Ini Sosok di Balik Naiknya Umar Bin Abdul Aziz Menjadi Khalifah

Minggu, 12 Juli 2020 - 13:38 WIB
Umar bin Abdul Aziz menyesali mengapa dirinya harus mengemban tugas khalifah. Foto/Ilustrasi/Ist
BELIAU adalah Raja’ bin Haiwah. Tokoh kelahiran Bisaan Palestina ini, menjadi menteri dalam beberapa periode khalifah Bani Umayah. Dimulai sejak khalifah Abdul Malik bin Marwan hingga masa Umar bin Abdul Aziz . Hanya saja, hubungannya dengan Sulaiman bin Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz lebih istimewa dari pada khalifah-khalifah yang lain.



Pada awal hari Jumat di bulan Safar tahun 99 H, Raja’ mendampingi Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik di Dabik. Saat itu Amirul Mukminin telah mengirimkan suatu pasukan yang kuat untuk menggempur Turki di bawah komandan saudaranya, Maslamah bin Abdul Malik, dan didampingi putra beliau Dawud, beserta sebagian besar dari keluarganya. Beliau telah bertekad untuk tidak meninggalkan Dabik sebelum menguasai Konstantinopel atau mati.

Ketika waktu telah mendekati salat Jumat, Amirul Mukminin berwudhu dengan sebagus-bagus wudhu, memakai jubah berwarna hijau dan surbannya berwarna hijau pula. Beliau merasa bangga melihat keadaannya di cermin yang terlihat masih muda. Pada saat itu usia khalifah baru sekitar 40 tahun. Kemudian beliau keluar untuk menunaikan salat Jumat bersama orang-orang. Sepulangnya dari salat Jumat, mendadak beliau merasa demam. Rasa sakit tersebut kian hari bertambah parah. Sehingga beliau meminta agar Raja’ senantiasa dekat di samping beliau. ( )

Suatu kali, ketika Raja’ masuk ke ruangan khalifah, mendapati Amirul Mukminin sedang menulis sesuatu. Raja’ bertanya, “Apa yang sedang Anda lakukan wahai Amirul Mukminin?”



“Aku menulis wasiat untuk penggantiku yakni putraku Ayyub,” jawab Amirul Mukminin.

“Wahai Amirul Mukminin, ketahuilah bahwa yang akan menyelamatkan Anda dari tanggung jawab kelak di hadapan Allah adalah dengan menunjuk seorang pengganti yang saleh untuk umat ini. Sedangkan putra Anda itu masih terlampau kecil, belum dewasa, belum dapat dijamin kebaikan dan keburukannya,” sata Raja’.

“Ini hanya tulisan main-main saja. Untuk itu, aku hendak salat istikharah dahulu,” ujar Khalifah kemudian merobek kertas wasiat tersebut. (

Setelah satu atau dua hari kemudian Raja’ dipanggil dan ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang putraku, Dawud wahai Abu Miqdam?”

“Dia tidak ada di sini. Dia sedang berada di medan perang di Konstantinopel bersama kaum muslimin dan Anda sendiri tidak mengetahui apakah dia masih hidup atau sudah gugur,” jawab Raja’. ( )

“Menurutmu, siapakah gerangan yang pantas menggantikan aku wahai Raja’?” tanya Khalifah kemudian.

“Keputusannya terserah Anda wahai Amirul Mukminin…” balas Raja’.

Kemudian Raja’ menyebut nama-nama calon penggantinya. Raja’ mengomentarinya satu persatu. Lalu sampailah nama Umar bin Abdul Aziz. “Bagaimana pendapatmu tentang Umar bin Abdul Aziz?” tanya Khalifah. ( )

“Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang beliau melainkan bahwa dia adalah orang yang utama, sempurna, cerdas, bagus agamanya, dan berwibawa,” ujar Raja’ memuji Umar bin Abdul Aziz.

“Engkau benar. Demi Allah, dialah yang layak untuk jabatan ini. Hanya saja jika dia yang aku angkat sementara aku tinggalkan anak-anak Abdul Malik, tentu akan terjadi fitnah,” ujar Amirul Mukminin ragu. (

“Kalau begitu, pilihlah salah satu dari mereka dan tetapkan baginya sebagai pengganti setelah Umar,” saran Raja’.

“Anda benar, hal itu bisa membuat mereka tenang dan ridha,” sambut Khalifah, kemudian mengambil kertas dan beliau tulis:

“Bismillahirrahmanirrahim. Ini adalah surat dari hamba Allah, Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik untuk Umar bin Abdul Aziz. Aku mengangkatmu sebagai khalifah penggantiku, dan setelah kamu adalah Yazid bin Abdul Malik, maka bertakwalah kepada Allah dan taatilah dia, janganlah kalian bercerai-berai karena akan mengakibatkan senangnya orang-orang yang menginginkan hal itu terjadi atas kalian.”



