Kisah Konspirasi Yahudi Menjadikan Palestina sebagai Pusat Kegiatan Internasional

Senin, 11 Desember 2023 - 12:08 WIB
loading...
Kisah Konspirasi Yahudi Menjadikan Palestina sebagai Pusat Kegiatan Internasional
Politik Zionisme telah meletakkan dua sasaran yang hendak dicapai untuk menuju ke Palestina. Foto/Ilustrasi: Anadolu
A A A
Konspirasi Yahudi Internasional mengincar Palestina sebagai impian lama. "Bumi Palestina akan dijadikan poros bagi program dan titik pemusatan kegiatan internasional bagi Konspirasi," tulis tulis William G. Carr dalam bukunya berjudul "Yahudi Menggenggam Dunia" (Pustaka Kautsar, 1993). .

Hal ini bisa dimaklumi, kata Willliam, karena Palestina adalah pusat terpenting wilayah Timur Tengah dan Timur Dekat. Secara geografis, Palestina merupakan jalur penghubung antara tiga benua, yaitu Afrika , Eropa dan Asia. Di samping itu, kekayaan emas hitam yang terdapat di wilayah itu merupakan kebutuhan dunia dalam jumlah melimpah.



Dengan demikian, politik Zionisme telah meletakkan dua sasaran yang hendak dicapai untuk menuju ke Palestina, yaitu:

1) Memaksa negara di dunia untuk mengakui negara nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina, yang kemudian akan dijadikan pusat kegiatan Konspirasi untuk meletakkan memprakarsai Perang Dunia III.

2) Menguasai seluruh sumber kekayaan alam yang terdapat di wilayah itu.

William G. Car lalu mengetengahkan tahapan program kerja yang dijadikan landasan bagi pelaksanaan program konspirasi.

Langkah pertama, mereka mengeluarkan deklarasi Balfour tahun 1917 yang telah mengikat Inggris, Prancis dan Amerika Serikat untuk mendukung berdirinya sebuah negara nasional bagi bangsa Yahudi di bumi Palestina.

Untuk melaksanakan hal itu, Jenderal Allenby langsung diberi instruksi untuk memukul mundur pasukan Turki Utsmani keluar dari wilayah Timur Tengah dan menduduki Yerusalem.



Penguasa Inggris sengaja merahasiakan deklarasi Balfour selama masa operasi militernya, dengan dukungan pasukan Arab nasional, di bawah bendera Syarif Hussein, Amir Makkah.

Sedangkan para pemilik modal internasional pada saat operasi militer Inggris di wilayah Palestina masih berlangsung, telah mendesak pemerintah Inggris untuk menentukan perwakilan Organisasi Zionisme di Palestina, dan menentukan anggota politisi Zionis untuk menjadi anggota perwakilan itu.

Tuntutan itu diajukan kepada penguasa militer Inggris di Palestina, jenderal Crayton, dan segera dikabulkan pada bulan Maret 1915.

Politisi yang menjadi anggota perwakilan itu adalah:

Kolonel Orampsey Rigor, yang kelak menjadi direktur Bank Standard di Afrika Selatan, yaitu sebuah bank yang menguasai pertambangan emas dan logam mulia lainnya di Afrika Selatan. Dan dia pula yang mendukung dana kepada sistem politik Apartheid.



Haim Weizman yang kelak menjadi perdana menteri Israel pertama. Komite perwakilan Zionisme ini telah berada di Palestina sebelum diadakan perundingan damai, bahkan sebelum Perang Dunia I usai. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan momen yang tepat sebelum masalah Palestina dibicarakan di forum mendatang, yaitu perjanjian Versailles. Kemudian perundingan damai dimulai, dan para pemilik modal internasional membuka kedok. Tampak jelaslah pengaruh mereka.

"Kita tidak perlu memperjelas lagi, tapi cukup dengan menyebutkan beberapa analisa singkat," tulis William.

Dalam perundingan ini, ketua utusan Amerika adalah Paul Warburg, sebagai wakil pemilik modal internasional di Amerika Serikat. Ketua utusan Jerman adalah saudara kandung Paul sendiri, Mark Warburg.

Mark mewakili negara musuh sekutu yang kalah perang. Sementara itu, Paul mewakili negara yang menang perang. Perundingan damai seperti itu lalu menjadi perundingan pemerasan, yang seluruh keputusan yang berbuntut jahat dan mengakibatkan timbulnya bahaya itu bisa disetujui.



Pada masalah yang berhubungan dengan Palestina, sejumlah tokoh Zionis Inggris dalam perundingan itu meletakkan rancangan pemerintahan perwakilan Inggris di wilayah itu, di antaranya adalah:

- Profesor Philex Frankfurner, yang kelak menjadi penasihat presiden di Gedung Putih pada masa pemerintahan Franklin Roosevelt.

