Prostitusi di Masa Nabi Muhammad dan Asbabun Nuzul Surat An-Nur Ayat 33
loading...
A
A
A
PELACURAN atau prostitusi telah ada sejak dulu kala. Urusan esek-esek ini juga ada di Makkah pada era Rasulullah SAW . Begitu juga di Madinah . Ada banyak riwayat yang menceritakan soal prostitusi yang berkembang di zaman Rasulullah SAW. (
)
Tengok saja dalam Shahih al-Bukhari pada bab permulaan wahyu (kitab bad’i al-wahy). Dalam riwayat tersebut ‘Aisyah RA menceritakan tentang fenomena perkawinan yang terjadi pada masa jahiliyah. Menurut ‘Aisyah RA, ada empat model perkawinan atau berhubungan badan pada masa itu.
Pertama, kawin yang kita kenal pada hari ini (setelah Islam datang). Seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada walinya, lalu membayar mahar, kemudian menikahinya. ( )
Kedua, disebut dengan istibdha’. Bentuk perkawinan ini adalah ketika seorang laki-laki berkata kepada istrinya, pada saat istrinya itu telah suci dari haid, “Pergilah kepada si Fulan, kemudian mintalah untuk disetubuhi”, dan suaminya sendiri menjauhinya, tidak menyentuhnya sama sekali sehingga jelas istrinya itu telah mengandung dari hasil hubungannya dengan laki-laki itu.
Kemudian apabila telah jelas kehamilannya , lalu suaminya itu mulai menyetubuhinya lagi apabila dia suka. Tujuan dari model perkawinan semacam ini adalah untuk mendapatkan benih dari laki-laki lain.
Ketiga, perkawinan model yang lain yaitu sejumlah laki-laki, antara 3 sampai 10 orang berkumpul, lalu mereka semua mencampuri seorang wanita. Apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anaknya, selang beberapa hari perempuan itu memanggil mereka dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat menolak panggilan tersebut sehingga merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. ( )
Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “Sungguh kalian semua telah mengetahui urusan kalian, sedang aku sekarang telah melahirkan, dan anak ini adalah anakmu hai fulan”. Dan wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak boleh menolaknya.
Keempat, berhimpun laki-laki yang banyak, lalu mereka mencampuri seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya. Sebab mereka itu adalah pelacur-pelacur yang sengaja memasang bendera-bendera di muka pintu rumah mereka sebagai tanda bahwa itu rumah bordir.
Siapa saja yang menginginkannya boleh masuk. Kemudian jika salah seorang di antara wanita itu ada yang hamil dan melahirkan anaknya, maka para laki-laki tadi berkumpul di situ. Dan mereka pun memanggil orang-orang ahli firasat, lalu dihubungkanlah anak itu kepada ayahnya oleh orang-orang ahli firasat itu menurut anggapan mereka. Maka anak itu pun diakuinya, dan dipanggil sebagai anaknya, dimana orang (yang dianggap sebagai ayahnya) itu tidak boleh menolaknya. ( )
Di akhir riwayatnya, ‘Aisyah mengatakan bahwa dari keempat model perkawinan di atas, hanya perkawinan model pertama yang dibolehkan dalam Islam.
Setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah turunlah ayat terkait dengan larangan seorang mucikari memaksa budak perempuannya untuk berzina . Hal ini dikisahkan dalam surah al-Nur ayat 33 berikut:
وَلاَ تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ، وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
“…Janganlah kalian memaksa perempuan-perempuan kalian untuk melacur padahal mereka menghendaki menjaga diri mereka, (jangan kalian melakukannya) hanya untuk mencari kehidupan dunia. Dan barangsiapa yang yang memaksa mereka, maka Allah adalah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang setelah pemaksaan mereka.” (QS Al-Nur: 33)
Syaikh Yusud al-Qardhawi dalam bukunya berjudul Halal dan Haram dalam Islam sedikit menyinggung masalah ini. Pada masa sebelum Islam, katanya, sebagian orang-orang jahiliah ada yang menetapkan upah pekerjaan harian hamba-hamba perempuannya dan hasilnya supaya diserahkan kepada tuannya dengan jalan apapun. ( )
Maka turunlah ayat tersebut (QS Al-Nur: 33). Setelah Islam datang, seluruh anak-anak, putera maupun puteri diangkat dari perbuatan yang hina itu.
