Konsep Istihsan, Istishlah, dan Mashlahat Al-Ammah Menurut KH Ali Yafie

Senin, 06 Maret 2023 - 16:18 WIB
loading...
A A A
Secara harfiah Istihsan itu berarti menganggap baik akan sesuatu baik itu fisik maupun nilai. Kata ini kemudian digunakan sebagai suatu technische-term yang membentuk pengertian baru menggambarkan suatu konsep penalaran dalam rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hukum dari sumber syari'ah yang tersurat, atau sumber hukum yang dipersamakan dengan itu, yakni kesepakatan para ahli yang berwenang (ahl al-ijtihad) di kalangan umat Islam.

Dalam analogi qias, dibutuhkan adanya suatu ketentuan pokok yang bersifat terinci (tafshili) untuk dijadikan landasan mengaitkan sesuatu yang ada persamaannya, dalam hal tujuan dan sasaran ditetapkannya ketentuan tersebut. Dalam bahasa tekniknya harus ada ashl dan harus ada 'illah, untuk menghasilkan suatu hukum bagi kejadian baru.

Dari uraian ini dapat ditangkap, ada empat elemen dari analogi qias itu, yakni ketentuan pokok (ashl), landasan penyamaan ('illah), kejadian baru (far), ketentuan yang dihasilkan dari pengaitan (ilhaq) tersebut di atas dan inilah yang disebut hukum qias.

Sebagian ahl al-ijtihad menganggap qias ini merupakan upaya final dalam penggalian dan penemuan hukum-hukum dari sumber syari'ah atau sumber yang dipersamakan (ijma'), tapi sebagian yang lain beranggapan, masih ada upaya penalaran yang lain seperti Istihsan dan istislah dan seterusnya.



Analogi Istihsan tidak terikat pada keketatan analogi qias karena dimungkinkan adanya qias alternatif (qias kahfi) yang terlepas dari elemen 'illah (dalam analogi qias biasa), atas pertimbangan sesuatu alasan yang lebih kuat. Alasan itulah menjadikan qias jali (biasa) dialihkan kepada qias khafi (alternatif) dan hasilnya disebut Istihsan. Termasuk pula dalam kategori Istihsan, pengecualian masalah tertentu dari suatu ketentuan pokok yang bersifat umum, atau dari suatu kaidah hukum, karena pengecualian itu didukung oleh suatu nash, atau ijma', atau 'urf atau dharurah, atau mashlahah.

Dengan kata lain pertimbangan adanya ketentuan lain atau kesepakatan, atau kebiasaan, atau keadaan darurat atau suatu kepentingan nyata, semua itu merupakan elemen-elemen dalam
hukum Istihsan.

Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam, Istihsan ini ditempatkan sebagai sumber hukum sekunder, di kalangan penganut aliran pemikiran hukum (madzhab) Hanafiyah. Kemudian berkembang pula secara terbatas dalam aliran Malikiyah dan Hambaliyah, sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda.

Yang dicatat sebagai seorang tokoh yang menolak menempatkan Istihsan itu sebagai suatu sumber hukum sekunder, adalah Imam Syafi'i, karena beliau berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi atas ketentuan-ketentuan syari'ah (al-Qur'an dan Sunnah) ditambah dengan analogi qias, sudah cukup, untuk menampung segala perkembangan yang terjadi, yang perlu ditata dalam hukum Islam.



Istishlah

Istishlah merupakan suatu konsep dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan mashlahah (kepentingan/kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah) menjadi suatu sumber hukum sekunder. Karenanya juga konsep ini lebih dikenal dengan sebutan, al-mashlah al-mursalah atau al-mashalih al-mursalah.

Konsep penalaran ini bermula dikembangkan dalam aliran pemikiran hukum Islam (madzhab) Malikiyah. Tapi dapat kita catat, pada hakekatnya konsep ini telah dikenal dan digunakan oleh angkatan pertama ahl al-ijtihad di kalangan sahabat dan tabi'in. Dan ternyata kemudian diambil alih juga oleh Imam al-Ghazali dari aliran Syafi'iyah dengan beberapa penyempurnaan. Tapi perlu dicatat, konsep ini ditolak oleh aliran Zhahiriyyah dan Syi'ah.

Landasan pemikiran yang membentuk konsep ini ialah, kenyataan bahwa, syari'ah Islam dalam berbagai pengaturan dan hukumnya mengarah kepada terwujudnya mashlahah (apa yang menjadi kepentingan dan apa yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya di permukaan bumi). Maka tidak dituntut untuk dilakukan manusia untuk kepentingan hidupnya, dan manusia tidak dicegah melakukan sesuatu, kecuali hal-hal yang pada galibnya membahayakan dan memelaratkan hidupnya. Maka, upaya mewujudkan mashlahah dan mencegah mafsadah (hal-hal yang merusak) adalah sesuatu yang sangat nyata dibutuhkan setiap orang dan jelas dalam syari'ah yang diturunkan Allah kepada semua rasul-Nya. Dan itulah sasaran utama dari hukum Islam.

Dalam kajian para ahl-ijtihad ada tiga jenis mashlahah, yaitu:

1. Mashlahah yang diakui ajaran syari'ah, yang terdiri dari tiga tingkat kebutuhan manusia, yaitu:

a. Dharuriyyah (bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya (jiwa, raga dan kehormatannya) akal pikirannya, harta bendanya, nasab keturunannya dan kepercayaan keagamaannya. Kelima tersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau al-dharuriyyat al-khams, yang menjadi dasar mashlahah (kepentingan dan kebutuhan manusia).

a. Hajiyyah (kebutuhan pokok) untuk menghindarkan kesulitan dan kemelaratan dalam kehidupannya.

b. Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan santun dan tata krama dalam kehidupan.

2. Mashlahah yang tidak diakui ajaran syari'ah, yaitu kepentingan yang bertentangan dengan maslahah yang diakui terutama pada tingkat pertama.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3214 seconds (0.1#10.140)