Dia Abdul Ka'bah yang Mengurus Masalah Penebusan Darah

Kamis, 09 Juli 2020 - 09:34 WIB
loading...
Dia Abdul Kabah yang Mengurus Masalah Penebusan Darah
Usia Abu Bakar dua tahun lebih muda dari Nabi Muhammad. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
Abu Bakar radhiallahu 'anhu (RA) bernama lengkap 'Abdullah bin Abu Quhafah atau lebih dikenal dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau dari kabilah Taim bin Murrah bin Ka'b. Nasabnya bertemu dengan Nabi pada Adnan.

Setiap kabilah yang tinggal di Makkah punya keistimewaan tersendiri, yakni ada tidaknya hubungannya dengan sesuatu jabatan di Ka'bah . Untuk Banu Abd Manaf tugasnya siqayah dan rifadah, untuk Banu Abdid-Dar, liwa', hijabah dan nadwah, yang sudah berjalan sejak sebelum Hasyim kakek Nabi lahir.



Sedangkan pimpinan tentara dipegang oleh Banu Makhzum, nenek moyang Khalid bin Walid. Sementara itu, Banu Taim bin Murrah menyusun masalah diat (tebusan darah) dan segala macam ganti rugi.

Pada zaman jahiliah, masalah penebusan darah ini di tangan Abu Bakar tatkala posisinya cukup kuat, dan dia juga yang memegang pimpinan kabilahnya. Oleh karena itu, bila ia harus menanggung sesuatu tebusan dan ia meminta bantuan Quraisy, mereka pun percaya dan mau memberikan tebusan itu, yang tak akan dipenuhi sekiranya orang lain yang memintanya.



Muhammad Husain Haikal dalam As-Siddiq Abu Bakr menyebut banyak buku yang ditulis orang kemudian menceritakan adanya pujian ketika menyinggung Banu Taim ini serta kedudukannya di tengah-tengah kabilah-kabilah Arab.

Diceritakan bahwa ketika Munzir bin Ma'as-Sama' menuntut Imru'ul-Qais bin Hujr al-Kindi, ia mendapat perlindungan Mu'alla at-Taimi (dari Banu Taim), sehingga dalam hal ini penyair Imru'ul-Qais berkata:

Imru'ul-Qais bin Hujr
Telah didudukkan oleh Banu Taim,
"Masabihuz-Zalami"

Karena bait tersebut, Banu Taim dijuluki "Masabihuz-Zalami" (pelita-pelita di waktu gelap).

Baca Juga: :Khalifah Umar Pecat Khalid bin Walid demi Selamatkan Tauhid Umat

Akan tetapi, menurut Haekal, sumber-sumber yang beraneka ragam yang melukiskan sifat-sifat Banu Taim itu tidak berbeda dengan yang biasa dilukiskan untuk kabilah-kabilah lain. Juga tidak ada suatu ciri khas yang bisa dibedakan dan dapat digunakan oleh penulis sejarah atau menunjukkan suatu sifat tertentu kepada kabilah mana ia dapat digolongkan.

Sumber-sumber itu melukiskan Banu Taim dengan sifat-sifat terpuji: pemberani, pemurah, kesatria, suka menolong dan melindungi tetangga dan sebagainya yang biasa dipunyai oleh kabilah-kabilah Arab yang hidup dalam iklim jazirah Arab.

Baca Juga: Biografi Abu Bakar, Sahabat Paling Terdepan Membela Rasulullah SAW
Sebelum Islam, Abu Bakar bernama Abdul Ka'bah. Setelah masuk Islam oleh Rasulullah ia dipanggil Abdullah. Ada juga yang mengatakan bahwa tadinya ia bernama Atiq, karena dari pihak ibunya tak pernah ada anak laki-laki yang hidup. Lalu ibunya bernazar jika ia melahirkan anak laki-laki akan diberi nama Abdul Ka'bah dan akan disedekahkan kepada Ka'bah.

Sesudah Abu Bakar hidup dan menjadi besar, ia diberi nama Atiq, seolah ia telah dibebaskan dari maut. Tetapi sumber-sumber itu lebih jauh, menurut Haekal, menyebutkan bahwa Atiq itu bukan namanya, melainkan suatu julukan karena warna kulitnya yang putih.



Sumber yang lain lagi malah menyebutkan, bahwa ketika Aisyah putrinya ditanyai mengapa Abu Bakar diberi nama Atiq, ia menjawab: Rasulullah memandang kepadanya lalu katanya: “Ini yang dibebaskan Allah dari neraka”; atau karena suatu hari Abu Bakar datang bersama sahabat-sahabatnya lalu Rasulullah berkata: “Barang siapa ingin melihat orang yang dibebaskan dari neraka lihatlah ini”.

