Jurang Pemisah antara Islam dan Kristen Menurut Montgomery Watt
loading...
A
A
A
Orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia Barat dari Britania Raya, William Montgomery Watt (1909-2006), mengatakan para pengikut tiap agama itu menganggap agamanya sendiri lebih unggul dari semua agama yang lain. "Sebagian pengikut agama, khususnya sebagian pengikut agama Kristen dan Islam , berpikir bahwa agamanya sendirilah yang dianggap sebagai agama dalam arti yang sebenarnya, sementara semua agama yang lain itu tidak ada sama sekali," ujarnya.
Dalam buku yang diterjemahkan Zaimudin berjudul "Titik Temu Islam dan Kristen, Persepsi dan Salah Persepsi" (Gaya Media Pratama Jakarta, 1996) Montgomery Watt melanjutkan, kepercayaan demikian diberikan sebagai landasan bagi penegasan pernyataannya, misalnya "hanya agama saya sendirilah satu-satunya yang dari Tuhan" atau "agama saya sendirilah satu-satunya agama yang mempunyai kebenaran ilahiah yang asli, sementara semua agama-agama lain tidak asli lagi."
Menurutnya, pandangan-pandangan eksklusivis ini tidak dapat dipertahankan ke dalam kultur dunia yang timbul, sebab ilmu pengetahuan sosial merupakan bagian dari pandangan intelektual barat, dan observasi sosial-ilmiah agama-agama menunjukkan bahwa agama-agama tersebut semuanya kurang atau lebih melakukan hal-hal yang sama, mirip dengan tujuan dan dengan ukuran kesuksesan.
John Hick melihat ini berkenaan dengan kemiripan yang amat secara paksa dengan mengutip doa (atau peribadatan) orang Yahudi, Muslim, Sikh dan Hindu yang secara tegas berbeda dengan doa-doa (atau peribadatan) orang Kristen.
Sungguhpun orang yang beriman menegaskan bahwa hanya agamanyalah yang lebih unggul dari agama-agama lain, maka hal ini masih sulit baginya untuk menemukan para pemeluk agama-agama lain sebagai sama dengan agama yang dipeluknya. Bagaimana hal ini dapat terjadi?
Menurut Montgomery Watt, sangat dipertahankan bahwa karena kandungan intelektual kepercayaan agama itu diungkapkan pada terma-terma iconic, maka tidak ada kriteria kebenaran intelektual bagi kepercayaan-kepercayaan ini, dan bahwa ajaran-ajaran yang seolah-olah mengandung kontradiksi kenyataannya tidak boleh berkontradiksi melainkan harus saling melengkapi.
Apabila pernyataan ini diterima maka tidak ada justifikasi rasional bagi penegasan secara publik karena agama kita itu lebih baik daripada agama lain (sekalipun kita terus berfikir demikian), dan paling tidak, justifikasi parsial bagi diakuinya agama-agama lain sebagai sama benarnya dengan agama kita.
Kriteria "hasil" sebagai diterapkan untuk agama-agama akan segera dijelaskan, dan tentu saja harus mempunyai tempat sentral dalam pemikiran Kristen, karena agama ini berasal dari Puncak Gunung Sermon; Yesus mengatakan bahwa guru-guru agama harus dinilai sesuai dengan kualitas hasil ajarannya. Dalam cara yang sama bahwa pohon yang baik itu berbeda dengan pohon yang buruk dari kualitas buah yang dihasilkannya.
Apabila konsepsi ini diterapkan kepada agama, kata Montgomery Watt, maka kita dapat mengatakan bahwa agama itu memproduksi buah yang baik ketika memampukan mayoritas anggota-anggota pemeluknya untuk mengarahkan kehidupan yang bermanfaat dalam masyarakat yang harmonis, selain adanya kesakitan dan nasib buruk.
Ini secara jelas bukannya kriteria yang dapat diterapkan dengan pertimbangan matematika yang kaku, melainkan dapat menjadi wilayah persetujuan yang luas antara bangsa dari tradisi-tradisi yang berbeda satu sama lain mengenai buah yang baik itu. Namun begitu, satu hal perlu dicatat bahwa perasaan subyektif yang dipenuhi dengan agamanya sendiri tidaklah cukup.
Tidak mengherankan kalau kasus itu ada pada sebagian besar bentuk Kristen dan barangkali ada pada agama-agama lain juga, dimana kepuasan akan agamanya sendiri telah menjadi bentuk self complacency (kepuasan dengan diri sendiri dan tidak perlu yang lain) yang buta kepada ketidakadilan pada lingkungan yang mengeilingi kita, ketidakadilan dari kepuasan diri tiap individu yang barangkali juga bermanfaat.
Sekadar mengingatkan William Montgomery Watt adalah profesor Studi-studi Arab dan Islam pada Universitas Edinburgh antara tahun 1964-1979. Ia juga merupakan visiting professor pada Universitas Toronto, College de France, Paris, dan Universitas Georgetown; serta menerima gelar kehormatan Doctor of Divinity dari Universitas Aberdeen.
Dalam hal kerohanian, Montgomery Watt adalah pendeta (reverend) pada Gereja Episkopal Skotlandia, dan pernah menjadi spesialis bahasa bagi Uskup Yerusalem antara tahun 1943-1946. Ia menjadi anggota gerakan ekumenisme "Iona Community" di Skotlandia pada 1960. Beberapa media massa Islam pernah menjulukinya sebagai "Orientalis Terakhir".
Berikut tulisan selengkapnya William Montgomery Watt tersebut:
Setelah perang-perang agama pada abad keenam belas dan tujuh belas, bangsa Eropa Kristen baik Katolik maupun Protestan, cenderung menjadi kepercayaan yang benar-benar personal, mempribadi dan tidak memberi keputusan-keputusan bagi kebijakan publik; karena tidak ada perubahan iman kecuali penekanan-penekanan semata.
Di masa John (Yahya) si Baptis dan Yesus, ada banyak kelompok dalam agama Yahudi, yang mempraktikkan agamanya dengan cara yang berbeda-beda.
Kelompok Sadduki berkompromi dengan kelompok kolonialis Roma; kelompok fanatik (Zealot) malah hanya suatu solusi militer; kelompok Pharisi menempatkan penekanan-penekanan tak semestinya atas kemurnian ritual atas nama kebenaran moral.
