Larangan Memotong Kuku dan Rambut untuk Shohibul Qurban

Senin, 19 Juni 2023 - 16:59 WIB
loading...
A A A
Dijelaskan bahwa hikmah dari larangan ini adalah bahwa semua anggota tubuh kita sekecil apa pun akan diselamatkan dari api neraka. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa larangan tersebut untuk menyerupai (tasybih) larangan bagi orang yang sedang ihram untuk menyembelih dan berburu hewan apa pun.

Akan tetapi kalangan Syafiiyyah mengatakan bahwa pendapat terakhir ini adalah salah. Karena alasan seperti: pada saat ihram kita diperintahkan untuk tidak memakai wewangian, namun dalam berkurban tidak demikian. (An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj: 1257).



Implikasi Hukum Fiqih dari Hadis ini

Ahmad Nur Kholis menjelaskan hukum fiqih didasarkan kepada adanya perintah (amr) atau larangan (nahy) di dalam suatu nash baik Al-Qur’an maupun hadis.

Dari adanya redaksi perintah atau larangan tersebut lalu kita akan meneliti lebih lanjut tentang apakah perintah tersebut menyatakan kewajiban, anjuran, atau kebolehan.

Dari redaksi larangan, kita akan dapat meneliti lebih lanjut apakah larangan itu masuk ke dalam pernyataan haram, atau makruh. Tentunya kesemuanya itu berdasarkan dalil petunjuk (qarinah) yang ada setelah memperbandingkan dengan nash-nash (ayat atau hadits yang lain).

Di dalam kasus teks hadis di atas sebagaimana dikutip dari Sahih Muslim di atas, terdapat larangan yang menyatakan: ـ.... فلا يمس من شعره وبشره شيأ Artinya: ".... maka jangan menyentuh (memotong) sesuatu apa pun dari rambut dan kulitnya."

Apa konsekuensi hukum dari larangan memotong rambut (dan semua rambut di tubuh) ini? Adakah ia menghendaki haram ataukah makruh?

Dari sini terdapat perbedaan pendapat para ulama: Abu Hanifah berpendapat tidak makruh. Imam Malik berpendapat tidak makruh dalam suatu riwayat, dan menyatakan makruh dalam riwayat yang lain. Imam Syafi’i dan pengikutnya menyatakan bahwa hal tersebut adalah makruh (makruh tanzih) dan bukanlah haram.

Imam Ahmad, Ishaq bin Rawaih, Abi Dawud, dan sebagian dari kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa hal tersebut hukumnya adalah haram. Keharamannya ini sampai selesai ia disembelihnya hewan kurban. (An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin Hajjaj: 1257)

Pendapat yang menyatakan haram didasarkan kepada beberapa hadis (An-Nawawi: 1257). Pendapat ini juga mengambil hukum asal dari larangan, yaitu haram. Dan dengan demikian membatalkan qiyas.



Di samping itu para ulama yang mengatakan makruh adalah dengan jalan memperbandingkan hadis Aisyah yang sifatnya umum. Adapun hadis dalam masalah ini adalah hadis khusus yang harus didahulukan.

Al-Atsyubi di dalam Syarah Sunan Nasai mengatakan: “Tuntutan dari larangan itu (pada dasarnya) adalah haram. Dan ini membatalkan qiyas. Sedang hadis mereka (yang menyatakan makruh) adalah hadis yang umum. Sedang hadis (tentang larangan mencukur rambut) ini adalah hadis khusus yang harus didahulukan. Dengan menghilangkan keumuman atas yang selain apa yang dikhususkan oleh hadis khusus. (Al-Atsyubi (33), hlm277)

Adapun pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan tidak makruh memiliki alasan tersendiri. Hal ini menyatakan konsekuensi logisnya bahwa mengikuti anjuran hadis tersebut di atas adalah juga tidak mustahab (sunnah).

Alasannya, bagi Imam Abu Hanifah, kemakruhan dan keharaman sesuatu itu hanya bisa diputuskan dengan dalil khusus yang menyatakan hal itu (As-Sya’rani, Al-Mizan Al-Kubra, 1: 52).

Dengan demikian, Imam Abu Hanifah menyamakan implikasi hukum dari hadis di atas adalah sebagaimana perintah makan dan minum dalam ayat yang berimplikasi pada hukum mubah.

Sedangkan Imam Syafi’i yang menyatakan makruh tanzih didasarkan kepada hadis lain dalam Sahih al-Bukhari:

عن عائشة رضي الله عنها قالت: (كنت أفتل قلائد هدي رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يقلده ويبعث به ولا يحرم عليه شيء أحل الله حتى ينحر هديه) رواه البخارى ومسلم
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1766 seconds (0.1#10.140)