Murtad dan Penolakan Membayar Zakat Pascawafatnya Rasulullah

Selasa, 14 Juli 2020 - 08:41 WIB
loading...
Murtad dan Penolakan Membayar Zakat Pascawafatnya Rasulullah
Tokoh munafik Abdullah bin Ubay. Foto/Ilustrasi/Ist
A A A
BERITA wafatnya Nabi dengan cepat sekali menyebar dibawa orang kepada kabilah-kabilah. Tak ada suatu berita di kawasan Arab yang begitu cepat tersebar seperti berita ketika Rasulullah wafat. ( )

Begitu berita itu sampai kepada mereka, dari segenap penjuru mereka sudah memasang telinga dengan penuh perhatian. Mereka ingin melepaskan diri dari kekuasaan Madinah dan kembali kepada keadaan sebelum datangnya kerasulan Muhammad dan tersebarnya Islam ke tengah-tengah mereka.



Oleh karena itu orang-orang Arab pada setiap kabilah jadi murtad , dan timbul pula sifat-sifat munafik . Dalam pada itu, orang-orang Yahudi dan Nasrani pun sudah pula mengintai.

Lawan Islam jadi semakin banyak. Dengan tak adanya Nabi, mereka sudah seperti sekumpulan kambing pada malam musim hujan.



Muhammad Husain Haikal dalam As-Siddiq Abu Bakr menggambarkan sementara di Madinah terjadi perselisihan antara kaum Muhajirin dengan kaum Ansar mengenai pengganti Rasulullah , di banyak tempat kaum muslimin mulai keluar dari Islam, tak terkecuali penduduk Makkah.

Attab bin Asid, kuasa Rasulullah di Makkah sampai merasa khawatir. Kalau tidak karena kemudian tampil Suhail bin Amr di tengah-tengah mereka dengan mengatakan — setelah menerangkan tentang kematian Nabi — bahwa "Islam sekarang sudah bertambah kuat, dan barang siapa masih menyangsikan kami, akan kami penggal lehernya," niscaya mereka masih akan maju-mundur.



Tetapi di samping ancamannya itu, Suhail masih memberikan harapan, yang ternyata besar juga pengaruhnya. la menambahkan: "Ya, sungguh, Allah pasti menyempurnakan karunia-Nya kepada kamu sekalian, seperti kata Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam."



Ternyata kata-kata itu lebih besar pengaruhnya dalam hati mereka daripada ancaman. Itu jugalah yang membuat mereka surut dari maksud hendak membangkang. Baik penduduk Madinah maupun penduduk Makkah dari kalangan Quraisy, setelah melihat kenyataan ini akhirnya mereka menerima Abu Bakar sebagai Khalifah .

Hadis Rasulullah yang telah diingatkan oleh Suhail membuat mereka puas. Mereka kembali kepada Islam dan menaati ajaran-ajarannya.



Murtad massal juga nyaris terjadi pada kaum Saqif di Ta'if. Usman bin Abi al-As, kuasa Nabi di sana berkata kepada mereka: "Saudara-saudara dari Saqif, kamu adalah orang-orang yang terakhir masuk Islam, janganlah menjadi yang pertama murtad!"

Mereka teringat pada sikap Nabi terhadap mereka sesudah perang Hunain dan teringat juga adanya ikatan keturunan dan keluarga antara mereka dengan pihak Makkah, maka mereka pun kembali kepada Islam.

Baca Juga: Biografi Abu Bakar, Sahabat Paling Terdepan Membela Rasulullah SAW
Mungkin kedudukan Abu Bakar sebagai khalifah dan dukungan penduduk Makkah kepadanya memberi pengaruh juga kepada masyarakat Saqif, sama dengan yang di Makkah.

Kabilah-kabilah yang tinggal di antara Makkah, Madinah dan Ta'if keislamannya sudah mantap. Mereka ini terdiri dari kabilah-kabilah Muzainah, Gifar, Juhainah, Bali, Asyja', Aslam dan Khuza'ah.

Baca Juga: :Khalifah Umar Pecat Khalid bin Walid demi Selamatkan Tauhid Umat

Sedangkan kabilah-kabilah lain masih belum menentu. Di antara mereka, yang baru masuk Islam, ada yang murtad, ada yang karena ajaran Islam belum meresap ke dalam hati mereka, dan ada pula yang karena memang keyakinannya yang sudah kacau.

Menolak Zakat
Di samping itu, yang terbaik di antara mereka ada yang tetap berpegang pada Islam namun tidak menyukai adanya kekuasaan Madinah , baik oleh kalangan Muhajirin atau Ansar. Mereka itulah yang menganggap zakat itu sebagai pajak yang dibebankan Madinah kepada mereka. Jiwa mereka yang mau bebas dari segala kekuasaan menentang.