Yang terakhir ini hanya satu untaian dalam Pharisisme, sejak kebangkitan agama Yahudi setelah jatuhnya Yerusalem pada tahun 70 Masehi yang secara luas benar-benar ke kelompok Pharisi; namun banyak orang Pharisi yang mengubah agamanya dengan menempatkan penekanan-penekanan yang tidak semestinya atas kemurnian ritual dalam bentuk-bentuk yang mustahil dipatuhi bagi para pemeluk Yahudi biasa.
Selanjutnya dapat disangkal bahwa adanya hasil pada agama-agama itu menunjukkan bahwa Tuhan berbuat pada semua agama itu. Pernyataan ini dibuat pada bentuk teistik sesuai dengan tiga agama Abrahimi, namun pernyataan equivalen ini agaknya dapat dilakukan pada terma-terma non-teistik, kata orang Budha.
Didukung oleh para ahli teologi Kristen, Tuhan itu selalu sama, perbedaan pada agama-agama itu terjadi lewat respon manusia kepada Tuhan; namun ini rupanya terlalu memudahkan masalah.
Tuhan tidak pernah dipahami sebagai Diri-Nya sendiri, melainkan sebagai yang melihat aktivitas dan misterinya dalam kehidupan kultur kita. Itu berarti bahwa ketika mereka memahami Tuhan, maka mereka nyatakan pada terma-terma kulturnya; yakni, dalam bahasanya dan kategori-kategori nalarnya sendiri; dan ini benar manakala pesan-pesan dari balik mereka itu diterima oleh nabi-nabi.
Lebih dari itu, apakah tiap kultur itu memahami Tuhan, atau telah diturunkan oleh Tuhan kepada mereka, juga tergantung atas pengalamannya dalam problema-problema kehidupan dan dapat dibedakan dari kultur ke kultur (seperti yang telah dijelaskan pada bab pertama).
Ide bahwa Tuhan mewahyukan sendiri pada satu cara kepada semua manusia yang diketemukan pada berbagai poin di Bibel, pertama pada perjanjian-Nya dengan Nuh.
Di akhir Perjanjian Lama nabi Malachi menyebut nama Tuhan menjadi besar di tengah orang kafir sejak menyingsing fajar sampai terbenam matahari dan marah kepada-Nya.
Juga di Perjanjian Baru, Yesus berucap bahwa banyak yang akan datang dari timur dan barat (yakni, non-Yahudi) dan akan duduk bersama Ibrahim, Isa dan Yakub di perjamuan pada kerajaan langit.
Juga dalam Islam Al-Qur'an menyiratkan bahwa semua manusia telah menerima ilmu Allah. Sesuai dengan kemampuan nalar, kini kita dapat memberikan versi sejarah dunia agama.
Kira-kira 1.800 tahun Sebelum Masehi kepada seorang lelaki yang bernama Ibrahim, Tuhan menurunkan ilmu dari diri-Nya, dari Tujuan-Nya bagi manusia dan dari bentuk-bentuk tingkah laku yang diharapkan dari manusia.
Dalam artian Tuhan memilih Ibrahim, sungguhpun tidak menempatkannya di atas manusia yang lain, namun agar dia dapat menjadi saluran aspek ilmu Tuhan ini dapat sampai ke seluruh keluarga bumi.
Ilmu dan praktik Ibrahim terjaga di tengah keturunannya setelah mereka hidup di Mesir lebih dari empat ratus tahun lamanya; dan kira-kira 1.250 tahun sebelum Masehi Tuhan memberi wahyu kepada Musa untuk membawa bangsa Israel keluar dari Mesir dan memberi pemahaman lebih penuh akan pengawasan Tuhan kepada bangsa Israel tentang kejadian- kejadian dunia dan hukum-hukumnya bagi kemanusiaan.
Bangsa Israel ditempatkan di Palestina, dan kira-kira 1.000 tahun Sebelum Masehi manusia disatukan di bawah pimpinan Raja Dawud (David). Pada masa empat atau lima abad sesudahnya, sekitar 900 tahun sebelum Masehi para pemimpin agama besar mulai muncul di berbagai belahan dunia: Confusius di Cina, Buddha di India, Zoroaster di Persia dan masih banyak lagi yang lain.
Barangkali kita dapat menambahkan Socrates, Plato dan Pythagoras di Yunani. Semua itu membawa wawasan baru dan wawasan agama lebih mendalam kepada bangsa-bangsa manusia di mana mereka hidup.
Sesudah Raja Dawud (David), bangsa Israel mengalami kemajuan dan kemunduran, namun ketika mereka menyimpang dari iman yang benar, mereka diperingatkan untuk beriman secara benar oleh serentetan nabi-nabi.
Nabi-nabi ini juga membawa pemahaman segar dan lebih penuh akan Tuhan dan aktivitas-aktivitasnya di dunia ini. Berdasarkan keimanan yang benar ini bangsa Israel mampu menemukan kembali pengalaman katastropik Pengasingan ke Iraq (pada 586 SM) dan dapat membangun kembali masyarakat beriman sesudah perbaikan Jerusalem.
Sejak zaman John si Baptis (Yahya) dan Jesus (Isa) yang menekankan masuk ke untaian agama Yahudi yang merusak kemurnian kesaksian bangsa Yahudi kepada Tuhan ke dunia kufur, bahkan mengancam kemampuan mereka untuk mengabadikan kesaksian itu. Untuk mengoreksi penyimpangan ini karena Tuhan pertama kali mengirimkan John Pembaptis (Yahya) dan kemudian Yesus ke bangsa Yahudi.
Sulit bagi umat Kristen untuk memberi penilaian Yesus yang pantas bagi pencantuman sejarah agama dunia, di mana semua agama diperlakukan sebagai berada pada dasar pijakan yang sama. Seperti penilaian yang tidak boleh bersifat eksklusifis.
Saya tegaskan bahwa hal ini dilakukan dengan menghadirkan ajaran dan prestasi Yesus semata dalam terma fakta historis manusia dan tanpa tafsiran-tafsiran teologis awal dan umat Kristen terkemudian.
Hal ini muncul menjadi gema secara teologis, semenjak murid-murid pertama mengetahui Yesus sebagai seorang manusia sebelum mereka berpikir bahwa Yesus itu benar-benar dalam sifat ketuhanan yang sesungguhnya.