Ibnu Abbas meriwayatkan, sesungguhnya Abdullah bin Ubay kepala munafiqin , datang kepada Nabi sambil membawa seorang hamba perempuan yang cantik jelita, namanya Mu'adzah, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah! Ini adalah hamba milik anak yatim, apakah tidak tepat kalau kau suruh dia untuk melacur supaya anak-anak yatim itu dapat mengambil upahnya? Maka jawab Nabi: "tidak" (Lihat Tafsir Razi 23:220).
Selain tokoh menafikun, ‘Abdullah bin Ubay adalah seorang mucikari. Ia juga memaksa budak perempuannya untuk melacur. Cara ini ditempuh tidak lain adalah agar ia memeroleh keuntungan dari hasil prostitusi tersebut. ( )
Selain Mu’adzah, dia juga punya budak bernama Masikah. Dan ketika keduanya menolak untuk bekerja lagi sebagai pelacur, ‘Abdullah bin Ubay bertanya:
“Mengapa kalian tidak lagi melacur?”
“Tidak kami tidak akan lagi mau melacurkan diri!” jawab keduanya.
Kemudian ‘Abdullah bin Ubay memukul keduanya. Dan turunlah ayat tersebut.
Si Cantik Mu‘adzah
Alkisah, selama hidupnya, Mu‘adzah senantiasa merealisasikan butir-butir dalam perjanjian dan pembaiatan meskipun ia adalah seorang budak.
Ketika Mu‘adzah masuk Islam dan membaiat Nabi Muḥammad SAW, dia masih menjadi budak ‘Abdullāh bin Ubay yang ketika itu mempunyai seorang tawanan laki-laki.
‘Abdullāh selalu memukul Mu‘adzah agar tawanan itu bisa melacurnya sampai ia hamil lalu mengambil anak hasil pelacuran tersebut sebagai barang dagangan. Dan perdagangan tersebut, ‘Abdullāh bin Ubay bisa mengeruk keuntungan. ( )
Sementara itu, Mu‘ādzah, sebagai seorang muslimah yang harus menjaga kesuciannya tentunya tidak mau menjerumuskan dirinya ke dalam dunia hitam tersebut.
Al-Qardhawi mengatakan Nabi melarang mencari matapencaharian dengan usaha yang kotor ini, betapapun tingginya bayaran yang diperoleh. Beliau pun tetap tidak memperkenankan setiap apa yang dikatakan karena terpaksa, karena kepentingan atau untuk mencapai sesuatu tujuan. Motifnya supaya masyarakat Islam tetap bersih dari kotoran-kotoran yang sangat membahayakan ini.
Mu‘adzah adalah seorang wanita muslimah yang menjaga kesucian dan kemuliannya, sehingga sejarah mengenangnya dengan penyucian diri dan kemuliaan, meskipun dia hanya seorang hamba sahaya, bukan wanita merdeka. ( )
Akhirnya, pertolongan Allah pun datang. Mu‘adzah dimerdekakan lalu menikah dengan Sahal bin Qirthah.
Sungguh Allah SWT telah memuliakan wanita muslimah ini, hingga turunlah ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan dirinya, di mana ayat tersebut menjelaskan tentang penolakannya untuk perbuatan zina, sebab dia adalah seorang muslimah yang telah dididik oleh Islam dan mengetahuinya tentang kewajiban menjaga kesucian diri dari hal-hal yang hina.
Riwayat Lain
Penyebab turunnya Surat An-Nuur ayat 33 memang banyak versi. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nama budak ‘Abdullah bin Ubay itu Masikah dan Amimah yang keduanya mengadu kepada Rasulullah SAW, karena dipaksa melacur maka turunlah ayat tersebut. [Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sufyan yang bersumber juga dari Jabir bin’Abdillah]. ( )
Namun ada juga riwayat lain yang menyebut ayat ini turun berkaitan dengan Masikah, budak milik seorang Anshar. Ia mengadu kepada Rasulullah bahwa tuannya memaksanya untuk melacur. (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abuz Zubair yang bersumber dari Jabir).
Riwayat lain lagi dikemukakan bahwa ‘Abdullah bin Ubay mempunyai seorang budak yang suka disuruh melacur sejak jaman jahiliah. Ketika zina diharamkan, budak tersebut tidak mau lagi melakukannya sehingga turun ayat tersebut. (diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabarani dengan dan sanad yang shahih, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Diriwayatkan pula oleh Al-Bazzar dengan sanad yang daif, yang bersumber dari Anas, dengan tambahan bahwa nama jariah itu Mu’adzah).
