Perang Kadisiah: Mukjizat Pasukan Muslim dan Nujum Panglima Perang Persia
Kamis, 22 Oktober 2020 - 09:15 WIB
INILAH peristiwa Kadisiah yang telah membukakan jalan ke Majelis Takhta Kisra di ibu kota kerajaannya, dan melicinkan jalan untuk bergantinya kedaulatan yang sekaligus merupakan pukulan terakhir atas kekuasaannya.
Kisahnya secara terinci yang disampaikan oleh kebanyakan sejarawan sama seperti Perang Badar yang secara terinci pula diceritakan oleh buku-buku biografi (sirah), dengan menambahkan beberapa peristiwa mukjizat yang sukar dipercaya selain karena pengaruh perang ini yang sangat positif dalam sejarah dunia. ( )
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Umar bin Khattab " menyebutkan seperti sejawaran-sejawaran Muslim yang menguraikan kisah itu dengan panjang lebar, kalangan orientalis dan Persia juga menguraikannya dengan panjang lebar.
Tentu hal ini tidak mengherankan, mengingat Pertempuran Kadisiah itu dampaknya begitu besar dalam sejarah umat manusia, dari perang Timur Lenk dan perang Napoleon , balikan dari semua peperangan yang pernah terjadi sampai masa kita sekarang ini. Dalam mengarahkan peradaban, pengaruhnya memang dalam sekali. ( )
Khusus mengenai Pertempuran Kadisiah, tentu sudah menjadi kewajiban sejarawan untuk meneliti segala yang di balik itu dan dapat menemukan isinya.
Khalid bin Walid sudah membebaskan kawasan Irak , sudah menjelajahinya dari selatan ke utara, menaklukkan desa-desa dan kota-kotanya dan sudah menguasai segalanya. Dalam perang dengan Persia ia sudah mencatat suatu mukjizat yang abadi dalam sejarah. (
)
Adakah kemenangannya itu karena Persia sedang dalam kesibukan menghadapi kekacauan di dalam istana serta persaingan antara para putra mahkota memperebutkan takhta, dengan akibat mereka saling berbunuhan, kadang dengan pembunuhan terang-terangan, kadang pembunuhan gelap, sehingga dalam waktu empat tahun saja sudah sembilan raja yang naik takhta?
Kalaupun itu juga yang menyebabkan Khalid mengalahkan mereka, bagaimana pahlawan-pahlawan Kadisiah itu juga dapat mengalahkan mereka, padahal sesudah perselisihan itu Persia sudah bersatu kembali, para pemimpin dan rakyatnya sudah sepakat untuk menggalang satu kesatuan dalam lingkungan Kaisar Yazdigird , membantu dan memberikan dukungan kepadanya? Ya, bagaimana penyakit itu masih juga melekat padahal penyebabnya sudah dikikis habis?
Bagaimana pasukan Muslimin dengan jumlah yang begitu kecil dapat mengalahkan Persia dengan jumlah yang luar biasa besarnya, dan di negeri sendiri mereka mempunyai perlengkapan, dengan kebudayaan yang sudah tinggi. ( )
Sebaliknya pasukan Muslimin, bagi mereka termasuk orang-orang asing, yang kebanyakan orang-orang badui yang masih hidup bersahaja, tidak mempunyai perlengkapan perang seperti yang mereka miliki, tidak mengetahui segala taktik dan cara-caranya seperti pengetahuan mereka!
Rahasia yang ada di balik itu, menurut Haekal, bahwa persatuan pihak Persia itu tidak mengubah apa yang ada dalam jiwa mereka. Yang ada hanyalah gejala lahir yang berlangsung karena dorongan sementara, sesudah itu berbagai masalah yang berkecamuk dalam lubuk hati tetap tak berubah.
Kaum bangsawan dan pembesar-pembesarnya masih tetap berpikir hanya tentang diri dan ambisinya masing-masing, sebelum memikirkan bangsa dan tanah airnya. "Sekiranya mereka yang menang menghadapi pasukan Muslimin dan berhasil mengusir dari daerah itu, keadaannya niscaya akan kembali seperti semula. Istana akan kembali goyah, akan lebih mengutamakan ambisi pribadi daripada yang lain," tuturnya. ( )
Kita sudah melihat bagaimana panglima perang Persia, Rustum bin Farrakhzad , yang begitu santai, tak mau maju ke depan memimpin sendiri pasukannya, kalau tidak karena terpaksa, khawatir masyarakat marah kalau sampai Yazdigird yang tampil. Kita sudah melihat bagaimana ia dan perwira-perwiranya yang lain berlambat-lambat dalam perjalanan hingga untuk mencapai Kadisiah dari Mada'in sampai memakan waktu empat bulan!