Mengenai gelar Abu Bakar yang dibawanya dalam hidup sehari-hari sumber-sumber itu tidak menyebutkan alasannya, meskipun penulis-penulis kemudian ada yang menyimpulkan bahwa dijuluki begitu karena ia orang paling dini dalam Islam dibanding dengan yang lain.

Perangai yang Damai
Semasa kecil Abu Bakar hidup seperti umumnya anak-anak di Makkah. Lepas masa anak-anak ke masa usia remaja ia bekerja sebagai pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat sukses.



Dalam usia muda itu Abu Bakar kawin dengan Qutailah bint Abdul Uzza. Dari perkawinan ini lahir Abdullah dan Asma'. Asma' inilah yang kemudian dijuluki Zatun-Nitaqain.

Sesudah dengan Qutailah, beliau kawin lagi dengan Umm Rauman bint Amir bin Uwaimir. Dari perkawinan ini lahir pula Abdur-Rahman dan Aisyah.

Kemudian di Madinah ia kawin dengan Habibah bint Kharijah, setelah itu dengan Asma' bint Umais yang melahirkan Muhammad.

Abu Bakar adalah pria dengan perawakan kurus, putih, dengan sepasang bahu yang kecil dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas. Begitulah dilukiskan oleh putrinya, Aisyah Ummul Mukminin .



Begitu damai perangainya, sangat lemah lembut dan sikapnya tenang sekali. Tak mudah ia terdorong oleh hawa nafsu. Dibawa oleh sikapnya yang selalu tenang, pandangannya yang jernih serta pikiran yang tajam, banyak kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak diikutinya.

Aisyah menyebutkan bahwa ia tak pernah minum minuman keras, di zaman jahiliah atau Islam, meskipun penduduk Makkah umumnya sudah begitu hanyut ke dalam khamar dan mabuk-mabukan.



Beliau seorang ahli genealogi — ahli silsilah — bicaranya sedap dan pandai bergaul. Seperti dilukiskan oleh Ibn Hisyam, penulis kitab Sirah: "Abu Bakar adalah laki-laki yang akrab di kalangan masyarakatnya, disukai karena ia serba mudah. Ia dari keluarga Quraisy yang paling dekat dan paling banyak mengetahui seluk-beluk kabilah itu, yang baik dan yang jahat. Ia seorang pedagang dengan perangai yang sudah cukup terkenal. Karena suatu masalah, pemuka-pemuka masyarakatnya sering datang menemuinya, mungkin karena pengetahuannya, karena perdagangannya atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak."

Abu Bakar tinggal di Makkah, di kampung yang sama dengan Khadijah bint Khuwailid , tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa perdagangan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas ke Syam dan ke Yaman.

Setelah Rasulullah menikah dengan Siti Khadijah hubungan Abu Bakar dan Rasulullah menjadi semakin akrab.



Usia Abu Bakar dua tahun lebih muda dari Nabi Muhammad. Haekal menduga, besar sekali kemungkinannya, usia yang tidak berjauhan itu, persamaan bidang usaha serta ketenangan jiwa dan perangainya, di samping ketidaksenangannya pada kebiasaan-kebiasaan Quraisy — dalam kepercayaan dan adat — mungkin sekali itulah semua yang berpengaruh dalam persahabatan Muhammad dengan Abu Bakar.

Beberapa sumber berbeda pendapat, sampai berapa jauh eratnya persahabatan itu sebelum Muhammad menjadi Rasul. Di antara mereka ada yang menyebutkan bahwa persahabatan itu sudah begitu akrab sejak sebelum kerasulan, dan bahwa keakraban itu pula yang membuat Abu Bakar cepat-cepat menerima Islam.



Ada pula yang lain menyebutkan, bahwa akrabnya hubungan itu baru kemudian dan bahwa keakraban pertama itu tidak lebih hanya karena bertetangga dan adanya kecenderungan yang sama. Mereka yang mendukung pendapat ini barangkali karena kecenderungan Muhammad yang suka menyendiri dan selama bertahun-tahun sebelum kerasulannya menjauhi orang banyak.

Setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul teringat ia pada Abu Bakar dan kecerdasan otaknya. Lalu diajaknya ia bicara dan diajaknya menganut ajaran tauhid. Tanpa ragu Abu Bakar pun menerima ajakan itu. Sejak itu terjadilah hubungan yang lebih akrab antara kedua orang itu.

