Konsep Istihsan, Istishlah, dan Mashlahat Al-Ammah Menurut KH Ali Yafie
loading...
A
A
A
Profesor Kiai Haji Ali Yafie (wafat: 25 Februari 2023) berpendapat dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad; upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa sunnah).
Dengan demikian, kata Kiai Ali Yafie, sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an , Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
Istihsan
Pada saat-saat awal terbentuknya pemikiran hukum Islam yang metodis (ilmu fiqh), dikenal adanya dua kubu pengembangan pemikiran hukum Islam; yaitu kubu Irak dan kubu Hijaz. Tokoh utama kubu Irak ialah Imam Abu Hanifah, dan tokoh utama kubu Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para ulama pendukung kubu Irak dikenal sebagai ahl al-ra'y, dan para ulama pendukung kubu Hijaz dikenal sebagai ahl al-hadits.
Berikut selengkapnya tulisan Kiai Ali Yafie:
Ahl al-ra'y sesuai dengan situasi lingkungannya, dalam pengembangan pemikiran hukumnya (metoda ijtihadnya) volume penggunaan rasio lebih besar dari volume penggunaan hadit (sebagai salah satu sumber syari'ah).
Ini tidak berarti, mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau sama sekali tidak menggunakan sumber hukum itu. Tapi penggunaannya sangat terbatas.
Di pihak lain kita dapat mengamati, ahl al-hadits sesuai dengan situasi lingkungannya, mereka dalam pengembangan pemikiran hukum (metode ijtihadnya) volume penggunaan sumber hukum hadits lebih besar dari volume penggunaan sumber rasio (dalam hal ini qias).
Ini tidak berarti mereka menolak penggunaan sumber rasio itu. Kedua kubu tersebut mengakui keabsahan sumber hukum qias.
Ahl al-ra'y yang volume penggunaan rasionya lebih besar, ternyata tidak saja menggunakan qias yang merupakan bentuk penggunaan rasio dengan cara analogis ilmiah ketat, tapi mereka juga menggunakan analogi yang longgar dan lebih luas. Dalam hubungan inilah lahir konsep Istihsan.
Istilah "Istihsan" sebagai technische-term banyak beredar di kalangan tokoh-tokoh (ulama) dari aliran pemikiran hukum (mazhab) Hanafiyah. Mereka menggunakannya secara tersendiri atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka sering mengatakan, hukum dalam masalah ini bersumber dari Istihsan.
Dengan kata lain mereka mengatakan, dalam masalah ini, menurut qias hukumnya begini, dan menurut Istihsan hukumnya begini. Kita menggunakan qias dalam masalah ini, atau kita menggunakan istihsan dalam masalah ini.
Sepanjang penelitian guru besar ilmu-ilmu Syari'ah pada Fakultas Hukum Universitas Kairo, Syekh Muhammad Zakariya al-Bardisi, mereka yang menggunakan Istihsan sebagai sumber hukum tidak mempunyai kesepakatan atas suatu definisi tentang Istihsan itu, bahkan kita menemukan dari mereka beberapa definisi yang kontradiktif, di antaranya adalah:
Istihsan itu, ialah peralihan dari hasil sesuatu qias kepada qias yang lain yang lebih kuat. Menurut al-Bardisi definisi ini tidak mencakup (ghair jami'), karena tidak dapat menampung Istihsan yang ditegakkan di luar landasan qias, seperti Istihsan yang ditegakkan di atas landasan nas, atau ijma' atau dharurah.
Definisi yang lain, menyebutkan Istihsan itu suatu qias yang lebih dalam (khafi), tidak segera dapat ditangkap, dibandingkan dengan qias yang jelas (jali).
Definisi ini menurutnya, bukan saja tidak mencakup, tapi apa yang dia maksud dengan qias di sini tidak begitu jelas, apakah itu qias dalam arti technische-term, atau dalam arti yang mencakup qias yang lebih luas yang dikaitkan dengan suatu ketentuan umum atau suatu kaidah-kaidah hukum yang baku.
Sebagian lagi memberikan definisi, istihsan itu ialah semua ketentuan syar'i (baik yang bersifat nash, atau ijma', atau dharurah, atau qias yang lebih dalam) dibandingkan dengan qias yang jelas. Definisi ini pun belum mencakup, karena ada juga istihsan yang ditegakkan atas landasan 'urf atau mashlahah
Dengan demikian, kata Kiai Ali Yafie, sumber hukum Islam terdiri atas: al-Qur'an , Sunnah, Ijma' dan akal. Selain dari sumber hukum primer tersebut, dikenal juga adanya sumber-sumber sekunder (al-mashadir al-tab'iyyah), yaitu: syariah terdahulu (syar' man qablana). Pendapat sahabat Nabi (qaul al-shahabi), kebiasaan/adat-istiadat (al'urf), Istihsan, Istishlah dan Istishhab.