Metode ini diujicobakan oleh perintis misioner kepada suku Massai yang primitif di Kenya dan mendapat sukses; dan Yesus menyetujui apa yang dilakukan oleh petunjuk terhadap pengalaman murid-murid tersebut:
Tidak ada jalan lain bagi murid-murid Yesus untuk mengetahui Yesus, kecuali melalui kehidupan manusia dimana Yesus itu hidup di antara manusia. Tidak ada jalan lain untuk sampai ke makna yang paling dalam dari apa yang tersimpan di dalamnya, kecuali dengan merefleksikan kepada apa yang dapat dilihat secara nyata dan dapat didengar serta dapat dirasa dan tanpa dapat disentuh. Tidak ada jalan lain bagi Massai hari ini untuk sampai ke makna yang paling penuh terhadap apa yang terjadi di belakang sana di Galilee jauh sebelum itu.
Ini juga menjadi jalan untuk menghadirkan iman Kristen kepada umat non-Kristen di dunia agama yang majemuk ini, yakni, untuk memberi mereka fakta-fakta historis manusia tentang Yesus dan kemudian untuk memperkenalkan mereka menafsiri fakta-fakta tcrsebut dalam terma nilai-nilai keagamaan masing-masing.
Karya John Pembaptis (Yahya) dan Yesus (Isa) sebagai guru adalah untuk membenarkan penekanan-penekanan yang salah kaprah pada sikap-sikap Yahudi dewasa ini; umpamanya, penegasan kasih Tuhan secara kuat kepada orang berdosa yang benar-benar menyesali dosa-dosanya.
Sekalipun demikian, berbeda dengan ajaran, Yesus juga mencapai sesuatu yang penting bagi dunia ini lewat kematiannya dan apa yang mengikutinya. Pencapaian ini dijelaskan oleh umat Kristen dalam berbagai jalan, misalnya; penebusan dosa dunia yang membawa penyelamatan, perdamaian kemanusiaan dengan Tuhan, pembukaan perjanjian baru antara Tuhan dan seluruh bangsa manusia.
Semua kalimat itu dan kalimat-kalimat lain yang juga dipergunakan adalah kalimat iconic, agar tak seorangpun melimpahkan pernyataan sempurna dari seluruh kebenaran, sungguhpun termasuk tingkat penafsiran yang membawa kepada eksklusifisme.
Untuk maksud versi sejarah agama dunia kita ini akan paling baik untuk mengatakan bahwa pencapaian dengan kematian Yesus itu adalah untuk membuka perjanjian baru atau membuka bentuk hubungan baru antara Tuhan dan bangsa manusia yang menekankan kepada cinta kasih Tuhan bagi semua.
Sebagai pencapaian ini dan untuk menafsirinya secara teologis, Gereja didirikan; kemudian kepercayaan ini berkembang sampai empat abad lamanya menjadi agama resmi Kerajaan Romawi.
Dalam pada itu, agama-agama Asia sebelah timur dan selatan sedang tumbuh dan berkembang. Agama Kristen juga menyebar ke arah timur, namun, jurang pemisah berkembang antara umat Kristen Yunani yang terkena proses Hellenisme Romawi atau Kerajaan Byzantine dan Semitik dan umat Kristen yang tidak terkena Helenisasi di batas-batas ketimurannya.
Dalam situasi begini, walaupun hal itu dipahami secara terinci, ada ruang lingkup prakarsa ilahi dalam urusan-urusan manusia dan ini terjadi melalui Nabi Muhammad SAW.
Dalam ekspansi Islam yang cepat yang sebagian dapat dikembalikan kepada karakter Abrahamik secara inherennya dan sebagian kepada kesaksian pada beberapa bentuk Kristiani.
Selama abad-abad selanjutnya, berbeda dengan titik temu antara umat Islam dan umat Kristen, kasus khusus bangsa Yahudi, masing-masing adalah agama-agama besar yang secara luas masih tetap terisolasi satu dengan yang lain.
Hanya pada abad kedua puluh gerakan-gerakan populasi yang berskala luas itu telah mengambil tempat yang akan memperkuat agama-agama tersebut memahami problema-problema kemajemukan agama, problema-problema dari agama-agama untuk hidup berdampingan secara damai.
Solusi-solusi utama dari problema-problema kontemporer itu terletak pada tema-tema misi dan dialog. Tiap-tiap agama berikhtiar untuk memasukkan agama lain, atau apakah agama-agama itu mengajak untuk dialog?
Ada tiga kemungkinan, berikhtiar untuk tetap mengisolasi, ada mata rantai Islam, dan mungkin agama-agama yang lain, yang bermanfaat ini. Namun keberadaan yang terpisah-pisah ini tidak dapat berjalan di dunia hari ini kecuali keberadaan itu diisi untuk menutup dirinya pada suatu ghetto. Baik Kristen maupun Islam ikut serta dalam misi, sekalipun banyak orang muslim yang berusaha mempertahankan apa yang mereka yakini berbeda dengan apa yang diyakini oleh umat beragama Kristen.
Dalam bahasa Arab pekerjaan misioner umat Kristen ini biasanya adalah tahshir, pengkabaran atau penyebaran warta-warta yang baik, namun dengan konotasi-konotasi yang tidak dapat disetujui, dimana misi Islam disebut dakwah, memanggil atau mengajak kepada Islam, untuk tunduk menyerahkan diri kepada Allah; dan "Masyarakat Dakwah Islam" adalah nama yang diberikan oleh Kolonel Qadhafi kepada asosiasi para da'i yang dia dukung.
Untuk memahami dugaan perbedaan ini akan membantu mempertimbangkan apa yang terlibat pada konversi dari satu kelompok agama ke kelompok agama yang lain. Pada semua konversi ini ada dua faktor yang berpengaruh; yakni faktor komunal dan faktor personal.
Pada awal ekspansi Kristen di tengah umat kufur, faktor komunal yang penting adalah adanya kevakuman spiritual yang berlaku umum di masyarakat, maka dengan sendirinya mungkin berhasil menciptakan perdamaian di area yang luas itu di Roma, Pax Romana. Berbagai macam agama baru berikhtiar mengisi vacuum ini.
Banyak orang kufur menarik agama Yahudi di kota-kota Kerajaan, namun secara penuh tidak dapat menerima persyaratan-persyaratan ritual Yahudi yang mempertahankan bangsa Yahudi tetap berada pada keterasingan parsial dari tetangga-tetangganya.