Kemudian Amirul Mukminin menutup surat itu dan menyerahkannya kepada Raja’, selanjutnya dikirim kepada Ka’ab bin Hamiz selaku kepala keamanan. “Perintahkanlah seluruh keluargaku untuk berkumpul dan sampaikan bahwa surat wasiat yang berada di tangan Raja’ bin Haiwah adalah benar-benar pernyataanku. Lalu perintahkan mereka untuk membaiat kepada orang yang disebutkan namanya dalam wasiat itu.”

Setelah semuanya berkumpul, Raja’ berkata, “Ini adalah surat wasiat Amirul Mukminin yang berisi perintah pengangkatan khalifah penggantinya dan beliau telah memerintahkan aku untuk mengambil baiat kalian bagi orang yang tercantum sebagai calon penggantinya.”



“Kami mendengar, dan akan taat kepada Amirul Mukminin penggantinya,” sambut mereka.

Setelah itu mereka minta izin menemui Amirul Mukminin untuk mengucapkan salam.

Setelah mereka masuk, Sulaiman berkata, “Sesungguhnya surat yang berada di tangan Raja’ berisi pesan bagi khalifah penggantiku maka taatilah dia dan baiatlah kepada orang yang kusebutkan namanya di dalamnya.” ( )

Satu demi satu orang-orang membaiat. Kemudian Raja’ keluar dengan membawa surat yang tertutup rapi dan tak ada seorangpun yang tahu selain dirinya dan Amirul Mukminin.

Setelah orang-orang membubarkan diri, Umar bin Abdul Aziz mendekati Raja’ dan berkata, “Wahai Abu Miqdam, selama ini Amirul Mukminin begitu baik kepadaku dan telah memberiku kekuasaan karena kebijaksanaan dan ketulusannya dalam masalah ini. Oleh sebab itu, aku bertanya karena Allah, atas nama persahabatan dan kesetiakawanan kita, beritahukanlah kepadaku nama tersebut, seandainya dalam wasiat Amirul Mukminin tersebut ada sesuatu yang ditujukan khusus kepadaku, agar aku bisa menolaknya sebelum terlambat.”

“Tidak, demi Allah aku tidak akan memberitahukan walau satu huruf pun dari isi surat itu tentang apa yang kau inginkan,” balas Raja’. Umar bin Abdul Aziz pun pergi dengan kecewa.



Setelah itu giliran Hisyam bin Abdul Malik mendekati Raja’ dan berkata, “Wahai Abu Miqdam, di antara kita telah terjalin persahabatan yang begitu lama. Aku mengucapkan banyak terima kasih untuk itu dan tak akan pernah melupakan jasa-jasamu. Maka tolonglah beritahukan kepadaku isi surat Amirul Mukminin itu. Jika jabatan tersebut diserahkan kepadaku, aku akan tutup mulut, tetapi jika diberikan kepada yang lainnya, aku akan bicara. Orang seperti saya tidak selayaknya dikesampingkan dalam urusan ini. Aku bersumpah tidak akan membocorkan rahasia ini.”

“Tidak. Demi Allah aku tidak akan memberitahukan kepadamu satu huruf pun dari isi surat yang dipercayakan Amirul Mukminin kepadaku,” jawab Raja’.



Hisyam bin Abdul Malik pergi dengan mengepalkan tangannya seraya menggerutu, “Kepada siapa lagi dia menyerahkan jabatan jika aku disingkirkan? Mungkinkah khilafah ini akan lepas dari tangan anak-anak Abdul Malik? Demi Allah, akulah yang paling utama di antara anak-anak Abdul Malik!”

Kemudian Raja’ masuk untuk menjumpai Amirul Mukminin Sulaiman bin Abdul Malik. Beliau semakin bertambah parah dan mendekati sakaratul maut. Melihat kegelisahannya, Raja’ menghadapkan beliau ke arah kiblat sementara beliau berkata dengan berat: “Belum tiba saatnya wahai Raja’.” ( ).

Raja’ mengulanginya lagi, dan ketika dipalingkan ke kiblat untuk ketiga kalinya beliau berkata, “Sekarang jika engkau hendak melakukan sesuatu, lakukanlah wahai Raja”.

Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.”

Raja memalingkan beliau ke arah kiblat dan tak lama kemudian beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Raja’ memejamkan kedua mata beliau, lalu menutup tubuhnya dengan kain. Selanjutnya Raja’ menutup pintu ruangan itu rapat-rapat. Pada saat utusan istri khalifah, ingin menengoknya Raja’ menghalangi pintu masuk sambil berkata, “Lihatlah dia baru bisa tidur setelah gelisah semalam suntuk. Karena itu biarkanlah dulu dia dengan ketenangannya.”