Istihsan
Pada saat-saat awal terbentuknya pemikiran hukum Islam yang metodis (ilmu fiqh), dikenal adanya dua kubu pengembangan pemikiran hukum Islam; yaitu kubu Irak dan kubu Hijaz. Tokoh utama kubu Irak ialah Imam Abu Hanifah, dan tokoh utama kubu Hijaz adalah Imam Malik. Biasanya para ulama pendukung kubu Irak dikenal sebagai ahl al-ra'y, dan para ulama pendukung kubu Hijaz dikenal sebagai ahl al-hadits.
Berikut selengkapnya tulisan Kiai Ali Yafie:
Ahl al-ra'y sesuai dengan situasi lingkungannya, dalam pengembangan pemikiran hukumnya (metoda ijtihadnya) volume penggunaan rasio lebih besar dari volume penggunaan hadit (sebagai salah satu sumber syari'ah).
Ini tidak berarti, mereka tidak mengakui keabsahan hadist itu, atau sama sekali tidak menggunakan sumber hukum itu. Tapi penggunaannya sangat terbatas.
Di pihak lain kita dapat mengamati, ahl al-hadits sesuai dengan situasi lingkungannya, mereka dalam pengembangan pemikiran hukum (metode ijtihadnya) volume penggunaan sumber hukum hadits lebih besar dari volume penggunaan sumber rasio (dalam hal ini qias).
Ini tidak berarti mereka menolak penggunaan sumber rasio itu. Kedua kubu tersebut mengakui keabsahan sumber hukum qias.
Ahl al-ra'y yang volume penggunaan rasionya lebih besar, ternyata tidak saja menggunakan qias yang merupakan bentuk penggunaan rasio dengan cara analogis ilmiah ketat, tapi mereka juga menggunakan analogi yang longgar dan lebih luas. Dalam hubungan inilah lahir konsep Istihsan.
Istilah "Istihsan" sebagai technische-term banyak beredar di kalangan tokoh-tokoh (ulama) dari aliran pemikiran hukum (mazhab) Hanafiyah. Mereka menggunakannya secara tersendiri atau menyebutnya berdampingan dengan kata/istilah qias. Mereka sering mengatakan, hukum dalam masalah ini bersumber dari Istihsan.
Dengan kata lain mereka mengatakan, dalam masalah ini, menurut qias hukumnya begini, dan menurut Istihsan hukumnya begini. Kita menggunakan qias dalam masalah ini, atau kita menggunakan istihsan dalam masalah ini.
Sepanjang penelitian guru besar ilmu-ilmu Syari'ah pada Fakultas Hukum Universitas Kairo, Syekh Muhammad Zakariya al-Bardisi, mereka yang menggunakan Istihsan sebagai sumber hukum tidak mempunyai kesepakatan atas suatu definisi tentang Istihsan itu, bahkan kita menemukan dari mereka beberapa definisi yang kontradiktif, di antaranya adalah:
Istihsan itu, ialah peralihan dari hasil sesuatu qias kepada qias yang lain yang lebih kuat. Menurut al-Bardisi definisi ini tidak mencakup (ghair jami'), karena tidak dapat menampung Istihsan yang ditegakkan di luar landasan qias, seperti Istihsan yang ditegakkan di atas landasan nas, atau ijma' atau dharurah.
Definisi yang lain, menyebutkan Istihsan itu suatu qias yang lebih dalam (khafi), tidak segera dapat ditangkap, dibandingkan dengan qias yang jelas (jali).
Definisi ini menurutnya, bukan saja tidak mencakup, tapi apa yang dia maksud dengan qias di sini tidak begitu jelas, apakah itu qias dalam arti technische-term, atau dalam arti yang mencakup qias yang lebih luas yang dikaitkan dengan suatu ketentuan umum atau suatu kaidah-kaidah hukum yang baku.
Baca Juga
Sebagian lagi memberikan definisi, istihsan itu ialah semua ketentuan syar'i (baik yang bersifat nash, atau ijma', atau dharurah, atau qias yang lebih dalam) dibandingkan dengan qias yang jelas. Definisi ini pun belum mencakup, karena ada juga istihsan yang ditegakkan atas landasan 'urf atau mashlahah