Dalam ekspansi Islam di negeri-negeri Islam, faktor komunal yang memberi sumbangan terjadinya konversi adalah status sosial yang rendah dari anggota-anggota minoritas yang dilindungi.
Pada abad sembilan belas terjadi ekspansi Kristen di Asia, Afrika dan tempat-tempat lain, faktor komunal yang penting adalah hasrat untuk memberi sumbangan kepada peradaban bangsa Eropa; dan ini masih semakin meluas.
Perbedaan yang dibuat oleh kaum muslimin antara dakwah Islam dan misi Kristen barangkali didasarkan pada fakta bahwa kaum muslimin ini harus menyandarkan pada seluruh faktor personal, karena di negeri-negeri barat tidak ada faktor komunal yang memperkembangkan perpindahan agama ke Islam.
Bilamana agama-agama itu hidup berdampingan secara damai, dapatkah konversi agama diperbolehkan? Mungkin harus disepakati bahwa perbuatan menarik pemeluk agama untuk masuk ke suatu agama itu seharusnya dilarang, maksudnya, kegiatan-kegiatan yang tujuan utamanya mengganggu orang yang beragama lain agar tidak mampu hidup lebih penuh dan mencapai kehidupan yang lebih berarti; namun tujuan utamanya adalah berusaha untuk menambah jumlah pemeluknya agar masuk ke kelompok agamanya sendiri.
Tiap aktivitas acapkali melibatkan apa yang dipandang agama lain sebagai memanfaatkan faktor-faktor komunal secara tidak jujur. Walaupun demikian, dimana hanya faktor personal yang terlibat di dalamnya, rupanya ada banyak kasus luar biasa dimana suatu perubahan agama itu sangat diperlukan atau bahkan esensial bagi kesejahteraan pribadi.
Di sini perpindahan agama hendaknya diperbolehkan; kecuali tiap-tiap kasus yang terjadi itu jarang merupakan pengecualian. Secara umum, kesejahteraan individual itu merupakan tujuan paling penting yang hendak dicapai manakala orang ini masih tetap berada pada kultur agama yang dibawanya. Pada sisi ini, misi digantikan oleh dialog.
Dialog dapat dilakukan dengan berbagai tingkatan formalitas dan informalitas. Bahkan saya sendiri beberapa tahun yang lalu telah melakukan studi ilmiah agama lain, dapat dikatakan terlibat pada dialog batiniah. Kondisi esensial dialog ini adalah dari para peserta akan bertemu sebagai sama, dan bahkan sama sejajar.
Meskipun tiap pribadi pemeluk agama itu tetap setia kepada agamanya sendiri, masing-masing merasa bahwa satu sama lain dapat memberi dan menerima. Tujuan dialog adalah agar masing-masing golongan agama tertentu hendaknya mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap agama lain. Namun pengalaman menunjukkan bahwa mereka seolah-olah mendapatkan wawasan lebih mendalam dalam kepercayaan masing-masing agamanya sendiri.
Barangkali sebagian pemeluk Kristen merasa bahwa untuk ikut dalam dialog ini adalah berarti menjauhkan perintah Kristus untuk mengabarkan ajaran Injil kepada setiap makhluk; dan sebagian pemeluk muslim dapat mempunyai hubungan perasaan.
Sementara tiap perasaan itu adalah salah secara mendasar. Dalam dialog, kita menyaksikan iman kita dan ini merupakan jalan untuk mengabarkan ajaran itu.
Dalam beberapa kejadian ini dapat menjadi cara yang lebih efektif untuk memproklamirkan iman ketimbang metode-metode tradisional. Akibatnya orang mengatakan, "Aku pernah mendapatkan sesuatu yang bagus dan aku ingin memberi andil dialog itu kepadamu."
Dengan kata lain, orang menunjukkan kesaksian terhadap nilai-nilai positif iman kita, namun untuk melakukan hal ini dengan baik tanpa memperbandingkan keimanan satu dengan keimanan yang lain sehingga merugikan pemeluk agama lain. Walaupun demikian, setelah kesaksian itu lahir pada jalan ini maka harus terbuka untuk para pendengar agar menanggapi kesaksian itu dalam termanya masing-masing.
Sebagaimana agama-agama melihat masa depan pada satu dunia yang timbul itu dimana agama-agama itu hidup bersama satu sama lain, sebagian besar pemeluk masing-masing agama mengharapkan hidup berdampingan secara damai itu akan ditemukan.
Di masa depan diduga tak mungkin satu agama tertentu itu menjadi agama monolitik tunggal bagi seluruh dunia, sungguhpun hal itu diidam-idamkan. Apa yang diharapkan tiap agama, sebagai akibat dialog, mencapai pemahaman akan kebenaran agama-agama lain dan menggabungkan kebenaran ini ke dalam visi atau gambaran dunianya sendiri.
Sekalipun tidak mengapresiasikan penonjolan-penonjolan agama lain, tiap pemeluk agama menahan diri dari deklarasi publik kesalahan masing-masing agama, bahkan tiap penonjolan agama tersebut sebagai masalah-masalah pokok yang tidak perlu dibicarakan secara terbuka.
Pada inti sikap hormat yang timbul pada agama-agama ini, akan menjadi persetujuan tentang karakter tidak tepatnya konsep-konsep agama dan penyajian-penyajian historis, baik yang disebut mythic, iconic maupun oleh nama-nama lain, yang mengabsahkan agama-agama ini sikap saling mengakui satu sama lain bagi pemeluknya.
Secara ideal, berbagai agama itu satu sama lain melihat sebagai saling melengkapi bukan malah saling memusuhi satu sama lain, karena masing-masing agama itu melahirkan kesaksian kepada aspek-aspek kebenaran ilahiah tertentu yang tidak diungkapkan, atau malah diungkapkan secara penuh pada agama yang lain.
Ini tidak mencegah tiap agama untuk memikirkan kesaksian akan kebenaran yang lebih penting ketimbang kesaksian kebenaran dari agama-agama lain. Secara langsung, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak ada kriteria tingkatan kebenaran yang didapatkan pada agama-agama yang berbeda, melainkan harus dinilai oleh hasil-hasil yang dibuahkan pada kehidupan anggota pemeluk tiap agama itu sendiri; dan ini bukanlah sesuatu yang dapat diselesaikan bagi semua. Bahkan tantangan untuk menghasilkan hasil-hasil yang bermanfaat akan terus berlangsung sampai yang akan datang dalam pergantian abad ke abad, dan dari sini tidak ada yang lepas.