Lain lagi yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur dari Sya’ban, dari ‘Amr bin Dinar, yang bersumber dari ‘Ikrimah. Dikemukan bahwa ‘Abdullah bin Ubay mempunyai dua orang budak: Mu’adzah dan Masikah. Keduanya ia paksa untuk melacurkan diri. ( )
Berkatalah salah seorang diantara kedua jariah itu: “Sekiranya perbuatan itu baik, engkau telah memperoleh hasil banyak dari perbuatan itu. Namun, sekiranya perbuatan itu tidak baik sudah sepantasnyalah aku meninggalkannya.”
Hanya Perempuan Budak
Meskipun banyak terjadi prostitusi di Makkah dan Madinah pada masa jahiliyah, namun hal ini hanya terjadi kepada budak-budak perempuan dan pelacur-pelacur yang memasang bendera (adalah simbol rumah bordir) di rumah mereka saja.
Disebutkan oleh Al-Shallabi dalam al-Sirah al-Nabawiyyah ‘Ardh Waqa’i’ wa Tahlil al-Ahdats bahwa perempuan-perempuan merdeka jarang sekali yang terlibat di dalam praktik prostitusi ini. (
)
Bukti terkait minimnya keterlibatan perempuan merdeka adalah, pernah suatu ketika Rasulullah SAW meminta janji setia (bai’at) kepada perempuan-perempuan Makkah setelah Fathu Makkah, Rasulullah meminta mereka bersumpah untuk tidak menyekutukan Allah, mencuri dan melakukan perzinahan. Namun tiba-tiba Hindun binti ‘Utbah istri Abu Sufyan mengatakan: “Apakah pantas seorang perempuan merdeka berzina? (awa tazni al-hurrah ?).”
Pernyataan Hindun menunjukkan adanya sentimen yang menunjukkan bahwa kelas perempuan merdeka tidak layak bekerja di bidang prostitusi. Berbeda dengan perempuan budak pada masa itu.
Ini membuktikan bahwa tidak semua orang Arab jahiliah melakukan perzinaan, banyak di antara mereka (khususnya perempuan merdeka) yang tidak berzina. ( )
Tengok saja dalam Shahih al-Bukhari pada bab permulaan wahyu (kitab bad’i al-wahy). Dalam riwayat tersebut ‘Aisyah RA menceritakan tentang fenomena perkawinan yang terjadi pada masa jahiliyah. Menurut ‘Aisyah RA, ada empat model perkawinan atau berhubungan badan pada masa itu.
Pertama, kawin yang kita kenal pada hari ini (setelah Islam datang). Seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada walinya, lalu membayar mahar, kemudian menikahinya. ( )
Kedua, disebut dengan istibdha’. Bentuk perkawinan ini adalah ketika seorang laki-laki berkata kepada istrinya, pada saat istrinya itu telah suci dari haid, “Pergilah kepada si Fulan, kemudian mintalah untuk disetubuhi”, dan suaminya sendiri menjauhinya, tidak menyentuhnya sama sekali sehingga jelas istrinya itu telah mengandung dari hasil hubungannya dengan laki-laki itu.
Kemudian apabila telah jelas kehamilannya , lalu suaminya itu mulai menyetubuhinya lagi apabila dia suka. Tujuan dari model perkawinan semacam ini adalah untuk mendapatkan benih dari laki-laki lain.
Ketiga, perkawinan model yang lain yaitu sejumlah laki-laki, antara 3 sampai 10 orang berkumpul, lalu mereka semua mencampuri seorang wanita. Apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anaknya, selang beberapa hari perempuan itu memanggil mereka dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang dapat menolak panggilan tersebut sehingga merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. ( )
Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “Sungguh kalian semua telah mengetahui urusan kalian, sedang aku sekarang telah melahirkan, dan anak ini adalah anakmu hai fulan”. Dan wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak boleh menolaknya.
Keempat, berhimpun laki-laki yang banyak, lalu mereka mencampuri seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya. Sebab mereka itu adalah pelacur-pelacur yang sengaja memasang bendera-bendera di muka pintu rumah mereka sebagai tanda bahwa itu rumah bordir.