Sebenarnya apa yang dilihat Rustum dalam penujuman itu hanyalah pencerminan yang ada dalam lubuk hatinya sendiri. Karena egoismenya sudah begitu besar, pantang rasanya kalau sampai dia kalah atau terbunuh.
Lalu terlihat dalam penujuman itu nasib tanah airnya masih berhubungan erat dengan kekalahan dan kematiannya. Kalau dia memahami Persia dan melupakan dirinya dan melihat hidup dan matinya sama demi tanah air, niscaya ia tak akan mencari-cari dalih dan berlambat-lambat. Ia akan melihat dalam penujuman apa yang dilihatnya. ( )
Jiwanya akan berada di atas rasa takut dan rasa prihatin, dari dalam dirinya akan memancar kekuatan dan akan mengalir kepada para perwira dan prajurit-prajuritnya, sehingga mereka akan mau bergelimang dalam maut tanpa peduli lagi. Tetapi para perwira dan prajurit-prajurit itu seperti Rustum juga, sangat terikat pada pribadinya dan prihatin memikirkan nasib sendiri masing-masing.
Baginya, jiwa tiap pribadi itu lebih berharga daripada Persia dan segala isinya. Kalaupun mereka berangkat juga menuju medan pertempuran hanyalah karena pembesar-pembesar mereka sudah didorong oleh ambisi dan nafsu, dan prajurit-prajurit itu sudah terbawa oleh adanya keharusan tunduk dan rasa hina, yang memang sudah lama berakar, dari generasi ke generasi. ( )
Bukankah sudah kita lihat bahwa persatuan yang terjadi karena dorongan sementara itu tidak akan mampu mengikis segala anasir yang tersimpan dalam hati, yang sudah begitu mengakar sehingga setiap orang yang dalam kekuasaan hidupnya hanya untuk kepentingan pribadi, dan setiap kelompok hanya memikirkan kepentingan kelompoknya?
Pelajaran yang Dapat Ditarik
Pengaruh anasir demikian itu telah menghilangkan konsep cita-cita luhur dalam hati orang-orang Persia, yang akan membuat bangsa itu hidup dan berjuang demi cita-citanya.
Kisahnya secara terinci yang disampaikan oleh kebanyakan sejarawan sama seperti Perang Badar yang secara terinci pula diceritakan oleh buku-buku biografi (sirah), dengan menambahkan beberapa peristiwa mukjizat yang sukar dipercaya selain karena pengaruh perang ini yang sangat positif dalam sejarah dunia. ( )
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul " Umar bin Khattab " menyebutkan seperti sejawaran-sejawaran Muslim yang menguraikan kisah itu dengan panjang lebar, kalangan orientalis dan Persia juga menguraikannya dengan panjang lebar.
Tentu hal ini tidak mengherankan, mengingat Pertempuran Kadisiah itu dampaknya begitu besar dalam sejarah umat manusia, dari perang Timur Lenk dan perang Napoleon , balikan dari semua peperangan yang pernah terjadi sampai masa kita sekarang ini. Dalam mengarahkan peradaban, pengaruhnya memang dalam sekali. ( )
Khusus mengenai Pertempuran Kadisiah, tentu sudah menjadi kewajiban sejarawan untuk meneliti segala yang di balik itu dan dapat menemukan isinya.
Khalid bin Walid sudah membebaskan kawasan Irak , sudah menjelajahinya dari selatan ke utara, menaklukkan desa-desa dan kota-kotanya dan sudah menguasai segalanya. Dalam perang dengan Persia ia sudah mencatat suatu mukjizat yang abadi dalam sejarah. (
Baca Juga
Adakah kemenangannya itu karena Persia sedang dalam kesibukan menghadapi kekacauan di dalam istana serta persaingan antara para putra mahkota memperebutkan takhta, dengan akibat mereka saling berbunuhan, kadang dengan pembunuhan terang-terangan, kadang pembunuhan gelap, sehingga dalam waktu empat tahun saja sudah sembilan raja yang naik takhta?