Dalam buku yang diterjemahkan Zaimudin berjudul "Titik Temu Islam dan Kristen, Persepsi dan Salah Persepsi" (Gaya Media Pratama Jakarta, 1996) Montgomery Watt melanjutkan, kepercayaan demikian diberikan sebagai landasan bagi penegasan pernyataannya, misalnya "hanya agama saya sendirilah satu-satunya yang dari Tuhan" atau "agama saya sendirilah satu-satunya agama yang mempunyai kebenaran ilahiah yang asli, sementara semua agama-agama lain tidak asli lagi."
Menurutnya, pandangan-pandangan eksklusivis ini tidak dapat dipertahankan ke dalam kultur dunia yang timbul, sebab ilmu pengetahuan sosial merupakan bagian dari pandangan intelektual barat, dan observasi sosial-ilmiah agama-agama menunjukkan bahwa agama-agama tersebut semuanya kurang atau lebih melakukan hal-hal yang sama, mirip dengan tujuan dan dengan ukuran kesuksesan.
John Hick melihat ini berkenaan dengan kemiripan yang amat secara paksa dengan mengutip doa (atau peribadatan) orang Yahudi, Muslim, Sikh dan Hindu yang secara tegas berbeda dengan doa-doa (atau peribadatan) orang Kristen.
Sungguhpun orang yang beriman menegaskan bahwa hanya agamanyalah yang lebih unggul dari agama-agama lain, maka hal ini masih sulit baginya untuk menemukan para pemeluk agama-agama lain sebagai sama dengan agama yang dipeluknya. Bagaimana hal ini dapat terjadi?
Menurut Montgomery Watt, sangat dipertahankan bahwa karena kandungan intelektual kepercayaan agama itu diungkapkan pada terma-terma iconic, maka tidak ada kriteria kebenaran intelektual bagi kepercayaan-kepercayaan ini, dan bahwa ajaran-ajaran yang seolah-olah mengandung kontradiksi kenyataannya tidak boleh berkontradiksi melainkan harus saling melengkapi.
Apabila pernyataan ini diterima maka tidak ada justifikasi rasional bagi penegasan secara publik karena agama kita itu lebih baik daripada agama lain (sekalipun kita terus berfikir demikian), dan paling tidak, justifikasi parsial bagi diakuinya agama-agama lain sebagai sama benarnya dengan agama kita.
Kriteria "hasil" sebagai diterapkan untuk agama-agama akan segera dijelaskan, dan tentu saja harus mempunyai tempat sentral dalam pemikiran Kristen, karena agama ini berasal dari Puncak Gunung Sermon; Yesus mengatakan bahwa guru-guru agama harus dinilai sesuai dengan kualitas hasil ajarannya. Dalam cara yang sama bahwa pohon yang baik itu berbeda dengan pohon yang buruk dari kualitas buah yang dihasilkannya.
Apabila konsepsi ini diterapkan kepada agama, kata Montgomery Watt, maka kita dapat mengatakan bahwa agama itu memproduksi buah yang baik ketika memampukan mayoritas anggota-anggota pemeluknya untuk mengarahkan kehidupan yang bermanfaat dalam masyarakat yang harmonis, selain adanya kesakitan dan nasib buruk.
Ini secara jelas bukannya kriteria yang dapat diterapkan dengan pertimbangan matematika yang kaku, melainkan dapat menjadi wilayah persetujuan yang luas antara bangsa dari tradisi-tradisi yang berbeda satu sama lain mengenai buah yang baik itu. Namun begitu, satu hal perlu dicatat bahwa perasaan subyektif yang dipenuhi dengan agamanya sendiri tidaklah cukup.
Tidak mengherankan kalau kasus itu ada pada sebagian besar bentuk Kristen dan barangkali ada pada agama-agama lain juga, dimana kepuasan akan agamanya sendiri telah menjadi bentuk self complacency (kepuasan dengan diri sendiri dan tidak perlu yang lain) yang buta kepada ketidakadilan pada lingkungan yang mengeilingi kita, ketidakadilan dari kepuasan diri tiap individu yang barangkali juga bermanfaat.
Sekadar mengingatkan William Montgomery Watt adalah profesor Studi-studi Arab dan Islam pada Universitas Edinburgh antara tahun 1964-1979. Ia juga merupakan visiting professor pada Universitas Toronto, College de France, Paris, dan Universitas Georgetown; serta menerima gelar kehormatan Doctor of Divinity dari Universitas Aberdeen.
Dalam hal kerohanian, Montgomery Watt adalah pendeta (reverend) pada Gereja Episkopal Skotlandia, dan pernah menjadi spesialis bahasa bagi Uskup Yerusalem antara tahun 1943-1946. Ia menjadi anggota gerakan ekumenisme "Iona Community" di Skotlandia pada 1960. Beberapa media massa Islam pernah menjulukinya sebagai "Orientalis Terakhir".
Berikut tulisan selengkapnya William Montgomery Watt tersebut:
Setelah perang-perang agama pada abad keenam belas dan tujuh belas, bangsa Eropa Kristen baik Katolik maupun Protestan, cenderung menjadi kepercayaan yang benar-benar personal, mempribadi dan tidak memberi keputusan-keputusan bagi kebijakan publik; karena tidak ada perubahan iman kecuali penekanan-penekanan semata.
Di masa John (Yahya) si Baptis dan Yesus, ada banyak kelompok dalam agama Yahudi, yang mempraktikkan agamanya dengan cara yang berbeda-beda.
Kelompok Sadduki berkompromi dengan kelompok kolonialis Roma; kelompok fanatik (Zealot) malah hanya suatu solusi militer; kelompok Pharisi menempatkan penekanan-penekanan tak semestinya atas kemurnian ritual atas nama kebenaran moral.
Yang terakhir ini hanya satu untaian dalam Pharisisme, sejak kebangkitan agama Yahudi setelah jatuhnya Yerusalem pada tahun 70 Masehi yang secara luas benar-benar ke kelompok Pharisi; namun banyak orang Pharisi yang mengubah agamanya dengan menempatkan penekanan-penekanan yang tidak semestinya atas kemurnian ritual dalam bentuk-bentuk yang mustahil dipatuhi bagi para pemeluk Yahudi biasa.
