Konsep Maslahah Menurut Najmuddin At-Thufi

Jum'at, 22 Januari 2021 - 21:10 WIB
1. Akal bebas menentukan mashlahah dan kemafsadatan, khususnya dalam lapangan mu’amalah dan adab. Untuk menentukan suatu mashlahah atau kemafsadatan cukup dengan akal. Pendirian al-Thufi bahwa akal semata, tanpa harus melalui wahyu mampu mengetahui kebaikan dan keburukan menjadi fondasi yang pertama dalam piramida pemikirannya. Akan tetapi, al-Thufi membatasi membatasi kemandirian akal itu dalam bidang mu'amalah dan adat istiadat, dan ia melepaskan ketergantungan atas petunjuk nash, kepentingan umum atau mafsadat pada kedua bidang tersebut. Pandangan ini bertolak belakang dengan mayoritas ulama yang menyatakan bahwa sekalipun mashlahah dan kemafsadatan itu dapat dicapai dengan akal, kepentingan umum itu harus mendapat justifikasi dari nash atau ijma, baik bentuk, sifat maupun jenisnya.

2. Al-Thufi berpendapat bahwa mashlahah merupakan dalil Syar’i mandiri yang kehujahannya tidak tergantung pada konfirmasi nash, tetapi hanya tergantung pada akal semata. Dengan demikian mashlahat merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh sebab itu kehujahan mashlahah tidak diperlukan dalil pendukung, karena mashlahah itu didasarkan kepada pendapat akal semata. Bagi Al-Thufi, untuk menyatakan sesuatu itu mashlahah atas dasar adat istiadat dan eksperiman, tanpa membutuhkan teks.

3. Mashlahah hanya berlaku dalam bidang mu'amalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam bidang ibadat (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan syara', seperti shalat zhuhur empat rakaat, puasa bukan Ramadlan selama sebulan, tawaf itu dilakukan tujuh kali, tidak termasuk objek mashlahah, karena masalahmasalah tersebut merupakan hak Allah semata.

4. At-Thufi menyatakan apabila nash dan ijma bertentangan dengan mashlahat, didahulukan mashlahat dengan cara takhsis dan bayan nash tersebut. Dalam pandangan al-Thufi secara mutlak mashlahah itu merupakan dalil syara' yang terkuat. Bagi Al-Thufi, mashlahah itu bukan hanya merupakan dalil ketika tidak adanya nash dan ijma ketika terjadi pertentangan antara keduanya. Pengutamaan mashlahah atas nash dan ijma tersebut, al-Thufi lakukan dengan cara bayan dan takhsis bukan dengan cara mengabaikan atau meninggalkan nash sama sekali, sebagaimana mendahulukan Sunnah atas Al-Qur’an dengan cara bayân. Hal demikian al-Thufi lakukan karena dalam pandangannya, mashlahah itu bersumber dari sabda Nabi: "La darâra wa la dirara" Pengutamaan dan mendahulukan mashlahah atas nash ini ditempuh baik nash itu qath’i dalam sanad dan matannya atau zhanny keduanya.

Jika mashlahat itu sesuai dengan nash ijma dan dalil-dalil syari’at lainnya, hal tersebut tidak perlu diperselisihkan lagi. Akan tetapi jika ternyata terjadi pertentangan antara mashlahah dengan dalil-dalil syara lainnya, jalan keluarnya dicari kesesuaiannya, seperti dengan bayan dan takhsis melalui mashlahat.

Reportase Yoga Nur Rahmat

Mahasiswa HKI Universitas Muhammadiyah Malang

Baca Juga: Dahulukan Menghilangkan Mafsadah daripada Mengambil Maslahah

Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(rhs)
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Dunia ibarat penjara orang-orang mukmin dan surganya orang-orang kafir.

(HR. Ibnu Majah No. 4103)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More