Kemudian keimanan Abu Bakar makin mendalam dan kepercayaannya kepada Nabi Muhammad dan risalahnya pun bertambah kuat. Seperti dikatakan oleh Aisyah: "Yang kuketahui kedua orangtuaku sudah memeluk agama ini, dan setiap kali lewat di depan rumah kami, Rasulullah selalu singgah ke tempat kami, pagi atau sore."



Sejak hari pertama Abu Bakar sudah bersama-sama dengan Rasulullah melakukan dakwah demi agama Allah. Keakraban masyarakatnya dengan dia, kesenangannya bergaul dan mendengarkan pembicaraannya, besar pengaruhnya terhadap Muslimin yang mula-mula itu dalam masuk Islam itu.

Mereka yang mengikuti jejak Abu Bakar menerima Islam ialah Usman bin Affan, Abdur-Rahman bin Auf, Talhah bin Ubaidillah, Sa'd bin Abi Waqqas dan Zubair bin Awwam.

Sesudah mereka yang kemudian menyusul masuk Islam — atas ajakan Abu Bakar — ialah Abu Ubaidah bin Jarrah dan banyak lagi yang lain dari penduduk Makkah.

Adakalanya orang akan merasa heran betapa Abu Bakar tidak merasa ragu menerima Islam ketika pertama kali disampaikan Nabi Muhammad kepadanya itu. Dan karena menerimanya tanpa ragu itu kemudian Rasulullah berkata: "Tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakar bin Abi Quhafah. la tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu ketika kusampaikan kepadanya."



Tatkala Nabi Muhammad menerangkan kepadanya tentang tauhid dan dia diajaknya, ia langsung menerima. Bahkan ketika Nabi Muhammad menceritakan kepadanya mengenai gua Hira dan wahyu yang diterimanya, ia juga langsung mempercayainya tanpa ragu.

Abu Bakar adalah salah seorang pemikir Makkah yang memandang penyembahan berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka. Ia sudah mengenai benar Muhammad — kejujurannya, kelurusan hatinya serta kejernihan pikirannya.

Semua itu tidak memberi peluang dalam hatinya untuk merasa ragu, apa yang telah diceritakan kepadanya, dilihatnya dan didengarnya. Apalagi karena apa yang diceritakan Rasulullah kepadanya itu dilihatnya memang sudah sesuai dengan pikiran yang sehat. Pikirannya tidak merasa ragu lagi, ia sudah mempercayainya dan menerima semua itu.

Berani Ambil Risiko
Haekal menuturkan, apa yang menghilangkan kekaguman kita tidak mengubah penghargaan kita atas keberanian Abu Bakar tampil ke depan umum dalam situasi ketika orang masih serba menunggu, ragu dan sangat berhati-hati.



Keberanian Abu Bakar ini patut sekali kita hargai, katanya, mengingat dia pedagang, yang demi perdagangannya diperlukan perhitungan guna menjaga hubungan baik dengan orang lain serta menghindari konfrontasi dengan mereka, yang akibatnya berarti menentang pandangan dan kepercayaan mereka.

Ini dikhawatirkan kelak akan berpengaruh buruk terhadap hubungan dengan para relasi itu. Berapa banyak orang yang memang tidak percaya pada pandangan itu dan dianggapnya suatu kepalsuan. Suatu cakap kosong yang tak mengandung arti apa-apa. Lalu dengan sembunyi-sembunyi atau berpura-pura berlaku sebaliknya hanya untuk mencari selamat, mencari keuntungan di balik semua itu, menjaga hubungan dagangnya dengan mereka.


“Sikap munafik begini kita jumpai bukan di kalangan awamnya, tapi di kalangan tertentu dan kalangan terpelajarnya juga. Bahkan akan kita jumpai di kalangan mereka yang menamakan diri pemimpin dan katanya hendak membela kebenaran,” tulis Haekal.

Abu Bakar dengan menyatakan terang-terangan keislamannya itu, lalu mengajak orang kepada ajaran Allah dan Rasulullah dan meneruskan dakwahnya untuk meyakinkan kaum Muslimin yang mula-mula untuk mempercayai Muhammad dan mengikuti ajaran agamanya, inilah yang belum pernah dilakukan orang; kecuali mereka yang sudah begitu tinggi jiwanya, yang sudah sampai pada tingkat membela kebenaran demi kebenaran. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2093 seconds (0.1#10.140)