dan dengan keteguhan hati yang mena'jubkan ia berjuang bersama kawan-kawannya untuk mewujudkan cita-cita tersebut, hingga selayaknyalah ia beroleh kehormatan dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menerima ucapan berikut: "Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya padaku bahwa ia mencintaimu".
Pandangan Miqdad
Salah seorang sahabat dan teman sejawatnya bercerita:
"Pada suatu hari kami pergi duduk-luduk ke dekat Miqdad. Tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki, dan katanya kepada Miqdad: Sungguh berbahagialah kedua mata ini yang telah melihat Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam. Demi Allah, Andainya kami dapat melihat apa yang Anda lihat, dan menyaksikan apa yang Anda saksikan!"
Miqdad pergi_menghampirinya katanya: "Apa yang mendorong kalian untuk ingin menyaksikan peristiwa yang disembunyikan Allah dari penglihatan kalian, padahal kalian tidak tahu apa akibatnya bila sempat menyaksikannya?
Demi Allah, bukankah di masa Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam banyak orang yang ditelungkupkan Allah mukanya ke neraka jahanam.
Kenapa kalian tidak mengucapkan pujian kepada Allah yang menghindarkan kalian dari malapetaka seperti yang menimpa mereka itu, dan menjadikan kalian sebagai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Nabi kalian !"
Tidak seorangpun yang beriman kepada Allah, dan Rasul-Nya yang Anda temui, kecuali ia menginginkan dapat hidup di masa Rasulullah dan beroleh kesempatan untuk melihatnya. Tetapi penglihatan Miqdad yang tajam dan dalam, dapat menembus barang ghaib yang tidak terjangkau di balik cita-cita dan keinginan itu.
Bukankah tidak mustahil orang yang menginginkan hidup pada masa-masa tersebut akan menjadi salah seorang penduduk neraka? Bukankah tidak mustahil ia akan jatuh kafir bersama orang-orang kafir lainnya?
Baca Juga: :Pesan Nabi, Teladanilah Dua Orang Ini Sepeninggalku
Maka tidakkah ia lebih baik memuji Allah yang telah menghidupkannya di masa-masa telah tercapainya kemantapan bagi Islam, hingga ia dapat menganutnya secara mudah dan bersih?
Demikianlah pandangan Miqdad, memancarkan hikmah dan filsafat dan seperti demikian pula pada setiap tindakan, pengalaman dan ucapannya. Ia adalah seorang filosof dan pemikir ulung.
Kecintaan Miqdad kepada Islam tidak terkira besarnya. Dan cinta, bila ia tumbuh dan membesar serta didampingi oleh hikmat maka akan menjadikan pemiliknya manusia tinggi, yang tidak merasa puas hanya, dengan kecintaan belaka, tapi dengan menunaikan kewajiban dan memikul tanggung jawabnya. Dan Miqdad bin Amr dari tipe manusia seperti ini. ( )
(mhy)