Wasiat Al-Fatih kepada Putranya (1): Aku Sama Sekali Tidak Menyesal
loading...
A
A
A
SAAT menjelang wafat, Sultan Muhammad Al-Fatih menyampaikan wasiat kepada anaknya. Wasiat ini melukiskan gambaran tentang jalan hidup, nilai- nilai, dan prinsip-prinsip keyakinan, serta impian-impiannya kepada pemimpin penggantinya. Berikut adalah isi wasiat Sultan kepada putranya:
“Tak lama lagi aku akan menghadap Allah Subhanahu wata’ala. Namun aku sama sekali tidak menyesal, sebab aku telah meninggalkan pengganti sepertimu. Maka jadilah engkau seorang pemimpin yang adil, saleh, dan pengasih. Rentangkan perlindunganmu kepada seluruh rakyatmu tanpa perbedaan.
Bekerjalah menyebarkan agama Islam, sebab ini merupakan kewajiban raja-raja di muka bumi. Kedepankan kepentingan agama atas kepentingan apa pun yang lain. Janganlah kamu lemah dan lalai dalam menegakkan agama.
Janganlah kamu sekali-kali mengangkat orang-orang yang tidak peduli agama sebagai pembantumu. Jangan pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar dan larut dalam perbuatan keji. Hindari bid’ah-bid’ah yang merusak. Jauhi orang-orang yang menyuruhmu melakukan itu.
Lakukan perluasan negeri ini melalui Jihad. Jagalah harta Baitul Mal jangan sampai dihambur-hamburkan. Jangan sekali-kali engkau mengulurkan tanganmu untuk mengambil harta rakyatmu, kecuali sesuai aturan Islam. Himpunlah kekuatan orang-orang lemah dan fakir, dan berikan penghormatanmu kepada orang-orang yang berhak.
Ulama itu laksana kekuatan yang ada di dalam tubuh bangsa, maka hormatilah mereka. Jika kamu mendengar ada seorang ulama di negeri lain, ajaklah dia agar datang ke negeri ini dan cukupilah kehidupannya.
Hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu dengan harta benda dan banyaknya jumlah tentara. Jangan sekali-kali kamu mengusir ulama dari pintu-pintu istana. Janganlah kamu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj hidup kita, dan dengan agama pula kita menang.
Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil lalu Allah karuniakan kepadaku nikmat yang sangat besar. Maka berjalanlah seperti apa yang aku lakukan. Bekerjalah kamu untuk meninggikan agama Allah dan hormatilah ahlinya.
Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang, atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan pintu-pintu menuju kehancuran."
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, berpendapat wasiat Sultan Al-Fatih ini kepada anaknya banyak mengandung hikmah dan makna yang layak direnungkan. “Jadilah engkau seorang yang adil, saleh dan pengasih,” kata Al-Fatih, pada salah satu kalimat dalam wasiatnya itu.
As-Shalabi menjelaskan tatkala Sultan memasuki Kota Konstantinopel sebagai seorang pemenang dia berperang dengan tetap berpegang-teguh kepada etika perang dalam Islam . Beliau tidak pernah melanggar kehormatan orang lain, tidak membunuh anak-anak, tidak membunuh orang-orang tua dan kaum wanita, tidak merusak tanaman-tanaman yang bisa dimakan, tidak juga menyiksa orang-orang yang tidak berdaya, tidak mencincang mayat musuh, dan tidak membunuh kecuali kepada orang-orang yang mengangkat senjata di hadapan wajah kaum muslimin.
Apa yang dilakukan Sultan Al-Fatih dalam perang, menurut Ash-Shalabi, menggambarkan manhaj dan akidah Abu Bakar Ash-Shiddiq saat memperlakukan orang-orang Romawi. Khalifah Abu Bakar pernah berpesan kepada pasukan mujahidin: “Janganlah kalian berkhianat, jangan berlebih-lebihan, jangan ingkar janji, janganlah mencincang mayat. Janganlah kalian membunuh anak-anak kecil orang-orang tua renta, wanita-wanita.
Janganlah menebang pohon-pohon kurma, jangan pula membakarnya, jangan pula menebang pepohonan yang berbuah, jangan menyembelih kambing atau unta, kecuali untuk dimakan.
Kalian akan mendapatkan orang-orang yang melewatkan hari-harinya di tempat-tempat ibadah, biarkan mereka dan janganlah kalian usik. Berangkatlah dengan mengucapkan Bismillah.
