Wasiat Al-Fatih kepada Putranya (4): Jangan Sekali-kali Kamu Mengusir Ulama
loading...
A
A
A
SULTAN Muhammad Al-Fatih menyampaikan wasiat kepada putranya, menjelang beliau wafat. Wasiat ini melukiskan gambaran tentang jalan hidup, nilai- nilai, dan prinsip-prinsip keyakinan, serta impian-impiannya kepada pemimpin penggantinya. “ Ulama itu laksana kekuatan yang ada di dalam tubuh bangsa, maka hormatilah mereka. Jika engkau mendengar ada seorang ulama di negeri lain, ajaklah dia datang ke negeri ini dan cukupilah kehidupannya," begitu wasiat yang kesekian Al-Fatih kepada putranya. (
)
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah , menjelaskan Sultan Muhammad Al-Fatih sangat peduli untuk melakukan penertiban pembagian kerja ulama-ulama di masjid besar. Di masjid-masjid itu diberlakukan tradisi-tradisi yang biasa berlaku dengan rancangan khusus. Dan kewajiban utama di masjid-masjid besar adalah: menyediakan khatib, muaddzin, juru iqamah. ( )
Orang-orang yang dicalonkan untuk melakukan tugas-tugas itu, diharuskan menuntut ilmu terlebih dahulu di lembaga-lembaga pendidikan agama ternama yang dibiayai oleh para Sultan dan menteri-menteri.
Mereka yang bertugas di posisi ini berada di bawah koordinasi mufti langsung. Sedangkan di wilayah-wilayah lain diwakilkan pada para hakim militer. Untuk di daerah-daerah kecil, maka imam masjid yang bertugas melakukan semua tugas-tugas, terutama di desa-desa.
Di dalam sekolah-sekolah agama, yang mempersiapkan petugas-petugas agama itu dibagi menjadi tiga tingkatan penuntut ilmu. Tingkatan pertama disebut dengan tingkatan Shofata.
Kedua adalah tingkatan para asisten di mana gelar yang diberikan pada tingkatan ini adalah “Danasymand”, yang berarti alim. Sedangkan tingkatan tertinggi adalah posisi pengajar. Jumlah “Shofata' di masa pemerintahan Murad II mencapai 90.000. Merekalah yang memiliki banyak pengaruh dalam urusan kepemerintahan.
Baca juga: Al-Fatih Kirim Hadiah dan Surat kepada Penguasa Makkah, Begini Isinya
Tertipu
Wasiat Al-Fatih lainnya, “Hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu dengan harta benda dan banyaknya jumlah tentara. Jangan sekali-kali kamu mengusir ulama dari pintu-pintu istanamu. Janganlah kamu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam, sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj hidup kita, dan dengan agama pula kita menang." ( )
Menurut Ash-Shalabi, Sultan Muhammad Al-Fatih selalu memperingatkan para penggantinya untuk tidak tertipu harta benda dan banyaknya tentara. Dia menerangkan tentang bahaya disingkirkannya ulama dan para fukaha dari sisi para pemimpin, sebagaimana dia juga memperingatkan, agar mereka jangan melakukan tindakan yang melanggar Syariat. Sebab hal ini akan menyeret umat dan manusia secara keseluruhan kepada kesengsaraan dunia dan kebinasaan di akhirat. Sesungguhnya akibat menjauhkan diri dari Syariat Allah dan hukum-hukum-Nya akan tampak pada kehidupan umat ini, dalam realitas keagaman, sosial, politik, dan ekonomi.
Sesungguhnya rahasia kekuatan pemerintahan Utsmani dan kemuliaannya, terkandung dalam ketaatannya kepada Allah dan pelaksanaan hukum-hukum Allah, komitmen dengan Syariat-Nya, jihad di jalan Allah, dan berdakwah kepada-Nya. Sultan Muhammad Al-Fatih pernah berkata kepada anaknya: “Sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj hidup kita dan dengan agama kita menang.”
( )
“Bekerjalah engkau untuk meninggikan agama ini dan hormatilah ahlinya," bunyi wasiat selanjutnya ,
Ash-Shalabi mengatakan sesungguhnya peninggian agama dan penegakannya di muka bumi, akan melahirkan hasil yang sangat besar dalam kehidupan umat dan negara. Di antara hasilnya adalah terbentuk jiwa yang stabil, sehingga tidak terjerembab ke dalam dosa dan kekejian, serta mendorongnya berbuat hal-hal yang lebih baik.
Oleh karena itu, kecenderungan relijius merupakan hasil dari peninggian agama, menjadi pencegah perbuatan jahat, dan selalu mampu melakukan koreksi diri.