Syukurlah, ketika utusan istri Sulaiman bin Abdul Malik menyampaikan alasan Raja’ diterima dengan baik oleh istri khalifah. Dia yakin kalau suaminya memang sedang tidur. Raja’ kemudian mengunci pintu dan menempatkan seorang penjaga yang sambil berpesan kepadanya, “Jangan izinkan seorang pun masuk hingga aku kembali nanti.”

Kemudian Raja’ pergi menemui kerabat Amirul Mukminin. Ketika itu mereka bertanya, “Bagaimana keadaan Amirul Mukminin?”

“Belum pernah beliau setenang ini semenjak sakitnya,” Raja’ menjawab.

Alhamdulillah,” sambut mereka.



Setelah itu Raja’ meminta agar Ka’ab bin Hamiz mengumpulkan semua keluarga khalifah di masjid Dabik. Setelah semuanya hadir, Raja’ berkata, “Berbaiatlah kalian kepada orang yang tercantum namanya dalam surat ini.”

Mereka berkata, “Kami sudah berbaiat kemarin, mengapa harus berbaiat lagi?”

“Ini adalah perintah Amirul Mukminin. Kalian harus menaati perintahnya untuk membaiat orang yang tersebut namanya dalam surat ini,” ujar Raja’ tegas.

Satu persatu mereka pun berbaiat. Setelah segalanya berjalan dengan lancar, baru kemudian Raja’ berkata, “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah wafat, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”



Selanjutnya Raja’ membaca surat wasiat Amirul Mukminin, ketika nama Umar bin Abdul Aziz disebut, spontan Hisyam bin Abdul Malik berteriak: “Aku tidak akan membaiat dia selamanya!”

“Kalau begitu –demi Allah- aku akan memenggal lehermu, bersegeralah engkau baiat dia,” bentak Raja’.

Akhirnya sambil menyeret kedua kakinya Hisyam bin Abdul Malik berjalan menuju Umar bin Abdul Aziz, lalu berkata, “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un.” Dia sesalkan mengapa khalifah jatuh ke tangan Umar dan bukan ke tangan salah satu putra Abdul Malik.



Umar pun menjawab, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Beliau menyesali mengapa beliau harus mengemban tugas khalifah.

Tentang Raja’ bin Haiwah

Beliau lahir di Bisaan Palestina, kira-kira di akhir masa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu a’nhu . Asal-usulnya dari kabilah Kindah Arab. Raja’ adalah orang Palestina dari keturunan Arab dan keluarga Bani Kindah. Beliau tumbuh dalam ketaatan kepada Allah sejak kecil, dicintai Allah dan menyenangkan hati hamba-hamba-Nya.

Dr. Abdurrahman Ra’at Basya dalam Mereka adalah Para Tabi’in menyebutkan Raja’ gemar mencari ilmu sejak awal pertumbuhannya, dan ilmu pun serasa cocok bersemayam di hatinya yang subur dan mengisi celah-celahnya yang masih kosong.

Semangatnya yang paling besar adalah ketika mempelajari dan mendalami Kitabullah, serta membekali diri dengan hadis-hadis Nabi. Pikirannya diterangi oleh cahaya Alquran, pandangannya disinari oleh hidayah nubuwah, dan dadanya penuh dengan nasihat dan hikmah. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh berarti telah diberi karunia yang banyak.



Beruntung, menurut Abdurrahman Ra’at, beliau mendapat kesempatan untuk menimba ilmu dari para sahabat seperti Abu Sa’id al-Khudri, Abu Darda, Abu Umamah, Ubadah bin Shamit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abdullah bin Amru bin Ash, Nawwas bin Sam’an dan lain-lain. Mereka semua menjadi lentera hidayah dan cahaya pengetahuan bagi beliau.

Raja’ menetapkan kedisiplinan atas dirinya sendiri. Motto yang dipelihara dan diulang-ulang sepanjang hayatnya adalah:

Betapa indahnya Islam bila berhiaskan iman

Betapa indahnya iman bila berhiaskan takwa

Betapa indahnya takwa bila berhiaskan ilmu

Betapa indahnya ilmu bila berhiaskan amal

Betapa indahnya amal bila berhiaskan kasih sayang

Raja’ bin Haiwah menjadi menteri dalam beberapa periode khalifah Bani Umayah. Beliau mendapat tempat di hati khalifah-khalifah Bani Umayah ini karena kecerdasan akalnya, kebagusan bahasanya, ketulusan niatnya, serta kebijakannya dalam menyelesaikan suatu masalah. Di samping itu, juga karena kezuhudannya terhadap kemewahan dunia yang ada di tangan para penguasa itu, yang biasanya diperebutkan oleh orang-orang yang tamak. ( )





(mhy)
Follow
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Apabila seseorang berkata kepada saudaranya 'Wahai kafir', maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.

(HR. Bukhari No. 5638)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More