Selanjutnya dapat disangkal bahwa adanya hasil pada agama-agama itu menunjukkan bahwa Tuhan berbuat pada semua agama itu. Pernyataan ini dibuat pada bentuk teistik sesuai dengan tiga agama Abrahimi, namun pernyataan equivalen ini agaknya dapat dilakukan pada terma-terma non-teistik, kata orang Budha.
Didukung oleh para ahli teologi Kristen, Tuhan itu selalu sama, perbedaan pada agama-agama itu terjadi lewat respon manusia kepada Tuhan; namun ini rupanya terlalu memudahkan masalah.
Tuhan tidak pernah dipahami sebagai Diri-Nya sendiri, melainkan sebagai yang melihat aktivitas dan misterinya dalam kehidupan kultur kita. Itu berarti bahwa ketika mereka memahami Tuhan, maka mereka nyatakan pada terma-terma kulturnya; yakni, dalam bahasanya dan kategori-kategori nalarnya sendiri; dan ini benar manakala pesan-pesan dari balik mereka itu diterima oleh nabi-nabi.
Lebih dari itu, apakah tiap kultur itu memahami Tuhan, atau telah diturunkan oleh Tuhan kepada mereka, juga tergantung atas pengalamannya dalam problema-problema kehidupan dan dapat dibedakan dari kultur ke kultur (seperti yang telah dijelaskan pada bab pertama).
Ide bahwa Tuhan mewahyukan sendiri pada satu cara kepada semua manusia yang diketemukan pada berbagai poin di Bibel, pertama pada perjanjian-Nya dengan Nuh.
Di akhir Perjanjian Lama nabi Malachi menyebut nama Tuhan menjadi besar di tengah orang kafir sejak menyingsing fajar sampai terbenam matahari dan marah kepada-Nya.
Juga di Perjanjian Baru, Yesus berucap bahwa banyak yang akan datang dari timur dan barat (yakni, non-Yahudi) dan akan duduk bersama Ibrahim, Isa dan Yakub di perjamuan pada kerajaan langit.
Juga dalam Islam Al-Qur'an menyiratkan bahwa semua manusia telah menerima ilmu Allah. Sesuai dengan kemampuan nalar, kini kita dapat memberikan versi sejarah dunia agama.
Kira-kira 1.800 tahun Sebelum Masehi kepada seorang lelaki yang bernama Ibrahim, Tuhan menurunkan ilmu dari diri-Nya, dari Tujuan-Nya bagi manusia dan dari bentuk-bentuk tingkah laku yang diharapkan dari manusia.
Dalam artian Tuhan memilih Ibrahim, sungguhpun tidak menempatkannya di atas manusia yang lain, namun agar dia dapat menjadi saluran aspek ilmu Tuhan ini dapat sampai ke seluruh keluarga bumi.
Ilmu dan praktik Ibrahim terjaga di tengah keturunannya setelah mereka hidup di Mesir lebih dari empat ratus tahun lamanya; dan kira-kira 1.250 tahun sebelum Masehi Tuhan memberi wahyu kepada Musa untuk membawa bangsa Israel keluar dari Mesir dan memberi pemahaman lebih penuh akan pengawasan Tuhan kepada bangsa Israel tentang kejadian- kejadian dunia dan hukum-hukumnya bagi kemanusiaan.
Bangsa Israel ditempatkan di Palestina, dan kira-kira 1.000 tahun Sebelum Masehi manusia disatukan di bawah pimpinan Raja Dawud (David). Pada masa empat atau lima abad sesudahnya, sekitar 900 tahun sebelum Masehi para pemimpin agama besar mulai muncul di berbagai belahan dunia: Confusius di Cina, Buddha di India, Zoroaster di Persia dan masih banyak lagi yang lain.
Barangkali kita dapat menambahkan Socrates, Plato dan Pythagoras di Yunani. Semua itu membawa wawasan baru dan wawasan agama lebih mendalam kepada bangsa-bangsa manusia di mana mereka hidup.
Sesudah Raja Dawud (David), bangsa Israel mengalami kemajuan dan kemunduran, namun ketika mereka menyimpang dari iman yang benar, mereka diperingatkan untuk beriman secara benar oleh serentetan nabi-nabi.
Nabi-nabi ini juga membawa pemahaman segar dan lebih penuh akan Tuhan dan aktivitas-aktivitasnya di dunia ini. Berdasarkan keimanan yang benar ini bangsa Israel mampu menemukan kembali pengalaman katastropik Pengasingan ke Iraq (pada 586 SM) dan dapat membangun kembali masyarakat beriman sesudah perbaikan Jerusalem.
Sejak zaman John si Baptis (Yahya) dan Jesus (Isa) yang menekankan masuk ke untaian agama Yahudi yang merusak kemurnian kesaksian bangsa Yahudi kepada Tuhan ke dunia kufur, bahkan mengancam kemampuan mereka untuk mengabadikan kesaksian itu. Untuk mengoreksi penyimpangan ini karena Tuhan pertama kali mengirimkan John Pembaptis (Yahya) dan kemudian Yesus ke bangsa Yahudi.
Sulit bagi umat Kristen untuk memberi penilaian Yesus yang pantas bagi pencantuman sejarah agama dunia, di mana semua agama diperlakukan sebagai berada pada dasar pijakan yang sama. Seperti penilaian yang tidak boleh bersifat eksklusifis.
Saya tegaskan bahwa hal ini dilakukan dengan menghadirkan ajaran dan prestasi Yesus semata dalam terma fakta historis manusia dan tanpa tafsiran-tafsiran teologis awal dan umat Kristen terkemudian.
Hal ini muncul menjadi gema secara teologis, semenjak murid-murid pertama mengetahui Yesus sebagai seorang manusia sebelum mereka berpikir bahwa Yesus itu benar-benar dalam sifat ketuhanan yang sesungguhnya.