Dia selalu menjadi panduan hidup di depan mata, sehingga membuat jiwa selalu takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya dalam semua kondisi. Peninggian nilai-nilai agama dan penegakan syariat akan melahirkan persamaan antara pemimpin dan rakyat, dalam memperoleh hak-hak dan menjalankan kewajiban-kewajiban.
Pada saat yang sama akan menebarkan keadilan di tengah kehidupan warga negara, membuat turun berkah dan nikmat secara berkelanjutan. Sebab harus kita sadari, bahwa di sana tidak ada dikotomi untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat, jalan untuk mencapai ke sana hanya satu, yaitu lewat agama.
Berkah itu mungkin ada dalam hal yang sedikit, jika baik dalam mempergunakannya. Salah satu hasil dari penenapan syariat, adalah terbentuknya masyarakat Islam yang bangga dengan agama dan akidahnya. Keteguhan ini berdiri di atas komitmen kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah.
Di dalam dua sumber ini terhadap materi-materi yang dibutuhkan untuk membangun pribadi muslim, masyarakat muslim, umat manusia, negara Islam. Penerapannya juga akan melejitkan gairah hidup, mendorong jiwa untuk senantiasa mencari sarana-sarana ilmu pengetahuan dan peradaban yang maju.
Syariat sendiri mengajak manusia untuk menikmati kehidupan ini, sebagaimana ia juga mengandung seruan untuk menghindari peradaban sampah yang tidak berguna dan hina.
Sesungguhnya manusia membutuhkan kehadiran para ulama rabbani untuk mengajarkan agama, mendidik jiwa mereka untuk taat kepada Allah SWT. Wajib bagi para pemimpin Islam untuk menghormati dan menempatkan para ulama secara proporsional. Karena merekalah yang menjelaskan hukum Allah dan Rasul-Nya kepada manusia. Merekalah yang menafsirkan nash-nash Syariat sesuai kaidah-kaidah umum yang berlaku, sebagaimana firman Allah:
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (An-Nahl: 43)
Berfoya-foya
Selanjutnya Al-Fatih mewasiatkan, “Janganlah engkau menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang, atau kau pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran."
Sesungguhnya wasiat ini memerintahkan pada puteranya untuk berlaku sederhana. tidak konsumtif. Wasiat ini juga menggambarkan pemahaman Sultan terhadap perintah Allah dalam berlaku ekonomis dan sederhana. (Baca juga: Sujud Syukur Dunia Islam Sambut Kemenangan Al-Fatih, Hagia Sophia Jadi Masjid )
Sultan Muhammad Al-Fatih melihat wajibnya seorang penguasa dan pejabat negara menjauhkan diri dari tindakan boros, sebab itu merupakan tindakan maksiat terhadap Allah. (selesai)
Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah , menjelaskan Sultan Muhammad Al-Fatih sangat peduli untuk melakukan penertiban pembagian kerja ulama-ulama di masjid besar. Di masjid-masjid itu diberlakukan tradisi-tradisi yang biasa berlaku dengan rancangan khusus. Dan kewajiban utama di masjid-masjid besar adalah: menyediakan khatib, muaddzin, juru iqamah. ( )
Orang-orang yang dicalonkan untuk melakukan tugas-tugas itu, diharuskan menuntut ilmu terlebih dahulu di lembaga-lembaga pendidikan agama ternama yang dibiayai oleh para Sultan dan menteri-menteri.
Mereka yang bertugas di posisi ini berada di bawah koordinasi mufti langsung. Sedangkan di wilayah-wilayah lain diwakilkan pada para hakim militer. Untuk di daerah-daerah kecil, maka imam masjid yang bertugas melakukan semua tugas-tugas, terutama di desa-desa.
Di dalam sekolah-sekolah agama, yang mempersiapkan petugas-petugas agama itu dibagi menjadi tiga tingkatan penuntut ilmu. Tingkatan pertama disebut dengan tingkatan Shofata.
Kedua adalah tingkatan para asisten di mana gelar yang diberikan pada tingkatan ini adalah “Danasymand”, yang berarti alim. Sedangkan tingkatan tertinggi adalah posisi pengajar. Jumlah “Shofata' di masa pemerintahan Murad II mencapai 90.000. Merekalah yang memiliki banyak pengaruh dalam urusan kepemerintahan.
