PPN Naik Menjadi 12%: Begini Syarat Pemungutan Pajak Menurut Islam
Jum'at, 22 November 2024 - 09:17 WIB
Abul Mahasin Yusuf bin Taghri dalam bukunya berjudul "An-Nujum Az-Zahirah fi Muluki Mish wa Al-Qahirah" menyebut Syaikh Izzuddin memberikan kepada Raja Al-Muzzaffar dalam hal mewajibkan pajak kepada rakyat dalam rangka mempersiapkan pasukan untuk memerangi Tartar.
Syaikh Izzuddin berkata: "Apabila musuh memasuki negeri Islam, maka wajib bagi kaum muslimin menahan serangan mereka, dan diperbolehkan bagi kalian (para penguasa) mengambil dari rakyat apa yang bisa menolong kalian dalam berjihad melawan mereka.
Namun dengan syarat tidak ada kas sedikit pun di dalam baitul mal, dan hendaknya kalian dan para pejabat, menjual menginfakkan barang-barang berharga milik kalian, setiap tentara dicukupkan dengan kendaraan dan senjata perangnya saja. Dan mereka itu diperlakukan sama dengan rakyat pada umumnya.
Adapun memungut harta pajak dari rakyat padahal masih ada harta benda dan peralatan berharga di tangan para tentara maka itu dilarang.”
Gazali berpendapat tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat. "Namun jika datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan darurat, maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak dharibah," katanya.
Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh al-qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam Asy-Syathibi, Mahmud Syaltut dan lain-lain.
Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama, alasan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, dan pemerintah tidak mampu mencukupi atau membiayai berbagai pengeluaran tersebut.
Kalau pemerintah tidak ada biaya, maka akan timbul kemadharatan. Sebagaimana kaidah ushul Fiqh: Ma layatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun “ suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumya wajib”.
Muhammad Bin Hasan AsySyaibani berkata jika sekiranya seorang penguasa Pemerintahan Muslim hendak menyiapkan sebuah pasukan perang, maka sepantasnya dia menyiapkannya dengan harta yang diambil dari baitul maal kaum muslimin Kas Negara. Hal itu jika di dalamnya memang ada harta kekayaan yang mencukupi untuk menyiapkan pasukan perang. Maka dibolehkan bagi penguasa/pemerintah muslim menetapkan kebijakan kepada orang-orang kaya agar membayar pajak, sehingga pasukan perang yang akan berjihad menjadi kuat.
Para ulama yang membolehkan pemerintah memungut pajak dari kaum muslimin, meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Negara berkomitmen dalam menerapkan syariat Islam.
2. Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara.
3. Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh negara baik dari zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak.
4. Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat.
5. Pemungutannya harus adil yaitu dipungut dari orang kaya saja dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh berfokus pada tempat-tempat tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat.
6. Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja. Ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
7. Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
8. Besarnya pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.
Syaikh Izzuddin berkata: "Apabila musuh memasuki negeri Islam, maka wajib bagi kaum muslimin menahan serangan mereka, dan diperbolehkan bagi kalian (para penguasa) mengambil dari rakyat apa yang bisa menolong kalian dalam berjihad melawan mereka.
Namun dengan syarat tidak ada kas sedikit pun di dalam baitul mal, dan hendaknya kalian dan para pejabat, menjual menginfakkan barang-barang berharga milik kalian, setiap tentara dicukupkan dengan kendaraan dan senjata perangnya saja. Dan mereka itu diperlakukan sama dengan rakyat pada umumnya.
Adapun memungut harta pajak dari rakyat padahal masih ada harta benda dan peralatan berharga di tangan para tentara maka itu dilarang.”
Gazali berpendapat tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat. "Namun jika datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan darurat, maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak dharibah," katanya.
Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh al-qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam Asy-Syathibi, Mahmud Syaltut dan lain-lain.
Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama, alasan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, dan pemerintah tidak mampu mencukupi atau membiayai berbagai pengeluaran tersebut.
Kalau pemerintah tidak ada biaya, maka akan timbul kemadharatan. Sebagaimana kaidah ushul Fiqh: Ma layatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun “ suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumya wajib”.
Muhammad Bin Hasan AsySyaibani berkata jika sekiranya seorang penguasa Pemerintahan Muslim hendak menyiapkan sebuah pasukan perang, maka sepantasnya dia menyiapkannya dengan harta yang diambil dari baitul maal kaum muslimin Kas Negara. Hal itu jika di dalamnya memang ada harta kekayaan yang mencukupi untuk menyiapkan pasukan perang. Maka dibolehkan bagi penguasa/pemerintah muslim menetapkan kebijakan kepada orang-orang kaya agar membayar pajak, sehingga pasukan perang yang akan berjihad menjadi kuat.
Para ulama yang membolehkan pemerintah memungut pajak dari kaum muslimin, meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Negara berkomitmen dalam menerapkan syariat Islam.
2. Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara.
3. Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh negara baik dari zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak.
4. Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat.
5. Pemungutannya harus adil yaitu dipungut dari orang kaya saja dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh berfokus pada tempat-tempat tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat.
6. Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja. Ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.
7. Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.
8. Besarnya pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.