Sejak masuk Islam mereka mau melaksanakan kewajiban itu hanya kepada Rasulullah yang sudah menerima wahyu , dan yang menjadi pilihan Allah sebagai Nabi di antara hamba-Nya. Tetapi karena Nabi sudah berpulang ke rahmatullah, maka tak ada dari penduduk Madinah yang patut dimuliakan.

Selain Nabi, mereka tidak berhak memungut zakat. Kabilah-kabilah yang merasa keberatan menunaikan zakat ialah mereka yang tidak jauh dari Madinah, terdiri dari kabilah Abs dan Dubyan serta kabilah-kabilah lain yang bergabung dengan mereka, yakni Banu Kinanah, Gatafan dan Fazarah.

Mereka yang tinggal jauh dari Madinah lebih gigih lagi menentang. Sebagian besar mereka mengikuti orang-orang yang mendakwahkan diri nabi, seperti Tulaihah di kalangan Banu Asad, Sajah dari Banu Tamim, Musailimah di Yamamah dan ZutTaj Laqit bin Malik di Oman, di samping sejumlah besar pengikut-pengikut Aswad al-Ansi di Yaman.

Mereka menjadi pengikutnya hanya sampai waktu orang itu sudah mati. Sesudah itu mereka masih bersikeras dengan mengobarkan fitnah dan pembangkangan hingga berakhirnya perang Riddah.

Menurut Haekal, terjadinya pergolakan di kota-kota dan di daerah-daerah pedalaman terhadap kekuasaan Quraisy itu serta berbaliknya mereka dari Islam, bukan karena letak geografisnya dengan Madinah saja, tetapi karena faktor-faktor masyarakat Arab dan unsur-unsur asing lainnya, yang bekasnya tampak sekali pada saat-saat terakhir masa Rasulullah.

Islam tersebar dan masuk ke daerah-daerah yang jauh dari Makkah dan Madinah di semenanjung itu baru setelah penaklukan Makkah serta terjadinya ekspedisi Hunain dan pengepungan Ta'if.

Sampai pada waktu itu kegiatan Rasulullah terbatas di sekitar kedua kota suci itu, Makkah dan Madinah. Islam baru keluar perbatasan Makkah tak lama sebelum hijr'ah ke Yasrib (Madinah). Sampai sesudah hijrah pun selama beberapa tahun berikutnya kegiatan Nabi tetap tertuju untuk menjaga kebebasan dakwah Islam di tempat yang baru ini.

Setelah kaum Muslimin berhasil menghilangkan kekuasaan Yahudi di Yasrib, dan sesudah memperoleh kemenangan di Makkah, barulah orang-orang itu mau menerima agama yang benar ini. Utusan-utusan berdatangan dari segenap penjuru Semenanjung untuk menyatakan telah masuk Islam.

Nabi pun mengutus wakil-wakilnya untuk mengajarkan dan memperdalam ajaran Islam serta sekaligus memungut zakat, infak dan sedekah.

Menurut Haekal, wajar saja bila agama ini tidak dapat mengakar ke dalam hati kabilah-kabilah itu seperti yang sudah dihayati oleh penduduk Makkah dan Madinah serta masyarakat Arab yang berdekatan di sekitarnya.

Di tempat asalnya, Islam memerlukan waktu dua puluh tahun penuh untuk menjadi stabil. Selama itu pula lawan-lawannya terus berusaha mati-matian melancarkan permusuhan, yang berlangsung hingga selama beberapa tahun. Akibat dari semua itu, kemudian permusuhan berakhir dengan kemenangan di tangan Islam.



Ajaran-ajarannya sekarang dapat dirasakan dan meresap ke dalam hati orang-orang Arab Makkah, Ta'if, Madinah serta tempat-tempat dan kabilah-kabilah berdekatan yang dapat berhubungan dengan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.

Tetapi mereka yang berada jauh dari daerah yang pernah menyaksikan kegiatan Nabi Muhammad selama bertahun-tahun terus-menerus itu, mengajak orang kepada ajaran Allah dan agama Allah, agama baru itu tidak membekas pada mereka.

Bahkan mereka memberontak dan berusaha hendak kembali kepada kebebasan politik dan agamanya yang lama.

Haekal mengatakan dalam membangkitkan pergolakan ini faktor-faktor asing sebenarnya tidak pula kurang pengaruhnya daripada faktor-faktor setempat.

Makkah dan Madinah serta para kabilah di sekitarnya sama sekali tidak mau tunduk pada kekuasaan Persia atau Romawi yang ketika itu memang sedang menguasai dunia.



Bagian utara Semenanjung itu bersambung dengan Syam, sebelah selatannya bersambung dengan Persia dan berdekatan dengan Abisinia (Etiopia), dan keduanya sudah berada di bawah pengaruh kedua imperium itu. Bahkan kawasan itu dan beberapa keamiran sudah berada di bawah kekuasaan mereka.