Metode ini diujicobakan oleh perintis misioner kepada suku Massai yang primitif di Kenya dan mendapat sukses; dan Yesus menyetujui apa yang dilakukan oleh petunjuk terhadap pengalaman murid-murid tersebut:
Tidak ada jalan lain bagi murid-murid Yesus untuk mengetahui Yesus, kecuali melalui kehidupan manusia dimana Yesus itu hidup di antara manusia. Tidak ada jalan lain untuk sampai ke makna yang paling dalam dari apa yang tersimpan di dalamnya, kecuali dengan merefleksikan kepada apa yang dapat dilihat secara nyata dan dapat didengar serta dapat dirasa dan tanpa dapat disentuh. Tidak ada jalan lain bagi Massai hari ini untuk sampai ke makna yang paling penuh terhadap apa yang terjadi di belakang sana di Galilee jauh sebelum itu.
Ini juga menjadi jalan untuk menghadirkan iman Kristen kepada umat non-Kristen di dunia agama yang majemuk ini, yakni, untuk memberi mereka fakta-fakta historis manusia tentang Yesus dan kemudian untuk memperkenalkan mereka menafsiri fakta-fakta tcrsebut dalam terma nilai-nilai keagamaan masing-masing.
Karya John Pembaptis (Yahya) dan Yesus (Isa) sebagai guru adalah untuk membenarkan penekanan-penekanan yang salah kaprah pada sikap-sikap Yahudi dewasa ini; umpamanya, penegasan kasih Tuhan secara kuat kepada orang berdosa yang benar-benar menyesali dosa-dosanya.
Sekalipun demikian, berbeda dengan ajaran, Yesus juga mencapai sesuatu yang penting bagi dunia ini lewat kematiannya dan apa yang mengikutinya. Pencapaian ini dijelaskan oleh umat Kristen dalam berbagai jalan, misalnya; penebusan dosa dunia yang membawa penyelamatan, perdamaian kemanusiaan dengan Tuhan, pembukaan perjanjian baru antara Tuhan dan seluruh bangsa manusia.
Semua kalimat itu dan kalimat-kalimat lain yang juga dipergunakan adalah kalimat iconic, agar tak seorangpun melimpahkan pernyataan sempurna dari seluruh kebenaran, sungguhpun termasuk tingkat penafsiran yang membawa kepada eksklusifisme.
Untuk maksud versi sejarah agama dunia kita ini akan paling baik untuk mengatakan bahwa pencapaian dengan kematian Yesus itu adalah untuk membuka perjanjian baru atau membuka bentuk hubungan baru antara Tuhan dan bangsa manusia yang menekankan kepada cinta kasih Tuhan bagi semua.
Sebagai pencapaian ini dan untuk menafsirinya secara teologis, Gereja didirikan; kemudian kepercayaan ini berkembang sampai empat abad lamanya menjadi agama resmi Kerajaan Romawi.
Dalam pada itu, agama-agama Asia sebelah timur dan selatan sedang tumbuh dan berkembang. Agama Kristen juga menyebar ke arah timur, namun, jurang pemisah berkembang antara umat Kristen Yunani yang terkena proses Hellenisme Romawi atau Kerajaan Byzantine dan Semitik dan umat Kristen yang tidak terkena Helenisasi di batas-batas ketimurannya.
Dalam situasi begini, walaupun hal itu dipahami secara terinci, ada ruang lingkup prakarsa ilahi dalam urusan-urusan manusia dan ini terjadi melalui Nabi Muhammad SAW.
Dalam ekspansi Islam yang cepat yang sebagian dapat dikembalikan kepada karakter Abrahamik secara inherennya dan sebagian kepada kesaksian pada beberapa bentuk Kristiani.
Selama abad-abad selanjutnya, berbeda dengan titik temu antara umat Islam dan umat Kristen, kasus khusus bangsa Yahudi, masing-masing adalah agama-agama besar yang secara luas masih tetap terisolasi satu dengan yang lain.
Hanya pada abad kedua puluh gerakan-gerakan populasi yang berskala luas itu telah mengambil tempat yang akan memperkuat agama-agama tersebut memahami problema-problema kemajemukan agama, problema-problema dari agama-agama untuk hidup berdampingan secara damai.
Solusi-solusi utama dari problema-problema kontemporer itu terletak pada tema-tema misi dan dialog. Tiap-tiap agama berikhtiar untuk memasukkan agama lain, atau apakah agama-agama itu mengajak untuk dialog?
Ada tiga kemungkinan, berikhtiar untuk tetap mengisolasi, ada mata rantai Islam, dan mungkin agama-agama yang lain, yang bermanfaat ini. Namun keberadaan yang terpisah-pisah ini tidak dapat berjalan di dunia hari ini kecuali keberadaan itu diisi untuk menutup dirinya pada suatu ghetto. Baik Kristen maupun Islam ikut serta dalam misi, sekalipun banyak orang muslim yang berusaha mempertahankan apa yang mereka yakini berbeda dengan apa yang diyakini oleh umat beragama Kristen.
Dalam bahasa Arab pekerjaan misioner umat Kristen ini biasanya adalah tahshir, pengkabaran atau penyebaran warta-warta yang baik, namun dengan konotasi-konotasi yang tidak dapat disetujui, dimana misi Islam disebut dakwah, memanggil atau mengajak kepada Islam, untuk tunduk menyerahkan diri kepada Allah; dan "Masyarakat Dakwah Islam" adalah nama yang diberikan oleh Kolonel Qadhafi kepada asosiasi para da'i yang dia dukung.
Untuk memahami dugaan perbedaan ini akan membantu mempertimbangkan apa yang terlibat pada konversi dari satu kelompok agama ke kelompok agama yang lain. Pada semua konversi ini ada dua faktor yang berpengaruh; yakni faktor komunal dan faktor personal.
Pada awal ekspansi Kristen di tengah umat kufur, faktor komunal yang penting adalah adanya kevakuman spiritual yang berlaku umum di masyarakat, maka dengan sendirinya mungkin berhasil menciptakan perdamaian di area yang luas itu di Roma, Pax Romana. Berbagai macam agama baru berikhtiar mengisi vacuum ini.
Banyak orang kufur menarik agama Yahudi di kota-kota Kerajaan, namun secara penuh tidak dapat menerima persyaratan-persyaratan ritual Yahudi yang mempertahankan bangsa Yahudi tetap berada pada keterasingan parsial dari tetangga-tetangganya.
Dalam ekspansi Islam di negeri-negeri Islam, faktor komunal yang memberi sumbangan terjadinya konversi adalah status sosial yang rendah dari anggota-anggota minoritas yang dilindungi.