Sultan Muhammad Al-Fatih telah memasuki jantung Kota Konstantinopel dan memberikan pelajaran kepada orang-orang Nasrani tentang makna keadilan dan kasih sayang. “Dia menjadi simbol utama dari simbol-simbol Kekhilafahan Ustmani,” tutur Ash-Shalabi.
Sesungguhnya pemerintahan Utsmani berjalan di atas manhaj Islam. Maka dia menjalankan keadilan dan kasih sayang kepada rakyatnya yang berada di bawah kekuasaannya. Abdurrahman 'Azzam mengungkapkan tentang sikap kasih sayang dan keadilan pemerintahan Utsmani terhadap rakyatnya: (Baca juga: Sujud Syukur Dunia Islam Sambut Kemenangan Al-Fatih, Hagia Sophia Jadi Masjid )
“Sebagian orang mengira dari cerita dan lelucon yang berkembang di sebagian masa-masa pemerintahan Utsmani, bahwa dia adalah sebuah kerajaan yang besar namun tidak memiliki sikap kasih dan penyayang. Sangkaan ini adalah sangkaan yang salah dan sama sekali tidak berdasarkan kajian ilmiah dan panelitian yang baik. Saya sendiri pernah mendengar tentang sikap penyayang orang-orang Turki Utsmani di Bisrabia, wilayah Romania yang berada di Dinistes.
Dikatakan pada saya, ‘Sesungguhnya sikap para petani di kota-kota yang jauh dari kerajaan Utsmani, masih menggambarkan dengan jelas sikap penyayang dan keadilan orang-orang Turki. Dan darinya juga bisa dilihat bahwa keadilan telah dicabut bersama-sama dengan dengan hilangnya pemerintahan Utsmani.’ Dalam banyak perjalanan di Polska (Polandia) dan Rumania, saya masih sering mendengar beberapa cerita dan tamsil-tamsil yang masih dengan kuat mengisyaratkan tentang sifat-sifat kasih-sayang orang-orang Turki Muslim di tengah-tengah orang Nasrani.
Pada tahun 1917 saya berada di Wina. Saat itu orang-orang Polandia mengatakan, bahwa mereka sangat gembira dengan kedatangan tentara Utsmani ke Galisia sebagai bantuan terhadap orang-orang Austria.
Sesungguhnya keadilan dan rahmat Islam, adalah dua prinsip yang membuat orang-orang Utsmani eksis di Eropa. Dengan keadilan dan rasa kasih sayang itu pula, orang-orang Eropa bisa keluar dari sikapnya yang barbarik dan keras hati. Berkat orang-orang Utsmani , bangsa Eropa memahami makna persamaan antarmanusia dan keadilan. ( )
Cukup bagimu untuk tahu bahwa perbudakan saat itu mendapat legalitas kuat di negara Eropa Tengah dan Selatan, hingga akhirnya dihapuskan oleh orang-orang Utsmani.
Di sana ada perjanjian antara Moldova, Polandia dan Hungaria untuk menyerahkan semua petani yang melarikan diri dari ladang pertanian tuannya di Buyari ke Salah satu negeri itu. Sedangkan ladang-ladang itu dijual termasuk di dalamnya manusia dan hewan yang ada di dalamnya. Kemudian datanglah orang-oran Utsmani ke Eropa yang membawa rahmat di dalam dadanya, sebagaimana yang diinginkan oleh pembawa panji dakwah Islam, Muhammad Rasulullah saw.
Orang-orang Turki bukanlah kaum yang memiliki jumlah lebih besar dari orang-orang yang dipimpinnya. Mereka kemudian tiba di Wina. Mereka mampu mengatasi sulitnya bebukitan, hamparan samudera luas, serta gunung-gunung. Sebagaimana pernah dilakukan kaum muslimin Arab saat menebarkan rahmat di Asia dan Afrika.
Sesungguhnya Muhammad Al-Fatih berjalan di atas manhaj rahmat dan keadilan. Dia mewasiatkan pada anak cucu setelahnya, untuk berjalan di atas manhaj yang sama karena itu merupakan realisasi Islam.
“Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyat tanpa perbedaan." ( )
Sultan Muhammad Al-Fatih memiliki perhatian besar kepada rakyatnya, baik kepada kaum muslimin atau nonmuslim. Salah satu kisah yang sangat menarik dan indah dalam masalah ini adalah, bahwa penduduk Pulau Khabus memiliki utang sebanyak 1000 Duqa kepada salah seorang pedagang dari negeri Galata, yang bernama Fransisco De Rapeyur. Tatkala orang yang memberi utang ini tidak mampu menarik utangnya kembali, Sultan meminta supaya dia menagih utang tersebut ke penduduk pulau itu. Karena penduduk pulau itu adalah rakyat yang harus mendapat perlindungan dan mendapatkan hak-haknya. Maka Sultan mengirimkan beberapa kapal yang dipimpin langsung oleh Hamzah Pasya.
Sayangnya penduduk pulau Khabus malah membunuh beberapa tentara dan tidak mau tunduk, bahkan menolak membayar utang. Maka berkatalah Muhammad Al-Fatih kepada Fransisco tadi, “Sayalah yang akan menanggung semua utang mereka terhadapmu, dan saya akan menuntut tebusan berlipat terhadap mereka atas darah tentara yang meninggal."
Kemudian Sultan memberangkatkan satu armada ke pulau itu. Dia sendiri yang memimpin pasukan ke pulau-pulau yang berdekatan dengan pulau Khabus. Pasukan tadi mampu menaklukkan pulau tersebut, tanpa melalui peperangan dan pertempuran. Dengan segera, dua pulau lmbarus dan Samutras menyerah dan membuka pintunya untuk pasukan Utsmani. Maka terpaksa penduduk pulau Khabus membayar utang kepada pedagang asal Hungaria tadi dan membayar upeti tahunan kepada pemerintahan Utsmani sebanyak 6000 Duqa per tahun. Mereka juga harus membayar uang tebusan terhadap kapal Utsmani yang tenggelam.
Di sini Sultan menunjukkan sikap pembelaannya, sekalipun kepada seorang pedagang Hungaria yang nonmuslim. Hal itu layak diterima, karena dia masuk dalam lingkungan perlindungan wilayah kekuasaan Sultan. Dari sisi lain, Sultan sebenarnya tak akan menghukum warga pulau itu kalau mereka tidak menyerang armada laut pasukan Utsmani. Kalau menyerang, berarti menantang perang. Bersambung ( )
Keterangan Foto:Masuknya Sultan Mehmed II ke Konstantinopel, lukisan oleh Fausto Zonaro (1854-1929)/Wikimedia Commons
“Tak lama lagi aku akan menghadap Allah Subhanahu wata’ala. Namun aku sama sekali tidak menyesal, sebab aku telah meninggalkan pengganti sepertimu. Maka jadilah engkau seorang pemimpin yang adil, saleh, dan pengasih. Rentangkan perlindunganmu kepada seluruh rakyatmu tanpa perbedaan.
Bekerjalah menyebarkan agama Islam, sebab ini merupakan kewajiban raja-raja di muka bumi. Kedepankan kepentingan agama atas kepentingan apa pun yang lain. Janganlah kamu lemah dan lalai dalam menegakkan agama.
Janganlah kamu sekali-kali mengangkat orang-orang yang tidak peduli agama sebagai pembantumu. Jangan pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar dan larut dalam perbuatan keji. Hindari bid’ah-bid’ah yang merusak. Jauhi orang-orang yang menyuruhmu melakukan itu.
Lakukan perluasan negeri ini melalui Jihad. Jagalah harta Baitul Mal jangan sampai dihambur-hamburkan. Jangan sekali-kali engkau mengulurkan tanganmu untuk mengambil harta rakyatmu, kecuali sesuai aturan Islam. Himpunlah kekuatan orang-orang lemah dan fakir, dan berikan penghormatanmu kepada orang-orang yang berhak.
Ulama itu laksana kekuatan yang ada di dalam tubuh bangsa, maka hormatilah mereka. Jika kamu mendengar ada seorang ulama di negeri lain, ajaklah dia agar datang ke negeri ini dan cukupilah kehidupannya.
Hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu dengan harta benda dan banyaknya jumlah tentara. Jangan sekali-kali kamu mengusir ulama dari pintu-pintu istana. Janganlah kamu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam. Sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj hidup kita, dan dengan agama pula kita menang.
Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil lalu Allah karuniakan kepadaku nikmat yang sangat besar. Maka berjalanlah seperti apa yang aku lakukan. Bekerjalah kamu untuk meninggikan agama Allah dan hormatilah ahlinya.
Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang, atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan pintu-pintu menuju kehancuran."
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, berpendapat wasiat Sultan Al-Fatih ini kepada anaknya banyak mengandung hikmah dan makna yang layak direnungkan. “Jadilah engkau seorang yang adil, saleh dan pengasih,” kata Al-Fatih, pada salah satu kalimat dalam wasiatnya itu.
As-Shalabi menjelaskan tatkala Sultan memasuki Kota Konstantinopel sebagai seorang pemenang dia berperang dengan tetap berpegang-teguh kepada etika perang dalam Islam . Beliau tidak pernah melanggar kehormatan orang lain, tidak membunuh anak-anak, tidak membunuh orang-orang tua dan kaum wanita, tidak merusak tanaman-tanaman yang bisa dimakan, tidak juga menyiksa orang-orang yang tidak berdaya, tidak mencincang mayat musuh, dan tidak membunuh kecuali kepada orang-orang yang mengangkat senjata di hadapan wajah kaum muslimin.
Apa yang dilakukan Sultan Al-Fatih dalam perang, menurut Ash-Shalabi, menggambarkan manhaj dan akidah Abu Bakar Ash-Shiddiq saat memperlakukan orang-orang Romawi. Khalifah Abu Bakar pernah berpesan kepada pasukan mujahidin: “Janganlah kalian berkhianat, jangan berlebih-lebihan, jangan ingkar janji, janganlah mencincang mayat. Janganlah kalian membunuh anak-anak kecil orang-orang tua renta, wanita-wanita.
Janganlah menebang pohon-pohon kurma, jangan pula membakarnya, jangan pula menebang pepohonan yang berbuah, jangan menyembelih kambing atau unta, kecuali untuk dimakan.
Kalian akan mendapatkan orang-orang yang melewatkan hari-harinya di tempat-tempat ibadah, biarkan mereka dan janganlah kalian usik. Berangkatlah dengan mengucapkan Bismillah.
Sultan Muhammad Al-Fatih telah memasuki jantung Kota Konstantinopel dan memberikan pelajaran kepada orang-orang Nasrani tentang makna keadilan dan kasih sayang. “Dia menjadi simbol utama dari simbol-simbol Kekhilafahan Ustmani,” tutur Ash-Shalabi.
Sesungguhnya pemerintahan Utsmani berjalan di atas manhaj Islam. Maka dia menjalankan keadilan dan kasih sayang kepada rakyatnya yang berada di bawah kekuasaannya. Abdurrahman 'Azzam mengungkapkan tentang sikap kasih sayang dan keadilan pemerintahan Utsmani terhadap rakyatnya: (Baca juga: Sujud Syukur Dunia Islam Sambut Kemenangan Al-Fatih, Hagia Sophia Jadi Masjid )
“Sebagian orang mengira dari cerita dan lelucon yang berkembang di sebagian masa-masa pemerintahan Utsmani, bahwa dia adalah sebuah kerajaan yang besar namun tidak memiliki sikap kasih dan penyayang. Sangkaan ini adalah sangkaan yang salah dan sama sekali tidak berdasarkan kajian ilmiah dan panelitian yang baik. Saya sendiri pernah mendengar tentang sikap penyayang orang-orang Turki Utsmani di Bisrabia, wilayah Romania yang berada di Dinistes.
Dikatakan pada saya, ‘Sesungguhnya sikap para petani di kota-kota yang jauh dari kerajaan Utsmani, masih menggambarkan dengan jelas sikap penyayang dan keadilan orang-orang Turki. Dan darinya juga bisa dilihat bahwa keadilan telah dicabut bersama-sama dengan dengan hilangnya pemerintahan Utsmani.’ Dalam banyak perjalanan di Polska (Polandia) dan Rumania, saya masih sering mendengar beberapa cerita dan tamsil-tamsil yang masih dengan kuat mengisyaratkan tentang sifat-sifat kasih-sayang orang-orang Turki Muslim di tengah-tengah orang Nasrani.
Pada tahun 1917 saya berada di Wina. Saat itu orang-orang Polandia mengatakan, bahwa mereka sangat gembira dengan kedatangan tentara Utsmani ke Galisia sebagai bantuan terhadap orang-orang Austria.