Dengan demikian tidaklah mengherankan, menurut Haekal, jika pihak yang merasa punya pengaruh dan kekuasaan itu mati-matian berusaha hendak menentang agama baru ini dengan segala cara, dengan jalan propaganda politik, menganjurkan kekuasaan otonomi, dan dengan propaganda agama, kadang untuk kepentingan pihak Nasrani, kadang untuk kepentingan pihak Yahudi dan adakalanya untuk kepentingan paganisma Arab.



Kegiatan segala faktor itu tampak jelas pengaruhnya begitu tersebar berita tentang kematian Nabi. Dengan cukup berhati-hati kegiatan itu sebenarnya memang sudah mulai tampak sebelum Rasulullah wafat.

Menurut Haekal, mereka yang enggan menunaikan kewajiban zakat berkata di antara sesama mereka: Kalau kaum Muhajirin dan Ansar sudah berselisih mengenai kedaulatan, dan Rasulullah wafat tidak meninggalkan wasiat siapa yang akan menggantikannya, maka sudah seharusnya kita mempertahankan kemerdekaan kita sendiri justru demi menjaga Islam agama kita.



Dan seperti kalangan Muhajirin dan Ansar, kita pun berhak menentukan pilihan siapa yang akan bertindak menggantikan Rasulullah di antara kita. Adapun bahwa kita harus tunduk kepada Abu Bakar atau kepada yang lain, bukanlah itu yang dikehendaki agama, juga Qur'an tidak mengajarkan demikian. Kita wajib taat kepada orang yang kita serahi urusan kita sendiri.

“Barangkali mereka yang berpikiran serupa itu masih dapat dimaafkan mengingat Rasulullah sendiri memang mengakui adanya sebagian kekuasaan otonomi pada beberapa daerah Arab dan kabilah itu,” tutur Haekal.

Mereka berpikir untuk mengambil kemerdekaan itu sepenuhnya setelah Nabi wafat. Badhan, gubernur Persia di Yaman tetap memegang kekuasaan setelah ia menyatakan dirinya masuk Islam dan meninggalkan agama Majusi.



Para amir yang lain, seperti di Bahrain, Hadramaut dan yang lain, dibiarkan dalam kekuasaan masing-masing setelah mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Zakat yang dipungut dari sebagian penduduk daerah itu dibagikan kepada orang-orang miskin di daerah itu juga.

Keharusan membayar jizyah yang ditentukan oleh Islam hanya berlaku terhadap Ahli Kitab. Masyarakat Arab Muslimin seperti penduduk Madinah, kenapa mereka membayar zakat kepada penguasa Madinah! Kenapa mereka tidak mempertahankan hubungannya dengan Madinah dalam arti hubungan kesatuan agama yang tak ada hubungannya dengan kekuasaan politik! Soalnya Madinah sudah lebih dulu mengenal Islam sehingga mereka lebih tahu tentang segala kewajiban dan ajaran-ajaran Islam.



Mereka tinggal mengutus orang ke daerah-daerah dan kepada kabilah-kabilah lain untuk mengajarkan agama, seperti dulu dilakukan oleh Rasulullah, sehingga hubungan mereka satu sama lain lebih menyerupai perserikatan antar-umat Islam.

Satu sama lain tidak saling dirugikan dan tidak mencari jalan untuk melanggar kemerdekaan pihak lain.

Haekal mengatakan pikiran ini yang berkecamuk pada sebagian kabilah yang berdekatan dengan Madinah, Makkah dan Ta'if.



Sedangkan penduduk Yaman dan selatan Semenanjung di seberangnya, begitu juga kawasan-kawasan lain yang jauh dari pusat kedudukan Islam, mereka banyak yang menerima Islam sebagai penghormatan saja atas kekuasaan Nabi Muhammad yang dalam waktu pendek tersebar luas hingga mencapai perbatasan imperium Romawi dan Persia.

Penyebarannya yang begitu cepat memang sangat mengagumkan, sehingga setiap kabilah itu berturut-turut mengirimkan utusan ke Madinah menyatakan kepada Nabi bahwa mereka dan kabilah-kabilah lain yang tergabung ke dalamnya masuk Islam.

Tetapi dengan tersebarnya berita bahwa Nabi wafat, tidak heran jika iman mereka jadi goyah dan mereka berbalik murtad dari agama yang baru saja mereka terima. Juga tidak heran jika mereka kemudian membangkang terhadap agama ini lalu terbawa oleh orang-orang yang mengobarkan fitnah dan api permusuhan atas nama fanatisma dan kecongkakan Arabnya. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2081 seconds (0.1#10.140)