Siapa saja yang menginginkannya boleh masuk. Kemudian jika salah seorang di antara wanita itu ada yang hamil dan melahirkan anaknya, maka para laki-laki tadi berkumpul di situ. Dan mereka pun memanggil orang-orang ahli firasat, lalu dihubungkanlah anak itu kepada ayahnya oleh orang-orang ahli firasat itu menurut anggapan mereka. Maka anak itu pun diakuinya, dan dipanggil sebagai anaknya, dimana orang (yang dianggap sebagai ayahnya) itu tidak boleh menolaknya. ( )
Di akhir riwayatnya, ‘Aisyah mengatakan bahwa dari keempat model perkawinan di atas, hanya perkawinan model pertama yang dibolehkan dalam Islam.
Setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah turunlah ayat terkait dengan larangan seorang mucikari memaksa budak perempuannya untuk berzina . Hal ini dikisahkan dalam surah al-Nur ayat 33 berikut:
وَلاَ تُكْرِهُوا فَتَيَاتِكُمْ عَلَى الْبِغَاءِ إِنْ أَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِتَبْتَغُوا عَرَضَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ، وَمَنْ يُكْرِهْهُنَّ فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
“…Janganlah kalian memaksa perempuan-perempuan kalian untuk melacur padahal mereka menghendaki menjaga diri mereka, (jangan kalian melakukannya) hanya untuk mencari kehidupan dunia. Dan barangsiapa yang yang memaksa mereka, maka Allah adalah yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang setelah pemaksaan mereka.” (QS Al-Nur: 33)
Syaikh Yusud al-Qardhawi dalam bukunya berjudul Halal dan Haram dalam Islam sedikit menyinggung masalah ini. Pada masa sebelum Islam, katanya, sebagian orang-orang jahiliah ada yang menetapkan upah pekerjaan harian hamba-hamba perempuannya dan hasilnya supaya diserahkan kepada tuannya dengan jalan apapun. ( )
Maka turunlah ayat tersebut (QS Al-Nur: 33). Setelah Islam datang, seluruh anak-anak, putera maupun puteri diangkat dari perbuatan yang hina itu.
Ibnu Abbas meriwayatkan, sesungguhnya Abdullah bin Ubay kepala munafiqin , datang kepada Nabi sambil membawa seorang hamba perempuan yang cantik jelita, namanya Mu'adzah, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah! Ini adalah hamba milik anak yatim, apakah tidak tepat kalau kau suruh dia untuk melacur supaya anak-anak yatim itu dapat mengambil upahnya? Maka jawab Nabi: "tidak" (Lihat Tafsir Razi 23:220).
Selain tokoh menafikun, ‘Abdullah bin Ubay adalah seorang mucikari. Ia juga memaksa budak perempuannya untuk melacur. Cara ini ditempuh tidak lain adalah agar ia memeroleh keuntungan dari hasil prostitusi tersebut. ( )
Selain Mu’adzah, dia juga punya budak bernama Masikah. Dan ketika keduanya menolak untuk bekerja lagi sebagai pelacur, ‘Abdullah bin Ubay bertanya:
“Mengapa kalian tidak lagi melacur?”
“Tidak kami tidak akan lagi mau melacurkan diri!” jawab keduanya.
Kemudian ‘Abdullah bin Ubay memukul keduanya. Dan turunlah ayat tersebut.
Si Cantik Mu‘adzah
Alkisah, selama hidupnya, Mu‘adzah senantiasa merealisasikan butir-butir dalam perjanjian dan pembaiatan meskipun ia adalah seorang budak.
Ketika Mu‘adzah masuk Islam dan membaiat Nabi Muḥammad SAW, dia masih menjadi budak ‘Abdullāh bin Ubay yang ketika itu mempunyai seorang tawanan laki-laki.
‘Abdullāh selalu memukul Mu‘adzah agar tawanan itu bisa melacurnya sampai ia hamil lalu mengambil anak hasil pelacuran tersebut sebagai barang dagangan. Dan perdagangan tersebut, ‘Abdullāh bin Ubay bisa mengeruk keuntungan. ( )
Sementara itu, Mu‘ādzah, sebagai seorang muslimah yang harus menjaga kesuciannya tentunya tidak mau menjerumuskan dirinya ke dalam dunia hitam tersebut.