Baca juga: Al-Fatih Kirim Hadiah dan Surat kepada Penguasa Makkah, Begini Isinya
Tertipu
Wasiat Al-Fatih lainnya, “Hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu dengan harta benda dan banyaknya jumlah tentara. Jangan sekali-kali kamu mengusir ulama dari pintu-pintu istanamu. Janganlah kamu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Islam, sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj hidup kita, dan dengan agama pula kita menang." ( )
Menurut Ash-Shalabi, Sultan Muhammad Al-Fatih selalu memperingatkan para penggantinya untuk tidak tertipu harta benda dan banyaknya tentara. Dia menerangkan tentang bahaya disingkirkannya ulama dan para fukaha dari sisi para pemimpin, sebagaimana dia juga memperingatkan, agar mereka jangan melakukan tindakan yang melanggar Syariat. Sebab hal ini akan menyeret umat dan manusia secara keseluruhan kepada kesengsaraan dunia dan kebinasaan di akhirat. Sesungguhnya akibat menjauhkan diri dari Syariat Allah dan hukum-hukum-Nya akan tampak pada kehidupan umat ini, dalam realitas keagaman, sosial, politik, dan ekonomi.
Sesungguhnya rahasia kekuatan pemerintahan Utsmani dan kemuliaannya, terkandung dalam ketaatannya kepada Allah dan pelaksanaan hukum-hukum Allah, komitmen dengan Syariat-Nya, jihad di jalan Allah, dan berdakwah kepada-Nya. Sultan Muhammad Al-Fatih pernah berkata kepada anaknya: “Sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj hidup kita dan dengan agama kita menang.”
( )
“Bekerjalah engkau untuk meninggikan agama ini dan hormatilah ahlinya," bunyi wasiat selanjutnya ,
Ash-Shalabi mengatakan sesungguhnya peninggian agama dan penegakannya di muka bumi, akan melahirkan hasil yang sangat besar dalam kehidupan umat dan negara. Di antara hasilnya adalah terbentuk jiwa yang stabil, sehingga tidak terjerembab ke dalam dosa dan kekejian, serta mendorongnya berbuat hal-hal yang lebih baik.
Oleh karena itu, kecenderungan relijius merupakan hasil dari peninggian agama, menjadi pencegah perbuatan jahat, dan selalu mampu melakukan koreksi diri.
Dia selalu menjadi panduan hidup di depan mata, sehingga membuat jiwa selalu takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya dalam semua kondisi. Peninggian nilai-nilai agama dan penegakan syariat akan melahirkan persamaan antara pemimpin dan rakyat, dalam memperoleh hak-hak dan menjalankan kewajiban-kewajiban.
Pada saat yang sama akan menebarkan keadilan di tengah kehidupan warga negara, membuat turun berkah dan nikmat secara berkelanjutan. Sebab harus kita sadari, bahwa di sana tidak ada dikotomi untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat, jalan untuk mencapai ke sana hanya satu, yaitu lewat agama.
Berkah itu mungkin ada dalam hal yang sedikit, jika baik dalam mempergunakannya. Salah satu hasil dari penenapan syariat, adalah terbentuknya masyarakat Islam yang bangga dengan agama dan akidahnya. Keteguhan ini berdiri di atas komitmen kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah.
Di dalam dua sumber ini terhadap materi-materi yang dibutuhkan untuk membangun pribadi muslim, masyarakat muslim, umat manusia, negara Islam. Penerapannya juga akan melejitkan gairah hidup, mendorong jiwa untuk senantiasa mencari sarana-sarana ilmu pengetahuan dan peradaban yang maju.
Syariat sendiri mengajak manusia untuk menikmati kehidupan ini, sebagaimana ia juga mengandung seruan untuk menghindari peradaban sampah yang tidak berguna dan hina.
Sesungguhnya manusia membutuhkan kehadiran para ulama rabbani untuk mengajarkan agama, mendidik jiwa mereka untuk taat kepada Allah SWT. Wajib bagi para pemimpin Islam untuk menghormati dan menempatkan para ulama secara proporsional. Karena merekalah yang menjelaskan hukum Allah dan Rasul-Nya kepada manusia. Merekalah yang menafsirkan nash-nash Syariat sesuai kaidah-kaidah umum yang berlaku, sebagaimana firman Allah:
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (An-Nahl: 43)
Berfoya-foya
Selanjutnya Al-Fatih mewasiatkan, “Janganlah engkau menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang, atau kau pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran."
Sesungguhnya wasiat ini memerintahkan pada puteranya untuk berlaku sederhana. tidak konsumtif. Wasiat ini juga menggambarkan pemahaman Sultan terhadap perintah Allah dalam berlaku ekonomis dan sederhana. (Baca juga: Sujud Syukur Dunia Islam Sambut Kemenangan Al-Fatih, Hagia Sophia Jadi Masjid )
Sultan Muhammad Al-Fatih melihat wajibnya seorang penguasa dan pejabat negara menjauhkan diri dari tindakan boros, sebab itu merupakan tindakan maksiat terhadap Allah. (selesai)
(mhy)