Perbudakan: Islam Gunakan Metode Evolusi Bukan Revolusi

Jum'at, 23 Oktober 2020 - 05:00 WIB
loading...
Perbudakan: Islam Gunakan Metode Evolusi Bukan Revolusi
Bilal bin Raba, budak yang kemudian dibebaskan. Ilustrasi/Ist
A A A
RIQQ ( Perbudakan ) sudah dikenal manusia sejak beribu-ribu tahun yang lalu, dan telah dijumpai di kalangan bangsa-bangsa kuno seperti Mesir , Cina , India , Yunani dan Romawi . Masalah perbudakan juga disebutkan dalam kitab-kitab samawi seperti Taurat dan Injil. ( )

Siti Hajar , asalnya adalah seorang budak wanita yang dihadiahkan oleh Raja Mesir kepada Siti Sarah, istri Nabi Ibrahim AS . Sarah pun menerimanya dan memberikannya kepada suaminya (Nabi Ibrahim), kemudian Nabi Ibrahim menggaulinya yang kemudian Hajar melahirkan Nabi Ismail Alaihissallam .

Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Ali Bassam berkata, “Beberapa musuh Islam mencela keras pelegalan perbudakan dalam Syari’at Islam, yang menurut pandangan mereka termasuk tindakan biadab… Perbudakan tidak khusus hanya dalam Islam saja, bahkan dahulunya telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Para tokoh Yunani, seperti Plato dan Aristoteles pun hanya mendiamkan tindakan ini. [Taisir Allam Syarh Umdatul Ahkam hal. 561, cet. II, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah].

Menurut Syaikh Abdullah, perbudakan menurut mereka memiliki banyak sebab untuk memperbudak seseorang seperti adanya perang, tawanan, penculikan atau pencurian. "Tidak hanya itu, mereka pun menjual anak-anak yang menjadi tanggungan mereka untuk dijadikan budak, bahkan sebagian mereka menganggap para petani sebagai budak belian,” tuturnya. ( )

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri dalam kitab Minhajul Muslim menyebut asal-usul terjadinya perbudakan adalah karena sebab-sebab berikut ini:

1. Perang. Jika sekelompok manusia memerangi kelompok manusia lainnya dan berhasil mengalahkannya, maka mereka menjadikan para wanita dan anak-anak kelompok yang berhasil dikalahkannya sebagai budak.

2. Kefakiran. Tidak jarang kefakiran mendorong manusia menjual anak-anak mereka untuk dijadikan sebagai budak bagi manusia lainnya.

3. Perampokan dan pembajakan. Pada masa lalu rombongan besar bangsa-bangsa Eropa singgah di Afrika dan menangkap orang-orang Negro, kemudian menjual mereka di pasar-pasar budak Eropa.

Di samping itu para pembajak laut dari Eropa membajak kapal-kapal yang melintas di lautan dan menyerang para penumpangnya, dan jika mereka berhasil mengalahkannya, maka mereka menjual para penumpangnya di pasar-pasar budak Eropa dan mereka memakan hasil penjualannya. ( )

Islam adalah agama Allah yang benar, tidak membolehkan sebab-sebab tersebut di atas, kecuali hanya satu sebab saja yaitu perbudakan karena perang.

Pada umumnya para pemenang perang cenderung berbuat kerusakan karena pengaruh kebencian, di mana mereka tega membunuh para wanita dan anak-anak untuk melampiaskan kebencian mereka terhadap kaum laki-lakinya yang berperang dengan mereka, yaitu dengan cara membunuh kaum wanitanya dan anak-anaknya.

Menurut Syaikh Abu Bakar, alasan agama Islam membolehkan para pemeluknya memperbudak para wanita dan anak-anak kaum yang dikalahkannya, pertama untuk memelihara kelangsungan hidup mereka. Kedua, untuk membahagiakan dan memerdekakan mereka ( )

Adapun terhadap para tentara laki-laki musuh, maka imam diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannnya antara membebaskan mereka tanpa tebusan ataupun membebaskan mereka dengan tebusan harta atau senjata atau tawanan lainnya (pertukaran tawanan).

Sebagaimana hal tersebut disinyalir oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya.

فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّىٰ إِذَا أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّىٰ تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا

“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti” [Muhammad/47 : 4]

Tidak Mengharamkan
"Jika kita berlaku jujur bahwa metode yang paling bijaksana dalam memecahkan problem perbudakan adalah Islam," tulis Hanif Luthfi, Lc, MA dalam bukunya "Budak dalam Literatur Fiqih Klasik". ( )

Pada awal kemunculannya, Islam memang tidak mengharamkan sistem perbudakan. Namun, dalam memecahkan persoalan yang terkait dengan perbudakan ini, Islam menggunakan metode tidak secara revolusioner melainkan secara evolusi atau bertahap.

