Memahami Hukum Islam Berdasar Situasi Menurut Jalaluddin Rakhmat

Rabu, 11 Januari 2023 - 15:05 WIB
loading...
Memahami Hukum Islam Berdasar Situasi Menurut Jalaluddin Rakhmat
Jalaluddin Rakhmat. Foto/Ilustrasi: BBC
A A A
Jika saya mendepositokan uang saya di bank, bolehkah saya menerima bunga depositonya? Apakah bunga deposito itu sama dengan riba ? Tanyalah ulama yang Anda kenal, dari golongan apa saja.

Cendekiawan Muslim, Jalaluddin Rakhmat (29 Agustus 1949 – 15 Februari 2021) dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" Bab "Peranan Tuntutan Situasi dalam Memahami Hukum Islam" mengatakan ada tiga kemungkinan jawaban: boleh, tidak boleh, tidak tahu.

"Anehnya bila golongan yang ditanya -- Muhammadiyah , Persis, NU jawabannya satu. Semua golongan itu sepakat (ijma') untuk menyimpan uangnya di bank dan memanfaatkan bunganya, tentu saja bagi kepentingan umat Islam," ujarnya.



Bila diminta fatwa lisan atau tulisan, verba non acta, kata Jalaluddin Rakhmat, sekali lagi jawabannya akan beragam. "Kebanyakan di antara umat Islam masih belum mendapat jawaban yang tegas dan memuaskan," ujarnya.

Menurutnya, ulama yang ditanya itu memang mengalami kemusykilan. Deposito dan bunganya tidak dikenal di zaman Rasulullah SAW. Mereka tidak menemukan nash --teks al-Qur'an atau Hadis-- yang menerangkan ketentuan hukum untuk deposito.

Ada memang ketentuan tentang riba, tapi apakah riba sama dengan bunga deposito?

Kemusykilan seperti itu telah dihadapi para ulama sepanjang sejarah. Yang kita sebut syari'at pada mulanya hanya menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang sederhana dan hukum pidana. Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban lain, apa yang tercakup dalam syari'at menjadi lebih luas.

Para ulama merumuskan syari'at dalam bentuk fiqh yang mengatur bidang-bidang kehidupan yang lebih kompleks.



Menurut al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, ketika dinasti Umayyah bertemu dengan kebudayaan Persia, mereka menemukan lembaga yang menyelesaikan urusan orang-orang yang dizalimi.

Lembaga ini tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah, tapi mereka menganggap lembaga ini sangat bagus. Kemudian penguasa Umayyah mengukuhkan lembaga itu dan menamainya Dewan Mazhalim.

Mereka bukan saja menganggap dewan ini tidak bertentangan dengan syar'i, tapi bahkan memelihara tujuan syar'i.

Secara berangsur-angsur, para ulama mengembangkan metode istinbath (menarik kesimpulan hukum) baik berdasarkan kaidah-kaidah atau petunjuk umum dalam nash maupun dari penggunaan akal. Di antara metode-metode itu adalah qiyas, istihsan dan istishlah. Semua metode ini hanyalah upaya memecahkan persoalan.

Studi kritis terhadapnya akan segera membuktikan bahwa penggunaan metode-metode tersebut juga menimbulkan persoalan. Tidak ada kesepakatan ulama mengenai kebolehan menggunakan masing-masing di antara ketiga hal itu.

Sebagian menerimanya, sebagian menolaknya. Tidak jarang perbedaan itu muncul karena perbedaan pemaknaan istilah-istilah itu.

Syafi'i , misalnya, menyerang istihsan dan menganggapnya sebagai usaha untuk membuat syari'at (man istahsana fa qad syara'a). Maliki dan Hanafi memandang istihsan bahkan harus didahulukan dari qiyas. Malik menyebut istihsan sebagai sembilan persepuluh ilmu (Al-istihsan tis'at a'syar al-'ilm). Tapi ketika Syafi'i menyerang istihsan seperti yang dimaknakan olehnya, ia menggunakan metode qiyas khafi, yang tidak lain daripada istihsan menurut mazhab Hanafi.



Sayyid Musa Tuwanat dalam "Al-Ijtihad wa Muda Hajatina ilaih fi Hadza al-'Ashr" menyebut bila mujtahid tidak menemukan hukum dalam al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan pendapat para sahabat, atau tidak ada yang dapat dijadikan hujjah dari pendapat-pendapat mereka, ia bersandar kepada qiyas.

Inilah yang ditetapkan oleh Imam Syafi'i dan ditegaskan al-Syirazi dan al-Maqdisi. Begitu pula para pengikut Hanafi yang membahas qiyas sesudah al-Kitab, Sunnah dan ijma.

Imam Malik juga mengambil qiyas, tapi sesudah mengambil mashalih mursalah dan istihsan. Imam Ahmad pun bersandar kepada qiyas dengan syarat sesudah meninjau hukum itu dalam al-Qur'an dan Hadits dalam maknanya yang lebih luas, walaupun ia berbeda dari mujtahidin lainnya dalam cara dan cakupan penggunaan qiyas.

Tidak ada mazhab yang menolak penggunaan istihsan kecuali madzhab Dzahiriyah dan Syi'ah. Adapun cara menggunakan qiyas sebagai berikut:

Seorang mujtahidin melakukan penelitian apakah ada dalil yang menunjukkan dalil tentang illat untuk menentukan hukum far'. Bila illat itu diketahui dengan menggunakan cara-cara yang dikenal dalam kitab ushul dan ada hubungan antara illat ini dengan kasus yang akan ditetapkan hukumnya, dan sudah ditegaskan hubungannya disamakanlah hukum yang asal dengan far' berdasarkan kesamaan illat seperti yang dipahaminya.



Kadang-kadang mujtahid meninggalkan satu dalil kepada dalil yang lebih kuat, atau kepada maslahat, atau meninggalkan qiyas kepada atsar, atau kepada ijma' atau kepada dharurat.

Kadang-kadang qiyas ditinggalkan karena ada dalil yang kuat atsarnya. Dalam semua keadaan itu, ia tidak keluar dari upaya menjalankan nash, atau qiyas, atau mashlahat. Yang demikian itu disebut istihsan.

Secara denotatif, istihsan artinya memandang baik terhadap sesuatu. Pendirian Dewan Madzalim dipandang baik; artinya, harus dilakukan berdasarkan istihsan.

Menarik sekali, para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif ini (yaitu, orang-orang yang mendengarkan kata dan diturutinya yang paling baik, QS al-Zumar: 18; "Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu", al-Zumar: 55; "Apa yang dianggap kaum Muslim baik, menurut Allah baik juga," --Hadis menurut riwayat Abdullah bin Mas'ud.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1447 seconds (0.1#10.140)