Al-Qardhawi mengatakan Nabi melarang mencari matapencaharian dengan usaha yang kotor ini, betapapun tingginya bayaran yang diperoleh. Beliau pun tetap tidak memperkenankan setiap apa yang dikatakan karena terpaksa, karena kepentingan atau untuk mencapai sesuatu tujuan. Motifnya supaya masyarakat Islam tetap bersih dari kotoran-kotoran yang sangat membahayakan ini.
Mu‘adzah adalah seorang wanita muslimah yang menjaga kesucian dan kemuliannya, sehingga sejarah mengenangnya dengan penyucian diri dan kemuliaan, meskipun dia hanya seorang hamba sahaya, bukan wanita merdeka. ( )
Akhirnya, pertolongan Allah pun datang. Mu‘adzah dimerdekakan lalu menikah dengan Sahal bin Qirthah.
Sungguh Allah SWT telah memuliakan wanita muslimah ini, hingga turunlah ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan dirinya, di mana ayat tersebut menjelaskan tentang penolakannya untuk perbuatan zina, sebab dia adalah seorang muslimah yang telah dididik oleh Islam dan mengetahuinya tentang kewajiban menjaga kesucian diri dari hal-hal yang hina.
Riwayat Lain
Penyebab turunnya Surat An-Nuur ayat 33 memang banyak versi. Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa nama budak ‘Abdullah bin Ubay itu Masikah dan Amimah yang keduanya mengadu kepada Rasulullah SAW, karena dipaksa melacur maka turunlah ayat tersebut. [Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sufyan yang bersumber juga dari Jabir bin’Abdillah]. ( )
Namun ada juga riwayat lain yang menyebut ayat ini turun berkaitan dengan Masikah, budak milik seorang Anshar. Ia mengadu kepada Rasulullah bahwa tuannya memaksanya untuk melacur. (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Abuz Zubair yang bersumber dari Jabir).
Riwayat lain lagi dikemukakan bahwa ‘Abdullah bin Ubay mempunyai seorang budak yang suka disuruh melacur sejak jaman jahiliah. Ketika zina diharamkan, budak tersebut tidak mau lagi melakukannya sehingga turun ayat tersebut. (diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabarani dengan dan sanad yang shahih, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. Diriwayatkan pula oleh Al-Bazzar dengan sanad yang daif, yang bersumber dari Anas, dengan tambahan bahwa nama jariah itu Mu’adzah).
Lain lagi yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur dari Sya’ban, dari ‘Amr bin Dinar, yang bersumber dari ‘Ikrimah. Dikemukan bahwa ‘Abdullah bin Ubay mempunyai dua orang budak: Mu’adzah dan Masikah. Keduanya ia paksa untuk melacurkan diri. ( )
Berkatalah salah seorang diantara kedua jariah itu: “Sekiranya perbuatan itu baik, engkau telah memperoleh hasil banyak dari perbuatan itu. Namun, sekiranya perbuatan itu tidak baik sudah sepantasnyalah aku meninggalkannya.”
Hanya Perempuan Budak
Meskipun banyak terjadi prostitusi di Makkah dan Madinah pada masa jahiliyah, namun hal ini hanya terjadi kepada budak-budak perempuan dan pelacur-pelacur yang memasang bendera (adalah simbol rumah bordir) di rumah mereka saja.
Disebutkan oleh Al-Shallabi dalam al-Sirah al-Nabawiyyah ‘Ardh Waqa’i’ wa Tahlil al-Ahdats bahwa perempuan-perempuan merdeka jarang sekali yang terlibat di dalam praktik prostitusi ini. (
Baca Juga
Bukti terkait minimnya keterlibatan perempuan merdeka adalah, pernah suatu ketika Rasulullah SAW meminta janji setia (bai’at) kepada perempuan-perempuan Makkah setelah Fathu Makkah, Rasulullah meminta mereka bersumpah untuk tidak menyekutukan Allah, mencuri dan melakukan perzinahan. Namun tiba-tiba Hindun binti ‘Utbah istri Abu Sufyan mengatakan: “Apakah pantas seorang perempuan merdeka berzina? (awa tazni al-hurrah ?).”
Pernyataan Hindun menunjukkan adanya sentimen yang menunjukkan bahwa kelas perempuan merdeka tidak layak bekerja di bidang prostitusi. Berbeda dengan perempuan budak pada masa itu.
Ini membuktikan bahwa tidak semua orang Arab jahiliah melakukan perzinaan, banyak di antara mereka (khususnya perempuan merdeka) yang tidak berzina. ( )
(mhy)