Kalaupun itu juga yang menyebabkan Khalid mengalahkan mereka, bagaimana pahlawan-pahlawan Kadisiah itu juga dapat mengalahkan mereka, padahal sesudah perselisihan itu Persia sudah bersatu kembali, para pemimpin dan rakyatnya sudah sepakat untuk menggalang satu kesatuan dalam lingkungan Kaisar Yazdigird , membantu dan memberikan dukungan kepadanya? Ya, bagaimana penyakit itu masih juga melekat padahal penyebabnya sudah dikikis habis?
Bagaimana pasukan Muslimin dengan jumlah yang begitu kecil dapat mengalahkan Persia dengan jumlah yang luar biasa besarnya, dan di negeri sendiri mereka mempunyai perlengkapan, dengan kebudayaan yang sudah tinggi. ( )
Sebaliknya pasukan Muslimin, bagi mereka termasuk orang-orang asing, yang kebanyakan orang-orang badui yang masih hidup bersahaja, tidak mempunyai perlengkapan perang seperti yang mereka miliki, tidak mengetahui segala taktik dan cara-caranya seperti pengetahuan mereka!
Rahasia yang ada di balik itu, menurut Haekal, bahwa persatuan pihak Persia itu tidak mengubah apa yang ada dalam jiwa mereka. Yang ada hanyalah gejala lahir yang berlangsung karena dorongan sementara, sesudah itu berbagai masalah yang berkecamuk dalam lubuk hati tetap tak berubah.
Kaum bangsawan dan pembesar-pembesarnya masih tetap berpikir hanya tentang diri dan ambisinya masing-masing, sebelum memikirkan bangsa dan tanah airnya. "Sekiranya mereka yang menang menghadapi pasukan Muslimin dan berhasil mengusir dari daerah itu, keadaannya niscaya akan kembali seperti semula. Istana akan kembali goyah, akan lebih mengutamakan ambisi pribadi daripada yang lain," tuturnya. ( )
Kita sudah melihat bagaimana panglima perang Persia, Rustum bin Farrakhzad , yang begitu santai, tak mau maju ke depan memimpin sendiri pasukannya, kalau tidak karena terpaksa, khawatir masyarakat marah kalau sampai Yazdigird yang tampil. Kita sudah melihat bagaimana ia dan perwira-perwiranya yang lain berlambat-lambat dalam perjalanan hingga untuk mencapai Kadisiah dari Mada'in sampai memakan waktu empat bulan!
Sebenarnya apa yang dilihat Rustum dalam penujuman itu hanyalah pencerminan yang ada dalam lubuk hatinya sendiri. Karena egoismenya sudah begitu besar, pantang rasanya kalau sampai dia kalah atau terbunuh.
Lalu terlihat dalam penujuman itu nasib tanah airnya masih berhubungan erat dengan kekalahan dan kematiannya. Kalau dia memahami Persia dan melupakan dirinya dan melihat hidup dan matinya sama demi tanah air, niscaya ia tak akan mencari-cari dalih dan berlambat-lambat. Ia akan melihat dalam penujuman apa yang dilihatnya. ( )
Jiwanya akan berada di atas rasa takut dan rasa prihatin, dari dalam dirinya akan memancar kekuatan dan akan mengalir kepada para perwira dan prajurit-prajuritnya, sehingga mereka akan mau bergelimang dalam maut tanpa peduli lagi. Tetapi para perwira dan prajurit-prajurit itu seperti Rustum juga, sangat terikat pada pribadinya dan prihatin memikirkan nasib sendiri masing-masing.
Baginya, jiwa tiap pribadi itu lebih berharga daripada Persia dan segala isinya. Kalaupun mereka berangkat juga menuju medan pertempuran hanyalah karena pembesar-pembesar mereka sudah didorong oleh ambisi dan nafsu, dan prajurit-prajurit itu sudah terbawa oleh adanya keharusan tunduk dan rasa hina, yang memang sudah lama berakar, dari generasi ke generasi. ( )
Bukankah sudah kita lihat bahwa persatuan yang terjadi karena dorongan sementara itu tidak akan mampu mengikis segala anasir yang tersimpan dalam hati, yang sudah begitu mengakar sehingga setiap orang yang dalam kekuasaan hidupnya hanya untuk kepentingan pribadi, dan setiap kelompok hanya memikirkan kepentingan kelompoknya?
Pelajaran yang Dapat Ditarik
Pengaruh anasir demikian itu telah menghilangkan konsep cita-cita luhur dalam hati orang-orang Persia, yang akan membuat bangsa itu hidup dan berjuang demi cita-citanya.