Ini Tokoh yang Makamnya Dimuliakan Sultan Muhammad Al-Fatih
Jum'at, 17 Juli 2020 - 05:00 WIB
Rasulullah tidak segera turun dan punggung unta. Unta itu disuruhnya berdiri dan berjalan kembali. Tetapi setelah berkeliling-keliling, untuk berlutut kembali di tempat semula.
Abu Ayyub mengucapkan takbir karena sangat gembira. Dia segera mendekati Rasulullah dan melapangkan jalan bagi beliau. Diangkatnya barang-barang beliau dengan kedua tangannya, bagaikan mengangkat seluruh perbendaharaan dunia. Lalu dibawanya ke rumahnya.
Rumah Abu Ayyub bertingkat. Bagian atas dikosongkan dan dibersihkannya untuk tempat tinggal Rasulullah. Tetapi Rasuluulah lebih suka tinggal di bawah. Abu Ayyub menurut saja di mana beliau senang.
Setelah malam tiba, Rasulullah masuk ke kamar tidur. Abu Ayyub dan isterinya naik ke lantai atas. Ketika suami isteri itu menutup pintu, Abu Ayyup sepertinya ragu. “Celaka..! Mengapa kita sebodoh ini. Pantaskah Rasulullah bertempat di bawah, sedangkan kita berada lebih tinggi dari beliau,” seru Abu Ayyub kepada isterinya. “Pantaskah kita berjalan di atas beliau? Pantaskah kita mengalingi antara Nabi dan Wahyu? Niscaya kita celaka!” serunya lagi.
Pasangan suami isteri itu bingung. Tidak tahu apa yang harus diperbuat. Tidak berapa lama berdiam diri, akhirnya mereka memilih kamar yang tidak setentang dengan kamar Rasulullah. Mereka berjalan benjingkit-jingkit untuk menghindarkan suara telapak kaki mereka.
Setelah hari subuh, Abu Ayyub berkata kepada Rasulullah. “Mata kami tidak bisa terpejam sekejap pun malam ini.”
“Mengapa begitu?” tanya Rasulullah.
“Aku ingat, kami berada di atas sedangkan Rasulullah yang kami muliakan berada di bawah. Apabila bergerak sedikit saja, abu berjatuhan mengenai Rasulullah. Di samping itu kami mengalingi Rasulullah dengan wahyu,” ujar Abu Ayyub.
“Tenang sajalah, hai Abu Ayyub. Saya lebih suka bertempat tinggal di bawah, karena akan banyak tamu yang datang berkunjung,” hibur Rasulullah.
Akhirnya Abu Ayyub mengikuti kemauan Rasulullah. Pada suatu malam yang dingin, bejana pecah di tingkat atas, sehingga airnya tumpah. Kain lap hanya ada sehelai, terpaksalah air dikeringkan baju. “Kami sangat khawatir kalau air mengalir ke tempat Rasulullah. Saya dan istri bekerja keras mengeringkan air sampai habis,” tutur Abu Ayyub berkisah.
Setelah hari subuh, ia pergi menemui Rasulullah. “Sungguh mati, saya segan bertempat tinggal di atas, sedangkan Rasulullah tinggal di bawah,” ujarnya kepada Rasulullah.
Kemudian Abu Ayyub menceritakan kepada beliau perihal bejana yang pecah itu. Mendengar cerita itu, akhirnya Rasulullah memperkenankan pasangan suami istri ini pindah ke bawah dan beliau pindah ke atas.
Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub kurang lebih tujuh bulan. Setelah masjid Rasulullah selesai dibangun, beliau pindah ke kamar-kamar yang dibuatkan untuk beliau dan para isteri beliau di sekitar masjid.
Sejak pindah, Rasulullah menjadi tetangga dekat bagi Abu Ayyub. Rasulullah sangat menghargai suami isteri ini sebagai tetangga yang baik. Abu Ayyub mencintai Rasulullah sepenuh hati. Sebaliknya beliau mencintainya pula, sehingga mereka saling membantu setiap kesusahan masing-masing.