Sesungguhnya keadilan dan rahmat Islam, adalah dua prinsip yang membuat orang-orang Utsmani eksis di Eropa. Dengan keadilan dan rasa kasih sayang itu pula, orang-orang Eropa bisa keluar dari sikapnya yang barbarik dan keras hati. Berkat orang-orang Utsmani , bangsa Eropa memahami makna persamaan antarmanusia dan keadilan. ( )
Cukup bagimu untuk tahu bahwa perbudakan saat itu mendapat legalitas kuat di negara Eropa Tengah dan Selatan, hingga akhirnya dihapuskan oleh orang-orang Utsmani.
Di sana ada perjanjian antara Moldova, Polandia dan Hungaria untuk menyerahkan semua petani yang melarikan diri dari ladang pertanian tuannya di Buyari ke Salah satu negeri itu. Sedangkan ladang-ladang itu dijual termasuk di dalamnya manusia dan hewan yang ada di dalamnya. Kemudian datanglah orang-oran Utsmani ke Eropa yang membawa rahmat di dalam dadanya, sebagaimana yang diinginkan oleh pembawa panji dakwah Islam, Muhammad Rasulullah saw.
Orang-orang Turki bukanlah kaum yang memiliki jumlah lebih besar dari orang-orang yang dipimpinnya. Mereka kemudian tiba di Wina. Mereka mampu mengatasi sulitnya bebukitan, hamparan samudera luas, serta gunung-gunung. Sebagaimana pernah dilakukan kaum muslimin Arab saat menebarkan rahmat di Asia dan Afrika.
Sesungguhnya Muhammad Al-Fatih berjalan di atas manhaj rahmat dan keadilan. Dia mewasiatkan pada anak cucu setelahnya, untuk berjalan di atas manhaj yang sama karena itu merupakan realisasi Islam.
“Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyat tanpa perbedaan." ( )
Sultan Muhammad Al-Fatih memiliki perhatian besar kepada rakyatnya, baik kepada kaum muslimin atau nonmuslim. Salah satu kisah yang sangat menarik dan indah dalam masalah ini adalah, bahwa penduduk Pulau Khabus memiliki utang sebanyak 1000 Duqa kepada salah seorang pedagang dari negeri Galata, yang bernama Fransisco De Rapeyur. Tatkala orang yang memberi utang ini tidak mampu menarik utangnya kembali, Sultan meminta supaya dia menagih utang tersebut ke penduduk pulau itu. Karena penduduk pulau itu adalah rakyat yang harus mendapat perlindungan dan mendapatkan hak-haknya. Maka Sultan mengirimkan beberapa kapal yang dipimpin langsung oleh Hamzah Pasya.
Sayangnya penduduk pulau Khabus malah membunuh beberapa tentara dan tidak mau tunduk, bahkan menolak membayar utang. Maka berkatalah Muhammad Al-Fatih kepada Fransisco tadi, “Sayalah yang akan menanggung semua utang mereka terhadapmu, dan saya akan menuntut tebusan berlipat terhadap mereka atas darah tentara yang meninggal."
Kemudian Sultan memberangkatkan satu armada ke pulau itu. Dia sendiri yang memimpin pasukan ke pulau-pulau yang berdekatan dengan pulau Khabus. Pasukan tadi mampu menaklukkan pulau tersebut, tanpa melalui peperangan dan pertempuran. Dengan segera, dua pulau lmbarus dan Samutras menyerah dan membuka pintunya untuk pasukan Utsmani. Maka terpaksa penduduk pulau Khabus membayar utang kepada pedagang asal Hungaria tadi dan membayar upeti tahunan kepada pemerintahan Utsmani sebanyak 6000 Duqa per tahun. Mereka juga harus membayar uang tebusan terhadap kapal Utsmani yang tenggelam.
Di sini Sultan menunjukkan sikap pembelaannya, sekalipun kepada seorang pedagang Hungaria yang nonmuslim. Hal itu layak diterima, karena dia masuk dalam lingkungan perlindungan wilayah kekuasaan Sultan. Dari sisi lain, Sultan sebenarnya tak akan menghukum warga pulau itu kalau mereka tidak menyerang armada laut pasukan Utsmani. Kalau menyerang, berarti menantang perang. Bersambung ( )
Keterangan Foto:Masuknya Sultan Mehmed II ke Konstantinopel, lukisan oleh Fausto Zonaro (1854-1929)/Wikimedia Commons
(mhy)