Memahami Hukum Islam Berdasar Situasi Menurut Jalaluddin Rakhmat
loading...
A
A
A
Imam Malik juga mengambil qiyas, tapi sesudah mengambil mashalih mursalah dan istihsan. Imam Ahmad pun bersandar kepada qiyas dengan syarat sesudah meninjau hukum itu dalam al-Qur'an dan Hadits dalam maknanya yang lebih luas, walaupun ia berbeda dari mujtahidin lainnya dalam cara dan cakupan penggunaan qiyas.
Tidak ada mazhab yang menolak penggunaan istihsan kecuali madzhab Dzahiriyah dan Syi'ah. Adapun cara menggunakan qiyas sebagai berikut:
Seorang mujtahidin melakukan penelitian apakah ada dalil yang menunjukkan dalil tentang illat untuk menentukan hukum far'. Bila illat itu diketahui dengan menggunakan cara-cara yang dikenal dalam kitab ushul dan ada hubungan antara illat ini dengan kasus yang akan ditetapkan hukumnya, dan sudah ditegaskan hubungannya disamakanlah hukum yang asal dengan far' berdasarkan kesamaan illat seperti yang dipahaminya.
Kadang-kadang mujtahid meninggalkan satu dalil kepada dalil yang lebih kuat, atau kepada maslahat, atau meninggalkan qiyas kepada atsar, atau kepada ijma' atau kepada dharurat.
Kadang-kadang qiyas ditinggalkan karena ada dalil yang kuat atsarnya. Dalam semua keadaan itu, ia tidak keluar dari upaya menjalankan nash, atau qiyas, atau mashlahat. Yang demikian itu disebut istihsan.
Secara denotatif, istihsan artinya memandang baik terhadap sesuatu. Pendirian Dewan Madzalim dipandang baik; artinya, harus dilakukan berdasarkan istihsan.
Menarik sekali, para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif ini (yaitu, orang-orang yang mendengarkan kata dan diturutinya yang paling baik, QS al-Zumar: 18; "Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu", al-Zumar: 55; "Apa yang dianggap kaum Muslim baik, menurut Allah baik juga," --Hadis menurut riwayat Abdullah bin Mas'ud.
Tidak ada mazhab yang menolak penggunaan istihsan kecuali madzhab Dzahiriyah dan Syi'ah. Adapun cara menggunakan qiyas sebagai berikut:
Seorang mujtahidin melakukan penelitian apakah ada dalil yang menunjukkan dalil tentang illat untuk menentukan hukum far'. Bila illat itu diketahui dengan menggunakan cara-cara yang dikenal dalam kitab ushul dan ada hubungan antara illat ini dengan kasus yang akan ditetapkan hukumnya, dan sudah ditegaskan hubungannya disamakanlah hukum yang asal dengan far' berdasarkan kesamaan illat seperti yang dipahaminya.
Kadang-kadang mujtahid meninggalkan satu dalil kepada dalil yang lebih kuat, atau kepada maslahat, atau meninggalkan qiyas kepada atsar, atau kepada ijma' atau kepada dharurat.
Kadang-kadang qiyas ditinggalkan karena ada dalil yang kuat atsarnya. Dalam semua keadaan itu, ia tidak keluar dari upaya menjalankan nash, atau qiyas, atau mashlahat. Yang demikian itu disebut istihsan.
Secara denotatif, istihsan artinya memandang baik terhadap sesuatu. Pendirian Dewan Madzalim dipandang baik; artinya, harus dilakukan berdasarkan istihsan.
Menarik sekali, para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur'an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif ini (yaitu, orang-orang yang mendengarkan kata dan diturutinya yang paling baik, QS al-Zumar: 18; "Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu", al-Zumar: 55; "Apa yang dianggap kaum Muslim baik, menurut Allah baik juga," --Hadis menurut riwayat Abdullah bin Mas'ud.
(mhy)