- Sir Herbert Samuel, komisioner tinggi pertama di Palestina setelah pendudukan pasukan Inggris.

- Lushian Wolf, seorang penasihat pribadi perdana menteri Inggris Lloyd George.

Ketika perundingan pendahuluan dimulai, penasihat khusus bagi perdana menteri Prancis Monscour Clemenceau adalah Madell. Nama ini adalah nama samaran. Nama yang sebenarnya adalah Rothschild, yaitu salah satu anggota keluarga besar Rothschild.

Sedang salah satu penasihat presiden Amerika Serikat yang menjadi delegasi dalam perundingan itu adalah Mr. Morganthow, yang putranya kelak memegang kementerian keuangan pada masa pemerintahan Roosevelt.



William G. Carr mengatakan para pemilik modal internasional tidak segan-segan mencampakkan topeng mereka. Untuk membuktikan hal ini, berikut ini dikutipkan beberapa kalimat yang ditulis oleh Lushian Wolf dalam bukunya yang berjudul "Steadies on The Jewish History" halaman 408:

"Sejumlah nama politisi muncul pada perundingan perdamaian, dan yang menandatangani perjanjian itu atas nama negara-negara Italia, Perancis dan India adalah tokoh-tokoh Yahudi yang mewakili negara masing-masing.

Mereka adalah Baron Somito mewakili Italia, Louis Cloudes mewakili Prancis, dan Edvin Montagio mewakili India. Mereka semua adalah orang Yahudi."

Sebaiknya baik pula untuk kita simak kata-kata beberapa penulis yang tidak perlu kita beri komentar. Seorang sejarawan Inggris terkenal Harold Nicolon dalam bukunya "Menciptakan Perdamaian" 1919-1944 (Making Peace 1919-1944) halaman 44 mengatakan, bahwa Lushian Wolf minta secara pribadi kepadanya, agar ia mau menunjukkan pendapatnya tentang orang-orang Yahudi yang harus diberi perlindungan internasional.

Dalam waktu yang sama mereka juga harus diberi hak seperti layaknya warga negara lain, di mana pun mereka berada.



Seorang penulis Perancis George Pateau dalam bukunya yang diberi judul "Masalah Yahudi" (The Problem ofthe Jews) halaman 38 mengatakan:

"Tanggung jawab diberikan kepada orang Yahudi yang telah mengelilingi presiden Amerika Serikat Wilson, perdana menteri Prancis Clemenceau dan perdana menteri Inggris Lloyd George, dalam menyulap perundingan damai menjadi perundingan Yahudi."

Selanjutnya perlu juga disinggung mengenai peristiwa yang terjadi pada saat perundingan berlangsung di Paris tahun 1919, saat presiden Wilson pada mulanya mengajukan pendapatnya yang sangat jitu. Akan tetapi sayang, tiba-tiba ia mendapat telegram tertanggal 28 Maret 1919 terdiri dari 2000 kata, yang dikirim kepadanya secara pribadi oleh Yacob Sheiff, wakil pemilik modal internasional di Amerika.

Telegram itu berisi gagasan pihak yang diwakili Yacob Sheiff mengenai 5 masalah internasional, yaitu masalah Palestina, pampasan perang yang harus dibayar oleh Jerman, masalah Sisilia, Terusan Danring dan wilayah Sarre (Jerman).



Telegram ini telah mempengaruhi pendirian presiden Wilson, dan membuatnya berubah pendirian, sehingga jalan perundingan dibuatnya berputar haluan.

Duta besar Perancis untuk Inggris, pada waktu itu De San O'clear melukiskan peristiwa itu dalam bukunya mengenai politik yang kelak ia tulis, berjudul "Jenewa menuju Perdamaian" (Jeneve Towards Peace) menyebutkan, bahwa isi teks yang terkandung dalam perjanjian Versailles berkenaan dengan 5 masalah itu adalah hasil rancangan Yacob Sheiff dan orang-orang sedarahnya.

Masalah Palestina merupakan agenda pembicaraan yang paling banyak difokuskan oleh para peserta. Sebelum gerakan Yahudi terselubung selesai menentukan pemerintahan perwakilan Inggris di Palestina dalam perundingan damai itu, mereka telah mengalihkan program mengenai point yang lain, yaitu persiapan untuk merancang pecahnya Perang Dunia II.

Maka isi rumusan perundingan damai yang dibebankan kepada Jerman sangat tidak adil dan memberatkan. Hal ini merupakan bibit-bibit ketidakpuasan di kalangan bangsa Jerman yang kelak menimbulkan dendam nasional.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3127 seconds (0.1#10.140)