Rasulullah memandang rumah Abu Ayyub seperti rumah sendiri. Pada suatu hari di tengah hari yang amat panas, Abu Bakar pergi ke masjid, lalu bertemu dengan ‘Umar bin Khattab. “Hai, Abu Bakar! Mengapa Anda keluar di saat panas begini?” tanya Umar.
Abu Ayyub mengucapkan takbir karena sangat gembira. Dia segera mendekati Rasulullah dan melapangkan jalan bagi beliau. Diangkatnya barang-barang beliau dengan kedua tangannya, bagaikan mengangkat seluruh perbendaharaan dunia. Lalu dibawanya ke rumahnya.
Rumah Abu Ayyub bertingkat. Bagian atas dikosongkan dan dibersihkannya untuk tempat tinggal Rasulullah. Tetapi Rasuluulah lebih suka tinggal di bawah. Abu Ayyub menurut saja di mana beliau senang.
Setelah malam tiba, Rasulullah masuk ke kamar tidur. Abu Ayyub dan isterinya naik ke lantai atas. Ketika suami isteri itu menutup pintu, Abu Ayyup sepertinya ragu. “Celaka..! Mengapa kita sebodoh ini. Pantaskah Rasulullah bertempat di bawah, sedangkan kita berada lebih tinggi dari beliau,” seru Abu Ayyub kepada isterinya. “Pantaskah kita berjalan di atas beliau? Pantaskah kita mengalingi antara Nabi dan Wahyu? Niscaya kita celaka!” serunya lagi.
Pasangan suami isteri itu bingung. Tidak tahu apa yang harus diperbuat. Tidak berapa lama berdiam diri, akhirnya mereka memilih kamar yang tidak setentang dengan kamar Rasulullah. Mereka berjalan benjingkit-jingkit untuk menghindarkan suara telapak kaki mereka.
Setelah hari subuh, Abu Ayyub berkata kepada Rasulullah. “Mata kami tidak bisa terpejam sekejap pun malam ini.”
“Mengapa begitu?” tanya Rasulullah.
“Aku ingat, kami berada di atas sedangkan Rasulullah yang kami muliakan berada di bawah. Apabila bergerak sedikit saja, abu berjatuhan mengenai Rasulullah. Di samping itu kami mengalingi Rasulullah dengan wahyu,” ujar Abu Ayyub.
“Tenang sajalah, hai Abu Ayyub. Saya lebih suka bertempat tinggal di bawah, karena akan banyak tamu yang datang berkunjung,” hibur Rasulullah.
Akhirnya Abu Ayyub mengikuti kemauan Rasulullah. Pada suatu malam yang dingin, bejana pecah di tingkat atas, sehingga airnya tumpah. Kain lap hanya ada sehelai, terpaksalah air dikeringkan baju. “Kami sangat khawatir kalau air mengalir ke tempat Rasulullah. Saya dan istri bekerja keras mengeringkan air sampai habis,” tutur Abu Ayyub berkisah.
Setelah hari subuh, ia pergi menemui Rasulullah. “Sungguh mati, saya segan bertempat tinggal di atas, sedangkan Rasulullah tinggal di bawah,” ujarnya kepada Rasulullah.
Kemudian Abu Ayyub menceritakan kepada beliau perihal bejana yang pecah itu. Mendengar cerita itu, akhirnya Rasulullah memperkenankan pasangan suami istri ini pindah ke bawah dan beliau pindah ke atas.
Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub kurang lebih tujuh bulan. Setelah masjid Rasulullah selesai dibangun, beliau pindah ke kamar-kamar yang dibuatkan untuk beliau dan para isteri beliau di sekitar masjid.
Sejak pindah, Rasulullah menjadi tetangga dekat bagi Abu Ayyub. Rasulullah sangat menghargai suami isteri ini sebagai tetangga yang baik. Abu Ayyub mencintai Rasulullah sepenuh hati. Sebaliknya beliau mencintainya pula, sehingga mereka saling membantu setiap kesusahan masing-masing.
Rasulullah memandang rumah Abu Ayyub seperti rumah sendiri. Pada suatu hari di tengah hari yang amat panas, Abu Bakar pergi ke masjid, lalu bertemu dengan ‘Umar bin Khattab. “Hai, Abu Bakar! Mengapa Anda keluar di saat panas begini?” tanya Umar.