Pada abad sembilan belas terjadi ekspansi Kristen di Asia, Afrika dan tempat-tempat lain, faktor komunal yang penting adalah hasrat untuk memberi sumbangan kepada peradaban bangsa Eropa; dan ini masih semakin meluas.
Perbedaan yang dibuat oleh kaum muslimin antara dakwah Islam dan misi Kristen barangkali didasarkan pada fakta bahwa kaum muslimin ini harus menyandarkan pada seluruh faktor personal, karena di negeri-negeri barat tidak ada faktor komunal yang memperkembangkan perpindahan agama ke Islam.
Bilamana agama-agama itu hidup berdampingan secara damai, dapatkah konversi agama diperbolehkan? Mungkin harus disepakati bahwa perbuatan menarik pemeluk agama untuk masuk ke suatu agama itu seharusnya dilarang, maksudnya, kegiatan-kegiatan yang tujuan utamanya mengganggu orang yang beragama lain agar tidak mampu hidup lebih penuh dan mencapai kehidupan yang lebih berarti; namun tujuan utamanya adalah berusaha untuk menambah jumlah pemeluknya agar masuk ke kelompok agamanya sendiri.
Tiap aktivitas acapkali melibatkan apa yang dipandang agama lain sebagai memanfaatkan faktor-faktor komunal secara tidak jujur. Walaupun demikian, dimana hanya faktor personal yang terlibat di dalamnya, rupanya ada banyak kasus luar biasa dimana suatu perubahan agama itu sangat diperlukan atau bahkan esensial bagi kesejahteraan pribadi.
Di sini perpindahan agama hendaknya diperbolehkan; kecuali tiap-tiap kasus yang terjadi itu jarang merupakan pengecualian. Secara umum, kesejahteraan individual itu merupakan tujuan paling penting yang hendak dicapai manakala orang ini masih tetap berada pada kultur agama yang dibawanya. Pada sisi ini, misi digantikan oleh dialog.
Dialog dapat dilakukan dengan berbagai tingkatan formalitas dan informalitas. Bahkan saya sendiri beberapa tahun yang lalu telah melakukan studi ilmiah agama lain, dapat dikatakan terlibat pada dialog batiniah. Kondisi esensial dialog ini adalah dari para peserta akan bertemu sebagai sama, dan bahkan sama sejajar.
Meskipun tiap pribadi pemeluk agama itu tetap setia kepada agamanya sendiri, masing-masing merasa bahwa satu sama lain dapat memberi dan menerima. Tujuan dialog adalah agar masing-masing golongan agama tertentu hendaknya mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap agama lain. Namun pengalaman menunjukkan bahwa mereka seolah-olah mendapatkan wawasan lebih mendalam dalam kepercayaan masing-masing agamanya sendiri.
Barangkali sebagian pemeluk Kristen merasa bahwa untuk ikut dalam dialog ini adalah berarti menjauhkan perintah Kristus untuk mengabarkan ajaran Injil kepada setiap makhluk; dan sebagian pemeluk muslim dapat mempunyai hubungan perasaan.
Sementara tiap perasaan itu adalah salah secara mendasar. Dalam dialog, kita menyaksikan iman kita dan ini merupakan jalan untuk mengabarkan ajaran itu.
Dalam beberapa kejadian ini dapat menjadi cara yang lebih efektif untuk memproklamirkan iman ketimbang metode-metode tradisional. Akibatnya orang mengatakan, "Aku pernah mendapatkan sesuatu yang bagus dan aku ingin memberi andil dialog itu kepadamu."
Dengan kata lain, orang menunjukkan kesaksian terhadap nilai-nilai positif iman kita, namun untuk melakukan hal ini dengan baik tanpa memperbandingkan keimanan satu dengan keimanan yang lain sehingga merugikan pemeluk agama lain. Walaupun demikian, setelah kesaksian itu lahir pada jalan ini maka harus terbuka untuk para pendengar agar menanggapi kesaksian itu dalam termanya masing-masing.
Sebagaimana agama-agama melihat masa depan pada satu dunia yang timbul itu dimana agama-agama itu hidup bersama satu sama lain, sebagian besar pemeluk masing-masing agama mengharapkan hidup berdampingan secara damai itu akan ditemukan.
Di masa depan diduga tak mungkin satu agama tertentu itu menjadi agama monolitik tunggal bagi seluruh dunia, sungguhpun hal itu diidam-idamkan. Apa yang diharapkan tiap agama, sebagai akibat dialog, mencapai pemahaman akan kebenaran agama-agama lain dan menggabungkan kebenaran ini ke dalam visi atau gambaran dunianya sendiri.
Sekalipun tidak mengapresiasikan penonjolan-penonjolan agama lain, tiap pemeluk agama menahan diri dari deklarasi publik kesalahan masing-masing agama, bahkan tiap penonjolan agama tersebut sebagai masalah-masalah pokok yang tidak perlu dibicarakan secara terbuka.
Pada inti sikap hormat yang timbul pada agama-agama ini, akan menjadi persetujuan tentang karakter tidak tepatnya konsep-konsep agama dan penyajian-penyajian historis, baik yang disebut mythic, iconic maupun oleh nama-nama lain, yang mengabsahkan agama-agama ini sikap saling mengakui satu sama lain bagi pemeluknya.
Secara ideal, berbagai agama itu satu sama lain melihat sebagai saling melengkapi bukan malah saling memusuhi satu sama lain, karena masing-masing agama itu melahirkan kesaksian kepada aspek-aspek kebenaran ilahiah tertentu yang tidak diungkapkan, atau malah diungkapkan secara penuh pada agama yang lain.
Ini tidak mencegah tiap agama untuk memikirkan kesaksian akan kebenaran yang lebih penting ketimbang kesaksian kebenaran dari agama-agama lain. Secara langsung, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak ada kriteria tingkatan kebenaran yang didapatkan pada agama-agama yang berbeda, melainkan harus dinilai oleh hasil-hasil yang dibuahkan pada kehidupan anggota pemeluk tiap agama itu sendiri; dan ini bukanlah sesuatu yang dapat diselesaikan bagi semua. Bahkan tantangan untuk menghasilkan hasil-hasil yang bermanfaat akan terus berlangsung sampai yang akan datang dalam pergantian abad ke abad, dan dari sini tidak ada yang lepas.
(mhy)