Ketika Mullah Nashruddin Ditinggalkan Muridnya

Jum'at, 21 Agustus 2020 - 06:20 WIB
loading...
Ketika Mullah Nashruddin Ditinggalkan Muridnya
Ilustrasi/Ist
A A A
PENGALAMAN terhadap dimensi realitas ini memungkinkan seorang sufi menghindari rasa-keakuan dan penggunaan mekanisme rasionalisasi -- suatu cara berpikir yang memenjarakan satu bagian dari akal. Mullah Nashruddin yang memainkan peranan sebagai seorang manusia tipikal untuk sesaat, menggambarkan persoalan ini kepada kita semua:



Seorang penduduk desa datang kepada Nashruddin dan berkata, "Sapi jantan Anda telah menanduk sapiku. Apakah aku berhak memperoleh ganti rugi?"

"Tidak," ucap Mullah seketika, "sapi jantan itu tidak bertanggung jawab atas insiden itu."

"Maaf," kata penduduk desa yang licik itu, "aku salah ucap. Yang kumaksudkan adalah sapi Tuan yang ditanduk sapiku, tetapi bukankah persoalannya sama saja?"

"Oh, tidak!" ucap Nashruddin, "Aku pikir lebih baik memeriksa kitab fiqihku untuk melihat apakah ada contoh hukum untuk masalah ini."

Idries Shah dalam The Sufi menjelaskan karena semua bangunan pemikiran intelektual manusia dinyatakan dalam hubungannya dengan penalaran eksternal, maka Nashruddin sebagai guru sufi berulang kali berupaya mengungkapkan kesalahan anggapan umum itu.



Upaya menuliskan atau menuturkan pengalaman mistis itu sendiri tidak pernah berhasil, sebab "mereka yang mengetahuinya tidak memerlukannya, sedang mereka yang tidak mengetahuinya tidak bisa meraihnya tanpa perantara."

Dua cerita dari beberapa yang penting seringkali digunakan dalam hubungannya dengan ajaran sufi untuk mempersiapkan pikiran terhadap pengalaman-pengalaman di luar pola-pola kebiasaan yang berlaku. ( )

Pada cerita pertama, Nashruddin dikunjungi oleh seorang calon murid. Orang tersebut, setelah mengalami berbagai cobaan, sampai ke gubuk di lereng gunung di mana Nashruddin sedang duduk. Karena mengetahui bahwa setiap gerak dari Sufi yang telah tercerahkan (mukasyafah) memiliki makna, maka pendatang baru tersebut menanyakan kepada Nashruddin mengapa ia meniup tangannya. "Tentu saja untuk menghangatkannya," jawab Nashruddin.

Setelah itu, Nashruddin mengambil dua mangkuk sup, dan meniupnya, "Mengapa guru melakukan hal itu?" tanya si murid. "Tentu saja untuk mendinginkannya," jawab si guru. ( )

Sampai di sini si murid meninggalkan Nashruddin, karena tidak lagi bisa mempercayai seorang yang menggunakan proses yang sama untuk mencapai hasil yang berbeda -- panas dan dingin.

Menguji sesuatu dengan cara yang diambil dari sesuatu itu sendiri -- seperti menguji pikiran dengan pikiran itu sendiri, menguji makhluk dengan cara pandang makhluk itu sendiri, padahal ia adalah wujud yang belum berkembang -- tidak bisa dilakukan. Pembentukan teori berdasar pada cara-cara subyektif semacam ini mungkin terasa baik untuk jangka pendek, atau untuk tujuan-tujuan khusus. Akan tetapi bagi Sufi, teori-teori semacam ini tidak mewakili kebenaran suatu alternatif semata-mata hanya dalam bentuk kata-kata, tetapi ia bisa mengkarikaturkan untuk mengungkapkan proses itu. Ketika hal ini dilakukan, pintu terbuka untuk mencari sistem alternatif dari hubungan fenomena tersebut.



"Setiap hari," ucap Nashruddin kepada istrinya, "aku semakin kagum terhadap cara efisien dimana dengan cara tersebut dunia ini diatur -- secara umum, untuk kesejahteraan manusia."

"Apa sebenarnya yang kau maksudkan?"

"Contohnya seperti unta. Menurutmu, mengapa unta itu tidak punya sayap?"

"Aku tidak tahu!"

"Coba bayangkan, seandainya unta punya sayap, mereka mungkin bersarang di atas atap rumah dan merusak pekarangan kita dengan berjalan mondar-mandir di atas atap dan memuntahkan makanannya ke kita." ( )

Peran guru Sufi ditekankan dalam ceritanya yang termasyhur tentang ceramah. Cerita ini menggambarkan (di antara hal-hal lainnya, sebagaimana pada semua cerita Nashruddin) bahwa tidak ada permulaan bisa dilakukan pada orang yang sama sekali tidak tahu. Tapi bagi mereka yang mengetahui tidak perlu diajari. Akhirnya, jika terdapat beberapa orang yang telah tercerahkan pada suatu komunitas, maka seorang guru baru tidak diperlukan.

Nashruddin diundang untuk memberikan ceramah kepada penduduk di desa tetangga. Ia naik mimbar dan mulai berbicara. "Para hadirin! Apakah kalian mengetahui apa yang akan kukatakan kepada kalian?"

Sebagian pendengar yang suka membuat kegaduhan, karena berusaha untuk menghibur diri mereka sendiri, berteriak, "Tidak!" "Jika demikian," ucap Nashruddin dengan tegas, "aku akan berhenti mencoba mengajari masyarakat yang sama sekali tidak mengerti semacam ini."

Minggu berikutnya, setelah memperoleh jaminan dari para perusuh bahwa mereka tidak akan mengulangi ucapan mereka, para sesepuh desa kembali meminta Nashruddin memberikan ceramah kepada mereka. ( )

"Para hadirin!" Ia mulai kembali, "Apakah kalian mengetahui apa yang akan kukatakan?"

Sebagian pendengar, karena tidak tahu pasti bagaimana harus bereaksi, sebab ia memandangi mereka dengan tajam, berguman, "Ya, kami tahu."

"Jika demikian!" bentak Nashruddin, "aku tidak perlu lagi berbicara panjang lebar." Ia pun meninggalkan ruangan tersebut.

Pada kesempatan ketiga, ketika seorang utusan kembali mengunjunginya dan memohon dengan sangat kepadanya untuk berbicara sekali lagi, ia pun berbicara di depan majelis tersebut.

"Para hadirin! Apakah kalian mengetahui apa yang akan kukatakan?"

Karena tampaknya ia menuntut jawaban, para penduduk desa itu pun berseru, "Sebagian dari kami mengetahui dan sebagian tidak!"

"Jika demikian," ucap Nashruddin sebelum meninggalkan tempat, "biarlah mereka yang mengerti memberitakan yang tidak." (Baca juga: Mullah Nashruddin, Keledai, dan Kualitas Magis Berkah )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2513 seconds (0.1#10.140)