Hal itu bisa dilihat misalnya, beberapa ayat Al-Qur'an telah mencantumkan baik secara tegas maupun secara tersirat tentang berbagai upaya untuk menghapus perbudakan.

Bahkan Hanif menegaskan jika ayat-ayat itu dirangkai dalam satu kesatuan yang utuh, maka akan tampak bahwa Islam sangat menghendaki hapusnya perbudakan, baik dalam arti sempit atau harfiah maupun dalam arti luas atau kontekstual. ( )

"Jika kita lihat lagi kapan dan di mana Islam muncul pertama, kita patutnya bangga bahwa Islam sudah memulai menyadarkan manusia bahwa derajat manusia itu sama," katanya.

Karena pada hakikatnya asal dari manusia itu adalah merdeka dan hal ini ditegaskan Al-Qur'an surat Al Baqarah ayat 30 yang artinya: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi'."

Dalam ayat lain, tepatnya surat Al Israa ayat 70 manusia telah mendapatkan kemuliaan di antara para makhluk yang telah Allah ciptakan bertebaran di muka bumi.

"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan." ( )

Pahala
Pada awal-awal kemunculan Islam di tengah peradaban Mesir Kuno, Babilonia, Hittit, Yunani Kuno, Kanaan, Israel, Persia, Kushit, dan lain-lain, Islam telah berlaku ramah dan membela budak dengan memberikan pahala jika budak taat kepada tuannya.

"Seorang budak yang ikhlas dalam melaksanakan tugasnya sebagai budak dan berbakti kepada tuannya maka ia mendapat pahala yang besar, dua kali lipat," katanya.

Hal ini seperti hadis Rasulullah dari Abu Musa Al Asy’ari RA bahwa Nabi Muhammad bersabda: "Tiga kelompok yang akan diberikan pahala mereka dua kali pertama laki-laki ahli kitab yang beriman kepada Nabinya lalu berjumpa dengan Nabi SAW, kemudian dia beriman kepada beliau, mengikutinya dan membenarkannya, maka dia memperoleh dua pahala. ( )

Kedua seorang budak yang melaksanakan hak Allah dan hak tuannya, maka dia memperoleh dua pahala. Dan ketiga seorang laki-laki yang mempunyai budak wanita, lalu ia memberi makanan, pendidikan, dan pelajaran yang baik, kemudian ia membebaskan dan menikahinya, maka ia memperoleh dua pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Konsistensi Islam membela budak dapat dilihat dari larangan Islam memanggil budak, dengan panggilan buruk dan harus memanggil budak dengan panggilan yang baik. Islam melarang bersikap buruk terhadap budak, menghinakan dan melecehkannya sebagai budak.

Nabi Muhammad SAW bersabda. "Janganlah salah seorang di antara kalian mengatakan: Hai hamba laki-lakiku, hai hamba perempuanku, akan tetapi katakanlah : Hai pemudaku (laki-laki), hai pemudiku (perempuan).” (HR Bukhari dan Muslim).

Bahkan Rasulullah menjadikan budaknya, Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya. Kejadian itu sebelum anak angkat sampai nasabnya berganti kepada bapak angkatnya dilarang dalam Islam. ( )

Dari Ibnu Umar RA, dia berkata: "Zaid bin Haritsah maula Rasulullah SAW, (Ibnu Umar berkata), “Dulu kami tidak memanggil Zaid kecuali dengan panggilan Zaid bin Muhammad, sehingga turunlah ayat panggillah anak-anak angkatmu dengan menasabkan kepada nama bapak-bapak mereka karena itulah yang lebih adil di sisi Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).

Islam juga memerintahkan memberi makanan kepada budak sebagaimana tuannya makan. Hanif berpendapat kegiatan makan tentu hal yang biasa, memberi makan budak juga hal yang biasa. Akan tetapi yang tak biasa adalah memberi makan budak sebagaimana tuannya makan.

Rasulullah SAW bersabda. “Budak memiliki hak makan/lauk dan makanan pokok, dan tidak boleh dibebani pekerjaan di luar kemampuannya.” (HR Muslim, Ahmad dan Al Baihaqi).

Nabi menganjurkan orang yang mempunyai budak untuk memberinya makan sebagaimana sang tuan makan, memberi pakaian sebagaimana sang tuan berpakaian. Maka ini termasuk prinsip persamaan di mana tak dibedakan antara makan dan pakaiannya budak dengan tuannya. ( )

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda, "Mereka (para budak) adalah saudara dan pembantu kalian yang Allah jadikan di bawah kekuasaan kalian, maka barang siapa yang memiliki saudara yang ada di bawah kekuasaannya, hendaklah dia memberikan kepada saudaranya makanan seperti yang ia makan, pakaian seperti yang ia pakai. Dan janganlah kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan mereka. Jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang berat, hendaklah kamu membantu mereka.” (HR Bukhari).
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3069 seconds (0.1#10.140)